Bahas RUU Energi Terbarukan, DPR RI Minta Masukan Pakar UB
DPR RI meminta masukan kepada Pakar Hukum Tata Negara, Pakar Geofisika, dan Pakar Energi dari Universitas Brawijaya (UB) terkait RUU Tentang Energi Baru dan Terbarukan dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) di Guest House UB, Selasa 29 Januari 2019.
Pembahasan RUU Energi Baru dan Terbarukan ini dihadiri oleh Ketua tim Komisi VII DPR RI Ridwan Hisyam, Rektor UB Prof Dr Ir Nuhfil Hanani AR MS, Kepala LLDIKTI Jawa Timur Suprapto, dan Perwakilan Rektor se-Malang Raya, serta anggota tim Komisi VII DPR RI.
"Mahasiwa UB sudah mulai kritis mengenai energi baru dan terbarukan. Riset energi ini dibutuhkan waktu yang tidak sebentar, sudah cukup lama. Agar menjadi masukan ke depannya," kata Rektor UB, Prof Dr Ir Nuhfil Hanani AR MS dalam sambutannya.
Pakar Geofisika UB, Sukir Maryanto menjelaskan Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan mineral. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara nomer satu dengan potensi bencana alam. Menurut Sukir, RUU perlu dilengkapi dengan desain analisa sebuah bencana alam.
"RUU Perlu dilengkapi dengan melibatan berbagai konsep yang berkaitan dengan keseimbangan antara memanfaatkan Sumber Daya yang ada dengan bagaimana desain analisa sebuah bencana sehingga bisa berimjbang dalam menyikapinya. Ini yang harus ditambahkan dalam RUU," katanya.
Pakar Hukum Tata Negara UB, Aan Eko Widiarto mengatakan seharusnya ada sebuah kewajiban negara untuk membeli Energi Baru dan Terbarukan dari badan usaha yang ada di masyarakat. Namun mahalnya harga Energi Baru dan Terbarukan membuat dilema karena adanya kekhawatiran akan kerugian yang dialami oleh negara.
"Di satu sisi jika tidak dibeli oleh negara maka Energi Baru dan Terbarukan yang dihasilkan oleh masyarakat menjadi mubazir karena ketidak siapan negara untuk membeli," katanya.
Sementara itu, Pakar Energi UB, Sholeh Hadi Pramono memberi masukan bahwa ada beberapa hal yang perlu disempurnakan dalam RUU secara logis dan rasional. Menurut pandangannya energi baru dan terbarukan memiliki aspek positif yang dapat mengatur energi listrik sesuai dengan sumber daya yang ada.
"Pemerintah harus bijak bahwa potensi sumber daya kita sebagai sumber energi keperluan penyedia sumber energi listrik kan terbatas, semakin tahun semakin terbatas. Sehingga alternatif energi baru ini yang harus diperlukan," katanya.
"Berbagai upaya harus dilakukan baik dari aspek industri yang akan menghasilkan perangkat untuk menunjang energi baru dan terbarukan maupun pihak yang akan berperan mengelola energi baru. Pengguna juga perlu dilibatkan begitu juga dengan pemerintah. Jadi semua pihak harus dilibatkan untuk kelangsungan energi baru,” katanya. (umr)
Advertisement