Bagi Hasil Tak Setara, Alasan Jukir di Surabaya Tolak QRIS
Salah satu kendala penerapan pembayaran parkir non tunai atau QRIS di Surabaya adalah jukir yang menolak dengan kebijakan tersebut. Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Surabaya juga tengah gencar melakukan sosialisasi terkait hal tersebut kepada para jukir.
Salah satu jukir di kawasan Jalan Tunjungan, Faisal mengatakan, penolakan pembayaran dengan QRIS karena presentasi pembagian yang dirasa memberatkan jukir.
"Menyusahkan karena dari Dishub 70 persen, saya dapat 30 persen. Semisal sehari dapat Rp 200 ribu, saya cuma dapat Rp60 ribu, Dishubnya dapat Rp140 ribu," kata Faisal, Kamis, 11 Januari 2024.
Selama ini, menurut Faisal dalam sehari ia hanya wajib menyetorkan Rp 40 ribu ke Dishub, baik itu parkiran sepi atau ramai. "Ramenya juga tidak selalu, paling Sabtu-Minggu aja ramai. Bisa dapat Rp 200 ribu per hari dari tarif parkir motor Rp2 ribu dan mobil Rp5 ribu," terangnya.
Disamping itu, Jalan Tunjungan juga menjadi pilot project pembayaran menggunakan QRIS dari Dishub Surabaya. Meski demikian, Faisal mengaku sebelumnya belum ada pemberitahuan dari Dishub, oleh karena itu para jukir menolak hingga viral di media sosial.
"Tidak ada rembukan dulu, langsung. Senin paling (diberlakukan QRIS), malamnya langsung pasang QRIS iku. Yang viral itu. Langsung ditolak," ungkap Faisal.
Dibandingkan pembayaran melalui QRIS atau non tunai, Faisal lebih memilih setoran kepada Dishub yang naikan tapi pembayaran tetap tunai. Atau ungkapnya, presentase pembagian yang dibalik untuk jukir 70 persen dan Dishub 30 persen.
"Manual aja, kalau bisa tidak pakai QRIS, kalau mau dinaikan aja setorannya. Naik tidak masalah. Maunya presentasenya 70 persen untuk jukir, 30 persen Dishub. Karena yang kerja ini aku, Dishubnya diam saja," tambahnya.
Diberitakan sebelumnya, Kepala UPT Parkir Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Surabaya Jeane Taroreh melakukan sosialisasi mekanisme bagi hasil antara Dishub dan para juru parkir (jukir). Pembayaaran QRIS dengan sistem bagi hasil 60-40 persen. Jadi yang 40 persen itu dibagi, yakni lima persen untuk katar (kepala pelataran) dan 35 persen jukir.
Meski demikian, sosialisasi masih menemukan kendala yakni penolakan dari jukir yang menganggap presentase pembagian minim.
"Jukir menolak pembayaran dengan QRIS, karena menganggap dengan bagi hasil 35 persen setelah naik dari 20 persen itu merasa kurang," ungkapnya.
Dari hasil sosialisasi para jukir juga ingin dijembatani untuk bertemuan dengan Walikota Surabaya Eri Cahyadi, guna membahas solusi kebijakan itu.
"Mereka dari paguyupan ingin difasilitasi bertemu dengan pimpinan tertinggi Pemkot Surabaya," terangnya.