Bagi Hasil Tebu Emas
Saya menyesal tak pernah berkunjung ke Pabrik Gula Prajegan-Bondowoso dan Wilangan-Pasuruan sebelum ini. Inilah dua pabrik gula milik PT Sinergi Gula Nusantara (PTPN Group) yang kecil tapi sangat sehat.
Di Indonesia, rata-rata pabrik gula punya kapasitas 3.000 sampai 8.000 TCD (Ton Cane per Day). Bahkan ada yang masih di bawah 3 ribu. Ini masih jauh bila dibandingkan pabrik gula di China. Di negeri tersebut, semua pabrik gula dengan kapasitas di bawah 20.000 TCD sudah ditutup sejak lama. Dianggap tak efisien.
Pabrik gula di Indonesia, sebagian besar merupakan peninggalan pemerintah Hindia Belanda. Beberapa pabrik telah mengalami peningkatan kapasitas. Biasanya dilakukan secara bertahap. Pabrik baru dengan kapasitas tinggi milik BUMN ada di Glenmore Banyuwangi. Itu pun hanya 6.500 TCD.
Lantas berapa kapasitas PG di Prajegan dan Wilangan? Pabrik yang ada di jalan raya Jember-Situbondo itu hanya 3.300 TCD. PG Wilangan lebih kecil lagi. Pabrik yang terletak di jalan Dandeles pantai utara Probolinggo-Sitobondo itu hanya berkapasitas 2.050 TCD.
Namun, kedua pabrik tersebut ternyata sangat sehat. Bisa disebut cilik cabe rawit alias kecil tapi bisa menghasilkan pedas seperti cabe rawit. Kedua pabrik yang dulunya menjadi milik PTPN XI itu selalu mencatatkan untung setiap tahunnya. Tak pernah kesulitan bahan baku tebu seperti pabrik lainnya.
Ada satu lagi pabrik kecil yang “aneh-anehi”. Yakni Pabrik Gula Kedawoeng-Pasuruan. Pabrik ini bertahun-tahun merugi. Baru tahun 2023 untuk kali pertama mencatatkan untung secara signifikan. Ini hasil perbaikan tata kelola, mulai dari kepemimpinan, penghematan dan perbaikan kemitraan dengan petani.
“Temen-temen di sini sampai ada yang menangis. Ternyata kita bisa ya menjadikan pabrik yang bertahun-tahun merugi menjadi untung,” kata Arif Agung Gagah Prabowo, GM PG Kedawoeng. Ia orang baru di pabrik itu yang ditugasi untuk memperbaiki kinerja sejak dua tahun lalu.
Apa kunci dua pabrik kecil itu bisa sangat sehat? Mereka punya hubungan relasional yang sangat bagus dengan petani tebu. Sehingga setiap musim giling tidak pernah mempunyai persoalan terhadap pasokan bahan baku. Kedua PG ini dikenal sebagai penghasil gula dengan tebu berendemen tinggi.
Satu lagi yang penting. Keduanya sejak dulu tak banyak tergoda dengan sistem pembelian terputus (SPT) tebu yang sempat marak dengan hadirnya sejumlah pabrik gula swasta. Inilah diantara pabrik milik BUMN yang dengan konsisten melaksanakan Sistem Bagi Hasil (SBH) dengan petani tebu mitra.
Kedua pabrik itu membuktikan bahwa hubungan baik dengan petani tebu menjanjikan kinerja yang baik di pabrik. Sebab, ada kepastian pasokan tebu. Petani tebu di wilayah PG Prajekan sangat loyal. Banyak petani kaya menjadi mitra utama di sini. “Petani tebu besar di sini mobilnya Rubicon,” kata Imam Cipto Suyitno, SEVP II PT SGN.
Kebetulan, saya memang sedang melakukan riset untuk kepentingan disertasi mengenai transformasi di BUMN Gula. Salah satunya, saya menyoroti cara perusahaan milik negara itu membangun ekosistem baru industri pergulaan nasional dalam upayanya menggapai swasembada gula.
