Azyumardi Azra, Islam Nusantara Berkemajuan
Islam di Indonesia adalah menyatukan. Ia mempertemukan seorang berlatar budaya Minangkabau dengan budaya Sunda. Sunda tetaplah berbeda dengan Minangkabau, dan ia tak bisa secara aktif hingga akhir hayatnya berbahasa Sunda.
Justru Islamlah yang menyatukan. Islamlah yang menjadi pengikat dua insan beda jenis, dalam keutuhan satu rumah tangga. Itulah dibuktikan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Azyumardi Azra, menikahi Ipah Farihah dan dikaruniai 4 anak: Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra, dan Emily Sakina Azra.
Islam adalah faktor menyatukan. Belajar dari sosok ulama berpengaruh masa lampau: Syaikh Yusuf al-Maqassari. Ia diterima dengan mudah, bahkan dijadikan menantu oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Ia juga mengembara ke Aceh dan diterima dengan baik. Dalam keyakinan Azyumari Azra, Indonesia tak pernah ada jawasentris. Jagat kultural Indonesia adalah cair. Para penyebar Islam dari Minangkabau di Nusa Tenggara Barat dan di tempat lain oleh orang yang sama. Guru pengembara dari mana ke mana. Ini yang menyatukan suku yang berbeda itu.
Azyumardi Azra pun bisa diterima pelbagai kalangan Islam. Lahir dari keluarga Muhammadiyah, ia akrab dengan kalangan Nahdlatul Ulama. Islam Indonesia adalah Islam Nusantara berkemajuan. Ia berkeyakinan: Islam di Indonesia merupakan Islam yang khas yang memilki karakter istimewa. Islam di Indonesia, merupakan Islam yang sempurna yang sudah teruji oleh sejarah. Bagaimana Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai menggantikan agama besar sebelumnya, Hindu dan Budha. Candi Borobudur sebagai prasasti peninggalan agama Budha, yang pada masanya belum ada teknologi canggih untuk membangunnya. Candi Borobudur merupakan prasasti kebanggaan agama Budha. Tapi pelahan ajaran Budha bisa digantikan agama Islam secara damai tanpa menghancurkan prasasti peninggalan umat sebelumnya.
Contoh penghormatan Islam terhadap nilai kultural masyarakat di Kudus. Kehadiran Sunan Kudus tidak memberangus tradisi masyarakat, melainkan justru menghormati. Masjid Menara Kudus dengan artitektur yang menawan. Demikian pula tradisi berkurban, tidak dengan sapi -- hewan yang dihormati dalam Hindu -- melainkan dengan kerbau.
Magnum Opus Jaringan Ulama
Sebagai ahli sejarah dan intelektual Muslim, Azyumardi Azra selalu melihat titik temu. Meskipun garis perbedaan menganga di depan, tapi di matanya titik temu merupakan cara pandang efektif dalam keharmonisan sosial.
Ketika tampil di depan jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, ia didengar dengan takzim. Ia menguraikan Islam Nusantara -- istilah yang ia gunakan dalam kajian, tapi begitu dipakai NU untuk mendeklarasikan diri saat Muktamar ke-33 di Jombang pada 2015 mendapat reaksi begitu kencang dari pengecamnya. Mereka yang bersedia memahami istilah sebagai karakter sosial, bukan area teologi atau mazhab baru di Indonesia.
Indonesia adalah negeri maritim dengan luas laut melebih luas daratannya. Laut bukanlah pemisah melainkan menjadi pemersatu antarpulau. Dan, karenanya, Islam kita menjadi Islam yang menyatu. Persebaran kitab karya Syaikh Abdul Rauf As-Singkel terhitung begitu cepat. Kitab berjudul Mirat al-Thullab yang ditulis pada abad 17 di wilayah Sumatera, telah menyebar ke Buton, Sulawesi hingga Mindanao, Filipina bagian selatan. Demikian menjadi dasar pembentukan dasar fikih Syafii dalam waktu tak lama.
Akademisi yang mendapat gelar kehormatan Commander of The Order of British Empire (CBE) dari Ratu Elizabeth II (yang belum lama ini mangkat) membawa dirinya dengan sikap terbuka. Ia berangkat dari kalangan modernis, menyikapi perbedaan tradisi, suku, bahasa yang begitu kompleks itu bukan soal bagi masyarakat Nusantara karena kehadiran Islam menjadi pemersatunya. Sekali lagi, Islam menjadi faktor pemersatu.
Karya magnum opusnya, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Aband XVII & XVIII (1993). Dari disertasi berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth Centuries.
Tokoh kelahiran Sumatera Barat, 4 Maret 1955, sedianya menghadiri undangan dalam seminar internasional bertema 'Kosmopolitan Islam, Mengilham Kebangkitan, Meneroka Masa Depan' di Bangi Avenue Convention Centre (BACC), Kajang, Malaysia pada 17 September. Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatulla itu menjadi salah satu pembicara bersama tokoh penting Malaysia, Anwar Ibrahim.
