Bada, Riyaya, Ketupat, Wafer, dan Kacang Bawang
Oleh: RWilis
Orang asli Banyumas (Purwokerto, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara dan sekitarnya) menyebut lebaran dengan kata BADA. Kata tersebut diucapkan sesuai hurufnya, ya. Atau RIYAYA, bukan riyoyo. Bada, adalah ketupat opor lengkap dengan ubo rampe-nya dan biskuit wafer dan kacang bawang.
Dua–tiga hari sebelum bada, kampung seluas nyaris 1 hektare akan berbau nyaris sama: aroma santan yang wangi dari opor ayam jago, yang begitu menyentuh hidung akan membangkitkan godaan tak tertahankan. Menggelorakan nafsu makan ke permukaan, orkes keroncong dalam lambung semakin membahana.
Pagi-pagi setelah salat Ied di alun-alun, cepat-cepat kami pulang demi opor ayam yang sudah mengendap di otak berhari-hari. Beruntung saya tinggal di kampung "the bronx" tidak jauh dari alun-alun kota. Tak mau lama-lama menyimak kotbah, anak-anak akan segera berlari pulang dan menyerbu meja yang isinya melimpah—hanya pada saat bada. Meja makan yang biasanya hanya ada lauk seadanya, pada hari riyaya, berubah menjadi meja penuh protein. Riuh berebut paha ayam atau rempelo ati, melupakan sejenak pada menu kerakyatan: tempe. Makan kilat dengan piring penuh seperti orang kelaparan. Setelah kenyang, tak berhenti, bersama anak tetangga, berkeliling ke rumah-rumah sambil mengantongi kacang bawang. Ah iya, hampir semua baju anak-anak pada masa itu selalu berkantong. Untuk tempat sapu tangan atau sekeping uang jajan.
Saat bada, kantong-kantong itu akan menggelembung. Satu berisi uang fitrah kecil, sebutan anak-anak di kampung saya untuk uang pemberian para dewasa saat lebaran. Tentu saja tidak setiap orang memberi. Mendapat uang senilai seratus rupiah adalah dambaan anak-anak. Kantung satu lagi isinya kacang bawang yang bisa dicemil sambil jalan dari rumah ke rumah.
Kacang bawang adalah kacang tanah yang dikupas kulit arinya lalu digoreng dengan tambahan irisan bawang putih. Mengupas kulit ari adalah kerja rodi. Mana ada anak berani melawan orang tua yang memerintahkan mengupas dua kilo kacang yang sebelumnya direndam air mendidih. Panganan kecil ini termasuk makanan atau snack mewah. Membuat kacang bawang yang gurih, renyah, dan wangi memang perlu banyak bawang putih. Dulu, bawang putih adalah bumbu yang mahal. Ibu saya sangat perhitungan ketika memasak: satu–dua bawang, sudah cukup katanya.
Namun, menggoreng kacang bawang tidak bisa dengan sedikit bawang. Itulah sebabnya, tidak semua rumah menyediakan. Bila ada pun, tidak akan dipajang di meja tamu dan dibiarkan untuk diserbu anak-anak yang tak pernah kenyang. Ibu juga terpaksa menyembunyikan sebagian kacang bawang agar tidak langsung habis digasak anak-anaknya yang seperti monyet lapar bila melihat setoples kacang bawang. Apalagi bila melihat irisan bawang terselip di antara butiran kacang keemasan. Kacang tanah dan bawang putih bercampur lebur di dalam mulut, menghasilkan rasa gurih paling nikmat yang membuat ketagihan.
Bada juga berarti ada biskuit. Selain kacang bawang yang gurih, anak-anak juga menyukai biskuit. Keluarga kami dianggap sebagai keluarga terpandang karena Bapak selalu bisa membeli sekaleng biskuit Khong Guan. Anak-anak yang lahir di era tahun ’60–70-an pasti melakukan hal yang sama. Mengincar kaleng biskuit berwarna merah, bergambar perempuan dan dua anaknya. Lalu berlomba memperebutkan biskuit paling fenomenal: wafer. Pada suatu waktu, saya pernah melihat Bapak pulang dari mengajar, membawa sekarang biskuit yang lalu disembunyikan:”Nggo bada!" Buat lebaran, begitu kata Bapak pada Ibu.
Namun, serapat apa pun mereka menyembunyikan biskuit itu, anak-anak tetap bisa menemukan dan lalu memperebutkan seperti budak bala tentara Romawi beradu singa. Saya yang selalu kalah dalam adu wafer harus rela kebagian biskuit gula. Saya menyukai yang ada rasa manis asamnya, krim gula berwarna kuning, bukan yang putih.
Nasib biskuit ini paling menggenaskan. Saat ada tamu, ibu terpaksa menyuguhkannya meski isinya berantakan. Bahkan banyak biskuit yang patah-patah atau terlepas krimnya. Ibu berkali-kali minta maaf. “Maaf, ini anak-anak selalu rebutan mencari wafernya,” kata Ibu sambil menahan malu.
Begitulah, sepertinya lebaran memang waktu yang paling tepat untuk saling memaafkan. Seperti ibu yang tak henti meminta maaf. Maafkan kelakuan anak-anakmu, wahai Ibu.
Kutisari, 11 April 2024
Advertisement