Badai Sitokin Pasca Covid-19 Wajib Diwaspadai!
Virus corona atau Covid-19 itu nyata. Per hari ini, Jumat 7 Mei 2021, kasus baru positif Covid-19 di Indonesia kembali dilaporkan ada peningkatan. Berdasarkan data di situs Satgas Penanganan Covid-19, ada 6.327 kasus baru corona. Total kasus Covid-19 di Tanah Air sejak 2 Maret 2020 sebanyak 1.703.632. Total tercatat sudah ada 46.663 pasien meninggal dunia. Salah satu korbannya ialah Raditya Oloan. Dia merupakan suami dari artis Joanna Alexandra.
Raditya Oloan beserta keluarga diketahui terkonfirmasi positif Covid-19. Mereka pun diboyong ke Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, untuk menjalani perawatan medis. Selama dalam perawatan, Raditya Oloan dan Joanna Alexandara serta keempat anaknya berhasil pulih dan terkonfirmasi negatf Covid-19.
Namun, Raditya Oloan yang terkonfirmasi negatif Covid-19 pada 4 Mei 2021, justru tak bisa pulang ke rumah. Dia dirujuk ke Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta.
Kondisi Raditya Oloan justru menurun setelah diketahui mengalami cytokine storm atau badai sitokin pasca Covid-19.
Apa yang dimaksud dengan badai sitokin hingga berbahaya bagi pasien Covid-19?
Badai Sitokin
Dikutip dari berbagai sumber, Sitokin diambil dari bahasa Yunan yang berarti sel (cyto) dan gerakan (kinos). Sitokin merupakan protein pembawa pesan antara sel pada sistem kekebalan tubuh (imun). Ketika virus SARS-CoV-2 memasuki tubuh, sel darah putih akan merespon dengan memproduksi sitokin.
Sitokin kemudian akan bergerak menuju jaringan yang terinfeksi dan bekerja sama dengan sel darah putih, tujuannya untuk membasmi virus. Pada kasus Covid-19, sitokin biasanya bergerak menuju jaringan paru-paru untuk melindunginya dari serangan virus. Normalnya sitokin hanya bekerja dalam waktu singkat dan akan berhenti saat respon kekebalan tubuh tiba di daerah infeksi.
Pada dasarnya, sitokin akan membawa pesan bahwa tubuh membutuhkan sistem imun untuk melawan virus. Namun pada kondisi badai sitokin, sitokin terus mengirimkan sinyal sehingga sel imun terus berdatangan dan bekerja tak terkendali.
Badai sitokin merangsang pertumbuhan sel imun hingga terus menyerang paru-paru, padahal virusnya sendiri sudah mati. Akibatnya paru-paru meradang parah karena sistem imun berusaha keras membunuh virus ketika infeksi sudah selesai. Alhasil, jaringan paru-paru mengalami kerusakan. Kondisi pasien yang sudah membaik bisa tiba-tiba memburuk dalam waktu singkat.
Sitokin juga bisa memicu kematian sel dalam sebuah jaringan. Akibatnya jaringan dalam organ tubuh tak berfungsi. Pada kasus Covid-19, jaringan yang rusak tersebut berada di paru-paru, menyebabkan kebocoran paru, pneumonia, dan darah kekurangan oksigen. Istilahnya adalah Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) yang mengakibatkan kematian.
Pemicu Badai Sitokin yang Tak terdeteksi
Kondisi badai sitokin dapat dipicu oleh sejumlah infeksi, influenza, pneumonia, dan sepsis. Beberapa orang yang terinfeksi akan menjadi sangat sakit karena mengalami demam, kelelahan, kehilangan nafsu makan, nyeri otot dan persendian, mual, muntah, diare, ruam, pernapasan cepat, detak jantung cepat, tekanan darah rendah, kejang, sakit kepala, delirium, tremor.
Si pasien kemudian akan kesulitan bernapas sehingga harus dibantu dengan ventilator, kondisi tersebut akan terjadi dalam waktu enam sampai tujuh hari setelah timbulnya penyakit.
Tidak ada cara untuk mendeteksi apakah seseorang sedang mengalami kondisi badai sitokin atau tidak meskipun pemeriksaan pemeriksaan darah dapat memberi petunjuk pada dokter bahwa respon hiper-inflamasi sedang terjadi, tes darah mungkin dapat dilakukan untuk digunakan mendeteksi kondisi badai sitokin tetapi hal tersebut belum cukup valid.
Pencegahan Badai Sitokin
Interluekin-6 merupakan protein (sitokin) yang diproduksi oleh sel-sel imun, sel-sel radang untuk regulasi kekebalan tubuh juga salah satu jenis sitokin yang terlibat dalam proses inflamasi dan kanker. Produksi sitokin akan meningkat pada saat terjadi respon imun terhadap patogen atau penyakit tertentu, untuk itu obat anti interleukin-6 seperti tocilicizumab dan sarilumab yang digunakan untuk uji klinis terhadap pasien covid-19.
Selain itu, Vitamin C memiliki sifat antioksidan sehingga di duga dapat membantu mengurangi keparahan kondisi badai sitokin, hal tersebut juga didukung dengan daya tahan tubuh atau sistem kekebalan tubuh yang dimiliki pasien dalam melawan virus yang masuk serta mencoba menginfeksi ke dalam tubuh.
Beberapa studi menemukan bahwa bentuk vitamin D yang diaktifkan secara langsung terkait dnegan penghambatan dua sitokin, interferon gamma IL-2 yang dapat menyebabkan kegagalan organ.
Selama infeksi virus, vitamin D yang tidak aktif akan diubah menjadi bentuk aktif oleh sel-sel di alveoli, kantung kecil yang terdapat di paru-paru akan menyebabkan peningkatan ekspresi senyawa lain yang disebut cathelicidin, dan cathelicidin terbukti dapat mengurangi cedera paru-paru yang disebabkan oleh hiperoksia atau suplai oksigen yang berlebihan.
Advertisement