Badut-Badut Digital Ibukota
DUA minggu lagi, surut sudah gelombang pasang dan kerucut runcing badai perebutan suara pemilih di DKI Jakarta. Tanggal 19 April 2017 bakal dicatat dalam almanak warga Jakarta, khususnya, dan masyarakat Indonesia, umumnya, sebagai hari bernafas lega dan normal. Pun, bisa jadi, pasangan mana yang dinyatakan oleh quick count atau exit poll pada sore harinya, sudah tak lagi disambut dengan penuh emosi. Seluruh anggota tim pemenangan dan relawan sudah bekerja dengan baik.
Wargapun terlihat tak menurunkan level kepedulian dalam mengikuti seluruh tahapan pemilihan hingga kotak suara dibuka dan dihitung dalam gelanggang mata rakyat ramai. Sederhana saja membuktikannya. Pergilah blusukan ke seluruh area di DKI Jakarta pada malam hari, kalau perlu menjelang dini hari. Warga terlihat berkumpul di pos-pos RT atau RW, dengan sikap bersahabat. Bahkan di area yang dikenal sebagai kawasan Bronx: Jakarta Utara ataupun Jakarta Barat. Apa itu Bronx? Yakni kawasan paling padat penduduk, juga paling “sangar” sebagai tempat kaum urban strata rendah bertempat-tinggal.
Sejak menjadi warga DKI Jakarta 25 tahun yangh lalu, saya senang menelusuri kawasan-kawasan yang kadang ditakuti oleh warga dari daerah lain itu. Apalagi di malam hari. Apalagi saya banyak bertempat tinggal di daerah Jakarta Kota yang terkenal dengan hiburan malamnya. Sudah lebih dari duapuluh tahun lalu saya berkeliling ke mesjid-mesjid unik dan kuno di DKI Jakarta, termasuk Mesjid Luar Batang yang menjadi terkenal lagi tahun 2016 lalu. Terasa sekali nafas menjadi lebih lega ketika mengikuti ritme warga di area-area seperti itu. Tentu dengan beragam pemahaman yang mereka miliki.
Berbicara dengan warga kebanyakan adalah kebiasaan yang saya lakukan. Bahkan di tengah bisingnya lalu lintas, tatkala saya naik bajaj atau ojek. Bertanya, bertanya dan bertanya: begitu yang saya lakukan guna mengetahui pikiran kelas pekerja paling bawah itu. Para penjual koran di malam hari, petugas parkir, bahkan juga gelandangan dan pengamen yang dengan wajah lelah masih memainkan peralatan musik yang seadanya. Warga yang sering tercecer, bahkan terlindas dalam lajunya ibukota itu, adalah warna paling alami dari Jakarta. Mereka bukanlah kelompok yang bergincu dan berpupur tebal yang pandai menggunakan topeng-topeng palsu sebagaimana yang saya sering lihat di strata atas.
Dari denyut nadi pergerakan warga di lapangan, terasa sekali lebih berkurang dibandingkan dengan dua minggu menjelang putaran pertama. Sama sekali tak ada situasi “Jakarta in waiting”, sebagaimana saya rasakan pada waktu menjelang sejumlah tahun penting seperti 1998. Ada sejumlah relawan yang menyatakan “curiga” atas mendinginnya situasi. Kecurigaan itu tertuju kepada pihak-pihak yang secara terang benderang menyatakan keberpihakan politik dan logistik kepada salah satu pasangan.
Ketika himbauan netralitas total disampaikan, secara kasat mata orang-orang yang bersusun menjadi jaringan kekuasaan ternyata sulit untuk menyimpan muka yang lebih asam. Pilihan kata juga tak lagi hati-hati, bisa asal comot saja dalam perbendaharaan hardware dan software brangkas di dalam neuron-neuron penyimpan di dalam otak. Walau kerja otak lebih rileks – bagaimana bisa otak bisa disebut berpikir, tatkala kata-kata diedarkan tanpa pernah dipikirkan – tetap saja perasaan tak bisa disembunyikan.
Bagi politisi organik, yakni mereka yang berkeringat dan berbasah badan di tengah akar umbi warga, keadaan seperti ini tak banyak memicu gairah. Dinamika yang terjadi sudah menjadi protein harian yang bahkan bisa dijalankan sebagai rutinitas. Warga memiliki kearifan dan kematangan emosional yang tinggi. Apabila kita membuka seluruh rongga dalam keseluruhan panca indra guna menangkap apa yang terjadi, terasa sekali keheningan dan ketenangan sikap (dan mentalitas) warga. Hidup tetap menjadi pikulan demi pikulan waktu yang terpahat dalam perjalanan batin individu-individu warga yang kadang hanya dianggap sebagai angka-angka statistik itu.
Dengan potret seperti itu, justru terlihat betapa ada jarak yang jauh antara apa yang menjadi realitas warga dengan konstruksi realitas yang dimainkan para kandidat atau tim pendukung masing-masing. Sering sekali saya membaca argumen-argumen yang diluar realitas. Orang-orang yang merasa dirinya adalah representasi atau wakil dari keadaban, dengan status-status buatan seperti pakar, pengamat, politisi, intelektual dan buzzer; justru adalah sosok-sosok yang sepenuhnya terasing dan jauh dari realitas yang mereka mau gambarkan. Antara fakta yang terjadi begitu jauh dengan abstraksi dan opini yang dibuat.
Jadinya apa? Kalangan yang merasa menjadi middle class atau upper class itu justru tampak seperti badut-badut yang sedang sibuk dengan diri sendiri, tetapi seolah berbicara tentang orang lain atau dunia lain. Yang lebih parah lagi, badut-badut itu tidak sadar telah dibadutkan. Mengapa? Mereka mengandalkan tombol-tombol buatan yang mereka bikin sendiri, misalnya dengan ratusan akun media sosial yang siap me-RT apapun yang mereka ucapkan. Cara yang juga dikenal di stasiun-stasiun radio era 1990-an, yakni ketika ucapan-ucapan seseorang lantas ditepuk-tangani oleh kaset-kaset yang berulang. Tepuk tangan audio-visual yang sebetulnya tak ada yang melakukan. Tepuk tangan dengan bantuan teknologi rekayasa.
Saya bertanya: apa yang terjadi pada saat baju-baju badut-badut ibukota itu dibuka? Sungguh, saya ingin menyaksikan itu pada tanggal 19 April 2017 nanti...
*) Indra J Piliang adalah aktifis dan penulis aktif. Dia Kini Menyebut Dirinya Sang Gerilya Ibukota.