Bacakan Tuntutan Setya Novanto, JPU: You Can Run but You Can't Hide!
Penangan kasus dugaan korupsi e-KTP yang melibatkan Setya Novanto dinilai sangat rumit, hal itu dikatakan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Pasalnya, KPK harus mengejar barang bukti dan kesaksian dari para saksi hingga ke luar negeri.
Meski begitu, demi menegakkan hukum terutama dalam pemberantasan korupsi, KPK menginginkan pelaku korupsi mendapat ganjaran setimpal dengan perbuatannya.
Hal itu diutarakan JPU KPK Irene Putri, saat membacakan surat tuntutan terhadap Setnov di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 29 Maret 2018.
"Berbagai kerja sama internasional yang dilakukan juga menjadi pesan, bahwa tiada tempat bagi pelaku korupsi. You can run but you can not hide (kamu bisa lari, tapi kamu tak bisa sembunyi)," kata Irene.
Tidak hanya proses penyidikan hingga ke luar negeri, KPK juga tidak melupakan aksi drama yang dilakukan oleh Setnov bersama mantan pengacaranya Fredrich Yunadi.
Itu terkait insiden Setnov mengalami kecelakaan tunggal karena menabrak tiang telepon, sebelum ditangkap KPK, November 2017. Setnov kala itu dilarikan ke rumah sakit Medika Permata Hijau untuk menjalani perawatan.
Tidak hanya sampai di situ, diagnosis untuk penyakitnya juga diklaim KPK direkayasa oleh dokter Bimanesh Sutarjo yang sudah menjalin kerjasama dengan Fredrich.
Jaksa juga menyebut Mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut sebagai politikus yang berpengaruh sangat kuat. Plus, Novanto juga disebut sebagai pelobi ulung.
Setnov didakwa menerima uang dari proyek e-KTP sebesar USD 7,3 juta. Uang itu diterimanya melalui keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan orang terdekatnya Made Oka Masagung.
Namun, terhadap dakwaan jaksa terkait penerimaan uang itu, Setnov membantahnya saat menjalani pemeriksaan terdakwa.
Dia juga didakwa menerima sebuah jam tangan mewah seharga miliaran rupiah dari pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Mantan Ketua DPR RI tersebut juga diduga ikut mengintervensi proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut sehingga merugikan negara hingga Rp2,3 triliun. (frd)