Bagaimana Kebenaran Muncul? Begini Pemahaman Ulil Abshar Abdalla
Kecenderungan untuk menyangkal ada pada setiap orang atau setiap komunitas, bahkan suatu bangsa. Ada titik keberhasilan dari Indonesia yang kemudian disangkal adanya kenyataan kegagalan. Benarkah demikian?
"Kecenderungan kita menyangkal bahwa umur sudah bertambah, akan dikalahkan oleh fakta yang muncul secara tak terelakkan di depan mata," kata Ulil Abshar Abdalla, intelektual Muslim yang pengampu Ngaji Ihya'Ulumuddin.
Bagaimana kebenaran muncul? Berikut catatan penulis buku "Membakar Rumah Tuhan" yang tak lain adalah menantu Gus Mus:
Berikut ini adalah semacam proses bagaimana seseorang atau bangsa sampai kepada pemahaman atas kebenaran tentang dirinya sendiri. Sebut saja semacam "hermeneutics of self", penafsiran/pemahaman atas diri-sendiri.
Kecenderungan alamiah pada setiap manusia adalah penyangkalan, "denial". Kita, baik sebagai individu maupun himpunan sosial, selalu cenderung menyangkal fakta yang membikin kita tak nyaman.
Kecenderungan alamiah pada setiap manusia adalah penyangkalan, "denial". Kita, baik sebagai individu maupun himpunan sosial, selalu cenderung menyangkal fakta yang membikin kita tak nyaman.
Kita, misalnya, menyangkal bahwa umur sudah bertambah, dan lutut kita tak lagi sekuat tahun-tahun lalu untuk menyangga tubuh kita yang ingin terus berlari. Kita menyangka bahwa "semuanya masih baik-baik saja", dan karena itu kita tak mau mengakui bahwa ada sesuatu yang telah berubah.
Kita menyangkal bahwa pertambahan umur menyebabkan tubuh kita mengalami perubahan juga, dan karena itu, mestinya, prilaku kita juga harus berubah.
Kecenderungan menyangkal ini, mungkin, asal-usulnya adalah dari tendensi kita untuk berpikir dalam "masa lampau". Kita sudah kenal apa yang terjadi pada masa lampau itu, dan kita pun sudah nyaman dengan hal-ihwal pada masa lampau tersebut.
Karena itu, kita malas untuk meninggalkan masa itu, bergerak ke masa yang masih belum jelas petanya, yakni masa depan.
Tetapi, kecenderungan menyangkal pada diri manusia ini biasanya akan hancur berkeping-keping ketika berhadapan dengan fakta, dengan kenyataan yang ada di hadapan kita.
Kecenderungan kita menyangkal bahwa umur sudah bertambah, akan dikalahkan oleh fakta yang muncul secara tak terelakkan di depan mata.
Saat kita memaksa terus berlari, dan mengira bahwa kita masih seperti masa muda dulu, sementara lutut kita mulai kesakitan menahan beban tubuh, dan akhirnya kita rubuh, pada momen itulah kita dipaksa menerima "moment of truth", kebenaran yang tak tersangkal: Ya, bahwa kita memang sudah mulai menua, misalnya.
Kita seringkali menerima kebenaran karena terpaksa: karena fakta sudah "mak jegagik" di depan mata kita, tak bisa melarikan diri lagi dan menyangkal terus.
Penyangkalan akan ada ujungnya. Ketika garis ujung itu tercapai, kita tak bisa berlari lagi. Pemahaman akan kebenaran kerapkali adalah, dalam rumusan saya, dialektik antara "penyangkalan" dan "pengakuan (secara terpaksa)" ini.
Ini terjadi baik pada tingkat kehidupan pribadi maupun sosial, termasuk pada tingkat kenegaraan. Orang atau bangsa kerapkali sampai kepada pengakuan akan kebenaran bukan karena kemauan sukarela, melainkan karena terpaksa.
Seperti ditegaskan dalam Qur'an: فإذا جآء أجلهم لا يستأخرون ساعة ولا يستقدمون ; fa idza ja'a ajaluhum fa-la yasta'khiruna sa'atan wa-la yastaqdimun.
Jika "moment of truth", saat-saat kebenaran tiba bagi mereka, tak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk mundur atau maju, untuk melarikan diri.
Saat kebenaran tiba, dan fakta bahwa, misalnya, kolesterol kita memang mulai naik, maka kita tak bisa lari lagi dari kenyataan itu. Penyangkalan dan kepura-puraan bahwa tubuh kita masih sehat-sehat saja, sehingga tak mau mengubah prilaku makan kita, sudah harus berakhir.
Kebenaran kerap lahir karena hasil pertarungan antara "penyangkalan" dan "pengakuan". Prosesnya seringkali karena keterpaksaan.
Terus, kenapa?
Advertisement