Bahaya Besar itu Bernama “Economic Intolerance“
Istilah Economic Intolerance belum dikenal dalam perbendaharaan kata dalam bidang ekonomi maupun politik. Istilah itu baru diperkenalkan secara terbatas oleh Profesor Dr. Bahtiar Effendi dalam diskusi-diskusi kecil dengan penulis dan rekan-rekan anggota panel diskusi mingguan di Institut Peradaban yang dipimpin Prof. Salim Said.
Salim dikenal sebagai ahli politik yang melihat politik dari perspektif sejarah dan perkembangan sosial. Sedangkan Bahtiar Effendi dikenal luas sebagai Ilmuan politik yang menekuni politik dari sudut perkembangan demokrasi di berbagai negara, termasuk negara-negara muslim.
Meski tidak dikenal dalam perbendaharaan ilmu ekonomi, namun istilah itu sangat menarik untuk dibicarakan. Ia lebih merujuk pada fakta yang kita hadapi bersama sebagai suatu bangsa; yakni kemiskinan dan ketidakadilan.
Menurut Bahtiar, istilah itu bermakna bahwa selama rezim Orde Baru berkuasa 32 tahun hingga reformasi bergulir, Pemerintah membiarkan terjadinya tindakan-tindakan tidak toleran, atau bahkan mungkin "perampokan" aset atas tanah dan sumber-sumber ekonomi negara secara sistematis yang dilakukan oleh kelompok-kelompok konglomerat yang kini hidup bergelimang harta, berpesta pora. Mereka menikmati semua itu diatas penderitaan mayoritas kaum pribumi.
Mengapa pembiaran itu terjadi? Karena memang ada kompromi dengan sejumlah stake holders kekuasaan yaitu pejabat-pejabat korup dengan konsesi jangka pendek. Padahal, kompromi itu telah membuat ketidakseimbangan ekonomi terjadi dimana-mana.
Mereka para konglomerat itu secara tidak toleran menguasai tanah-tanah rakyat di berbagai wilayah di Indonesia ribuan hingga jutaan hektare luasnya. Lahan lahan itu tersebar dari Sumatera hingga Papua.
Tentu saja tindakan itu telah menutup akses bagi warga negara yang lain terutama kaum pribumi atas hak-haknya memperoleh tanah dan penghidupan yang layak. Kalaulah bisa maka mereka tentu harus membayarnya dengan harga yang sangat mahal.
Sikap rakus para konglomerat warga keturunan China ini seharusnya segera dihentikan. Apa sebab? Pertama, secara hukum masih banyak ditemukan kasus hukum diseputar pengambilalihan lahan tersebut di beberapa wilayah dimana lahan itu berada.
Kasus hukum yang berlarut-larut itu menyebabkan lahan tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Kedua pihak yang berkonflik sama-sama saling menunggu hingga putusan pengadilan bersifat tetap.
Kedua, kerakusan atas tanah dan sumber-sumber ekonomi nasional oleh segelintir orang justru akan melahirkan kecemburuan sosial. Jika Hal itu dibiarkan, maka secara mekanis rakyat akan sadar dengan sendirinya untuk melakukan pemberontakan terhadap apa yang sedang mereka hadapi. Bahkan sangat mungkin eskalasinya akan naik menjadi kerusuhan sosial. Jika terjadi kerusuhan maka sejatinya itu hanyalah akibat logis dari bekerjanya hukum-hukum sosial secara mekanis.
Ketiga, Economic Intolerance itu melahirkan disparitas sosial yang sangat tajam. Kondisi ini secara psiko-sosial melahirkan ketidaknyamanan dalam interaksi sosial dimana perbedaan kelas antara si kaya dan si miskin sangatlah tajam. Lihatlah beberapa kluster perumahan di sekitar kawasan BSD City, Gading Serpong, Summarecon, Paramon, Citra Raya, Pantai Indah Kapuk 1 dan 2, Bintaro Jaya, Kelapa Gading, Hingga Meikarta.
Lalu anda bandingkan dengan perumahan rakyat pribumi yang ada dibelakang tembok-tembok kawasan pemukiman elit itu. Mereka jadi terisolir dari interaksi sosialnya, demikian pula kehidupan mereka pun menjadi semakin terpinggirkan. Padahal mereka hidup di negaranya sendiri, namun nasib mereka tidak beranjak merdeka dari kemiskinan dan keterpinggiran.
Keempat, Economic Intolerance itu juga berakibat buruk pada mentalitas para pejabat yang kerapkali bertekuk lutut dalam delapan kaum cukong. Merekalah yang mendikte para pejabat dengan pemberian sejumlah fasilitas agar kebijakan mereka berpihak dan menguntungkan mereka. Pada titik ini terjadi simbiosis mutualisme bagi mereka, namun simbiosis parasitisme bagi negara dan rakyatnya.
Kelima, Economic Intolerance itu bisa melahirkan frustasi diantara anak-anak bangsa untuk berkompetisi secara sehat, karena bayangan untuk menang itu kecil sekali. Mereka merasa tidak punya dukungan kekuasaan untuk meraihnya.
Keenam, Economic Intolerance itu juga membiarkan penguasaan jaringan distribusi makanan dan minuman, distribusi barang-barang kebutuhan pokok lainnya ke seluruh penjuru tanah air. Jaringan distribusi konglomerasi ini sangatlah kuat dan sulit ditembus oleh pemain bisnis dari kaum pribumi.
Rasa-rasanya, tulisan ini tidak perlu menyertakan data-data terkait fenomena tersebut mengingat semuanya sudah menjadi fakta di depan mata. Penulis hanya berupaya untuk mengetuk hati semua pihak, terutama para pemegang kuasa diberbagai level untuk kembali mencintai Indonesia dengan sepenuh jiwa. Ingatlah, bahwa apa yang mereka dapat dari uang korupsi hasil tukar tambah kebijakan itu, hanya menjadikan anda sangat menyesal jika ajal tiba.
Fathorrahman Fadli,
Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, dan Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang
Advertisement