Bagaimana Menghentikan Korupsi Kepala Daerah?
Oleh: Arnaz Ferial Firman
Sudah setumpuk kasus korupsi gubernur, bupati, hingga wali kota yang ditangani para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, pada kenyataannya masih saja ada kepala daerah yang tertangkap tangan oleh lembaga antirasuah tersebut.
Selama beberapa hari terakhir ini saja sudah dua bupati yang siap untuk menghuni jeruji besi penjara, yaitu Bupati Muara Enim Ahmad Yani dan Bupati Bengkayang Suryadman Gidot. Selain itu, KPK juga telah menahan Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara III Dolly akibat kasus impor gula.
Bupati Bengkayang diduga mengecilkan atau mengurangi nilai proyek agar dapat langsung menunjuk pimpinan proyek atau kontraktornya tanpa melalui tender.
Apabila melihat selama beberapa tahun terakhir ini, masyarakat tentu bakal terkenang kepada mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan mantan Gubernur Jambi Zumi Zola serta bupati/wali kota, misalnya mantan Bupati Bekasi Neneng.
Mereka itu telah divonis oleh pengadilan tindak pidana korupsi karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi uang rakyat miliaran rupiah.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu 4 September malam, mengatakan bahwa Bupati Muara Enim sedikitnya telah menerima sogokan tidak kurang dari 35.000 dolar AS (satu dolar AS senilai Rp14.159,00). Uang itu merupakan commitment fee atau imbalan bagi Ahmad Yani.
Sementara itu, tanpa menyebut nama Bupati Bengkayang serta sekretaris daerahnya yang juga dibekuk penyidik, Febri mengatakan bahwa uang yang mereka terima memang tidak sebesar yang diterima pimpinan Muara Enim, yakni sekitar Rp300 juta.
Sudah banyak gubernur dan wali kota/bupati yang ditangkap. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaannya adalah kok para kepala daerah itu tak berkaca pada penangkapan-penangkapan terdahulu? Kementerian Dalam Negeri selalu memerintahkan semua gubernur, bupati, dan wali kota untuk menandatangani dokumen yang disebut "pakta integritas" yang pada dasarnya berisi janji untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi dan juga gratifikasi.
Korupsi demi korupsi ternyata juga dilaksanakan di tingkat kepala kantor wilayah dan kantor di tingkat kabupaten dan kota seperti yang tega dilakukan di Kantor Wilayah Kementerian Agama di Provinsi Jawa Timur. Pertanyaan sederhananya ialah apakah para pejabat di daerah sudah siap mental atau kebal untuk memakan uang negara yang identik dengan uang rakyat?
Selama ini sudah banyak pejabat serta para pakar yang mengatakan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota banyak yang "berkorupsi ria" karena mereka terpaksa harus mengeluarkan miliaran rupiah demi meraih kursi yang amat empuk itu.
Akan tetapi, mereka lupa bahwa jika ketahuan, penyidik KPK siap memborgol mereka. Kepala daerah seharusnya sadar bahwa gaji dan pemasukan lainnya selama menjadi menjabat pasti tidak akan bisa menutupi pengeluaran selama masa kampanye.
Apabila seseorang ingin menjadi kepala daerah, pertama-tama yang harus diraih dukungannya adalah para pimpinan partai politik yang biasanya tidak gratis.
Setelah melalui tahapan di dewan pimpinan cabang (DPC), dewan pimpinan daerah (DPD) atau provinsi, hingga dewan pimpinan pusat (DPP) sebuah parpol, sang calon juga harus merayu rakyat supaya fotonya di tempat pemungutan suara (TPS) dicoblos sebanyak mungkin sehingga akhirnya dapat menjadi kepala daerah.
Pilkada 2020
Setelah pada tahun 2019 dilaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI serta pemilu anggota legislatif, pada tahun 2020 akan ada pemilihan kepala daerah alias pilkada di banyak daerah.
Tentu sudah banyak warga yang sudah siap mencalonkan diri untuk menjadi gubernur, bupati, dan wali kota. Akan tetapi kepada semua bakal calon kepala daerah itu harus ditanyai apakah mereka sanggup atau tidak untuk tidak "makan" uang rakyat? Setiap tahun APBD di provinsi, kota hingga kabupaten makin melonjak. Jadi, terdapat peluang untuk berkorupsi.
Dengan mengacu pada kasus Bupati Muara Enim dan Bupati Bengkayang, sanggupkah semua bakal calon pemimpin di daerah untuk 100 persen tetap berada di rel hanya mengabdi kepada rakyatnya tanpa memikirkan sedikit pun untuk masuk penjara hanya gara-gara mengutamakan kepentingan diri sendiri, keluarga, dan/atau partai politik pendukungnya atau siapa pun juga.
Di Tanah Air yang tercinta ini memang makin banyak orang yang pintar-pintar, sepert Bupati Muara Enim dan Bengkayang tersebut. Akan tetapi, pertanyaannya adalah apakah masih banyak orang yang jujur di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini?
Sekarang penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah sekitar 265 juta jiwa. Dari jumlah itu, tentu masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Di kota masih saja, misalnya terdapat gelandangan atau orang miskin yang terpaksa harus mengorek-ngorek tempat sampah hanya untuk mencari sesuatu yang masih bisa dimakan.
Berapa ratus ribu atau malahan jutaan anak yang tidak sanggup mengikuti pendidikan formal di SD/MI, SMP/MTs, hingga SMA/MA dan sederajat, apalagi melanjutkan ke perguruan tinggi. Belum lagi, jutaan penganggur terbuka atau tetutup.
Penangkapan dua bupati oleh KPK memang masih harus memegang teguh prinsip atau asas praduga tak beralah. Seseorang tidak boleh dianggap bersalah sampai dengan adanya keputusan hukum yang berkekuatan tetap. Namun, hampir tidak ada orang yang bisa bebas dari hukuman setelah diborgol oleh penyidik KPK.
Sangat aktifnya KPK, terutama dengan dibekuknya Bupati Muara Enim dan Bengkayang, seharusnya menyadarkan semua bakal calon kepala daerah dalam Pilkada 2020 untuk tetap hanya bekerja kepada rakyatnya dan bukannya untuk siap "berkorupsi ria" sehingga akhirnya terpaksa bertahun-tahun "menginap" di penjara atau lembaga pemasyarakatan (LP). Sudah siapkah Anda semua?
* Arnaz Ferial Firman mantan wartawan LKBN ANTARA
Advertisement