Bagi Petani Porang, Pemerintah Hanya PHP
Harga porang jatuh. Komoditas ini pernah dianjurkan oleh pemerintah agar ditanam petani, karena menurut Presiden Jokowi, prospeknya sangat bagus untuk komoditas ekspor. Sementara untuk di dalam negeri sendiri pemerintah berjanji akan memperbanyak membangun pabrik pengolah porang, untuk memproduksi hingga menjadi tepung bahkan sampai menjadi beras porang. Tetapi harapan itu kini hanya jadi kenangan. Tak pernah jadi kenyataan, padahal banyak petani di Jatim ini yang terlanjur beralih menanam porang karena anjuran Presiden.
“Sekarang harga porang Rp 4 ribu per kilogram, padahal dulu sempat Rp 18 ribu per kilogram,” kata Harry Susanto, yang sudah dua tahun ini membuka lahan untuk ditanami Porang, di Desa Duyung, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto.
Menurutnya, kalau petani bisa menjual Rp 7 ribu saja per kilogram, maka mereka masih bisa bernafas dan bisa melanjutkan untuk menanam porang. “Tapi dengan harga Rp 4 ribu, petani tidak bisa mendapat apa-apa,” kata Harry Freedom, nama julukan laki-laki 73 tahun asal Surabaya ini.
Tapi bukan hanya karena harga jatuh para petani enggan menanam porang yang nama latinnya Amorphophallus muelleri. Dalam kondisi tidak menentu, pemerintah malah memberlakukan peraturan yang dampaknya membunuh. Yaitu para petani harus memiliki sertifikat SNI yang dikeluarkan oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur, dan ditandatangani kepala dinasnya. Untuk memperoleh sertifikat dari tingkat provinsi, sebelumnya para petani harus mendapatkan rekomendasi dari dinas pertanian tingkat kabupaten/kota. Kalau petani tidak memiliki sertifikat SNI itu, mereka tidak bisa menjual hasil lahannya ke pabrik pengolah porang. Untuk memiliki sertifikat SNI tersebut, para petani harus berbadan hukum dan memiliki NPWP, yang tentu saja amat ribet bagi para petani.
“Tanpa membawa sertifikat, pihak pabrik tidak mau membeli porang dari petani. Kalau pihak pabrik beli dan ketahuan maka mereka akan dikenai sanksi berat dari pemerintah. Pabriknya bisa ditutup,” kata Harry Susanto, yang mengaku mau tidak mau dirinya harus mengurus sertifikat SNI. “Saya mungkin bisa mengurus sertifikat itu karena saya memiliki banyak teman di Surabaya. Tetapi bagi petani di sini, aturan itu bukan membantu tapi malah memberatkan. Jadi mereka beralih menanam jahe atau cabe yang tidak ribet dan tidak ruwet,” tambahnya.
Porang mulai dibudidaya sekitar 2011-2012, kemudian menjadi booming karena permintaan dari China terus meningkat. Tata niaganya kemudian diatur tapi diatur secara sepihak, tanpa melibatkan para pelaku yang setiap hari bergumul dengan porang di lapangan. Padahal ada aturan juga, porang tidak boleh diekspor dalam bentuk ubi, harus berupa tepung atau beras.
Karena diberlakukannya sertifikat itu, kini banyak petani di sentra-sentra produksi porang Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi, Kediri, Jombang dan Mojokerto yang tidak mau lagi menanam porang. Bagi petani, pemerintah hanya PHP, pemberi harapan palsu.
Advertisement