Salah satu proposisi yang muncul adalah: SBH merupakan ekosistem yang dibangun berdasarkan paradigma produktifitas. Inilah paradigma yang mengoreksi paradigma profitabilitas yang sempat ‘’menggoda’’ BUMN Gula. Paradigma profitabilitas lebih berorientasi kepada keuntungan pabrik tanpa memikirkan petani tebu sebagai mitra.
Paradigma produktifitas berkebalikan dengan paradigma profitabilitas yang cenderung mendorong pabrik sekadar berburu rente. Inilah pandangan yang menempatkan produktifitas dari hulu ke hilir dalam industri pergulaan sebagai patokan. Bukan lagi sekadar mengejar laba untuk pabrik. Yang dalam kenyataan tidak selalu menghasilkan untung tetapi malah buntung.
Sejak tiga tahun terakhir, PTPN Group telah mengubah paradigma dan ekosistem pergulaan nasional. Selain melakukan restrukturisasi dan konsolidasi korporasi, cara berpikirnya bergeser dengan bagaimana meningkatkan produktifitas tebu, termasuk tebu milik rakyat. Tata niaga tebu yang sempat terseret ke dalam sistem SPT dikembalikan ke SBH.
Demikian pula dalam hal bahan baku. Selain membenahi tata kelola pabrik, dilakukan upaya keras untuk meningkatkan produktifitas tebu petani. Semakin produktifitas tebu petani meningkat, maka kepastian pasokan tebu untuk pabrik akan makin terjamin. Karena itu, memperbaiki relasi dengan petani tebu berarti memperbaiki kinerja pabrik pula.
SBH dan transparansi dalam penentuan rendemen tebu menjadi kata kunci. Melalui bagi hasil gula dengan petani, menjadikan mereka bagian dari “pemilik pabrik” yang harus ikut bertanggungjawab terhadap kelangsungannya. Secara makro, pemantapan model SBH ini sekaligus merapatkan kembali negara dengan petani melalui pabrik gula milik BUMN.
Karena itu, PTPN Group kembali mulai giat membenahi on farm alias sisi tanamannya. Tahun ini, mereka berhasil mengembangkan lahan perkebunan tebu yang bisa menghasilkan 230 ton tebu per hektar dengan rendemen rata-rata 8. Tebu itu kini ditanam di atas lahan HGU di Jatiroto, Lumajang. Saya telah mengunjungi lahan itu pekan lalu.
Bayangkan, jika ini berhasil –dan pertandanya demikian– maka per hektar bisa menghasilkan 18,4 ton gula. Dengan patokan Harga Acuan Pembelian (HAP) gula yang telah ditetapkan Bapanas sekarang di angka Rp 14.500, maka sehektar bisa menghasilkan Rp266 juta. Sungguh tebu emas.
Jika pembagian hasil dengan PG seperti selama ini 30:70 persen, maka petani akan memperoleh 12,88 ton gula per hektar. “Pokoknya, kalau bisa menghasilkan seperti yang ada dalam demplot kita ini, per hektar petani bisa mengantongi Rp 100 juta. Bayangkan,” kata Direktur Operasional PT SGN Dodik Ristiawan.
Tentu tidak harus seoptimistik itu. Jika saja bisa menghasilkan rata-rata 100 ton tebu per hektar dengan rendemen 8 persen, maka 8 ton gula bisa dituai dalam setiap hektar lahan tebu. Dengan ini pun, petani tebu pasti sudah bisa tersenyum dibandingkan dengan hanya produktifitas 5 ton gula per hektar seperti selama ini.
Sungguh, sistem bagi hasil dengan tebu emas akan semakin menjanjikan. Bukan hanya untuk mewujudkan swasembada gula, tetapi juga mensejahterakan petani. Beginilah seharusnya negara bertindak untuk kedaulatan pangan. Agar rezim importasi gula tak menjadi “panglima” lagi.
*) Penulis adalah Komisaris Independen PT SGN.