Ketua Dewan Pers ini tak sempat menyampaikan makalah yang sudah disusun. Begitu masuk mendarat di Malaysia, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Allah Subhanahu wa-ta'ala berkehendak lain: Azyumardi Azra mengembuskan nafas terakhir, dalam usia 67 tahun, di Rumah Sakit Serdang, Malaysia, pada Minggu 18 September 2022 pukul 12.30 waktu setempat.
Dalam buku karyanya, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Aband XVII & XVIII (1993), Azyumardi Azra, menegaskan bahwa penyebaran gagasan pembaruan Islam ke Wilayah Indonesia pada abad ke-17 dan ke-18, oleh para ulama Melayu Indonesia (Jawi) yang terlibat dalam jaringan ulama, Nuruddin Ar-Raniri, Abdurrauf Al-Sinkili, Syaikh Muhammad Yusuf Al-Maqqassari. Pemikiran yang berorientasi dalam bidang tasawuf dan fikih (syariat), adalah penghayatan agama secara tasawuf dan pendekatan agama secara fikih yang normatif. Dalam mencari hubungan yang seimbang antara syariat dan tasawuf para ulama tersebut menyebarkan NeoSufisme di Nusantara untuk mendorong upaya-upaya serius ke arah rekonstruksi sosio-moral masyarakat Muslim.
Prospek Civil Society dalam perkembangan politik dan ekonomi pada tatanan Indonesia baru tidak sekelabu dugaan sebagian orang, karena Masyarakat Madani tidak identik dengan kemunculan kelompok-kelompok yang atas nama demokrasi dan demokratisasi, berkeinginan mengubah status-quo politik. Apalagi dengan cara-cara radikal. Dengan kata lain perkembangan Masyarakat Madani lebih dari sekadar pertumbuhan gerakan-gerakan prodemokrasi dan kemunculan Kelas Menengah yang kritis dan oposisional terhadap rezim-rezim yang opresif.
Azyumari Azra menegaskan kesadaran ulama pada zaman itu akan pentignya modernisasi pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan abad ke-20 dan era globalisasi, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengembangan kajian keislaman sebagai disiplin keilmuan universitas, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, serta pembentukan sekolah-sekolah unggul.
Dalam Jaringan Ulama, Azyumardi Azra membawa ke alam pembaruan pendidikan pasantren agar mampu merespons perkembangan yang terjadi di sekitarnya tanpa meninggalkan ciri aslinya, dengan cara mendirikan madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan umum yang berada dibawah sistem dan kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kini, Kemendikbudikti) Pembaruan surau dengan sistem pendidikannya yang khas kembali mencapai puncak kejayaannya hingga abad ke-20 bukan sekadar tempat belajar membaca Al-Quran atau arena sosialisasi anak-anak dan remaja. Tetapi lebih dari itu adalah sebagai wahana belajar ilmu pengetahuan umum dan keterampilan-keterampilan lainnya dalam menunjang kehidupan masa depan yang lebih cerah.
Neo-Sufisme dan Pengaruhnya di Nusantara
Azyumardi Azra mempunyai empati terhadap tasawuf. Meskipun kita tahu, tasawuf -- terutama di kalangan kaum Muslim modernis -- sering dianggap sebagai salah satu penyebab kemunduran dunia Islam. Secara religius tasawuf sering dianggap sebagai bid’ah dan takhayyul. Secara sosial tasawuf disalahkan karena menarik massa Muslim ke arah “kepasifan” dan penarikan diri dari masalah-masalah dunia. Akibatnya, dengan tuduhan itu, masyarakat Muslim tidak bisa berpacu dengan dunia Barat yang kian maju, yang sejak awal abad ke-17 semakin mengacau Darul Islam.
Sebagian besar tuduhan ini tak mempunyai dasar yang kuat, Azyumardi Azra menekankan, tidak perlu lagi mengulang-ulang argumen dan bukti-bukti yang ditunjukan dalam seluruh argumen yang ada. Ia berdalih, ajaran pokok tasawuf yang telah diperbarui atau Neo-Sufisme bersifat murni. Ia menuntut kepatuhan penuh kepada semua Muslim untuk patuh pada ajaran yang bersifat ortodoks atau lebih tepat kepada syariat. Mustahil juga para ulama mengamalkan ajaran Islam tanpa adanya pijak hukuman yang jelas dalam hal ini syariat.
Begitu pula tuduhan kaum modernis bahwa tasawuf mendorong kepasifan dan penarikan diri dalam pembahasan perihal duniawi. Dalam kasus para ulama Melayu Indonesia pada abad ke-18, kita melihat al-Raniri, al-Sinkili, dan al-Maqassari, menampilkan diri mereka sebagi sufi teladan, yang memberikan perhatian bukan hanya pada perjalan spiritual melainkan juga pada masalah dan tugas keduniawian, dengan memegang jabatan sebagai mufti di kesultanan masing-masing. Syaikh Yusuf Al-Maqassari bahkan berperan lebih jauh lagi sebagai seorang pemimpin perang.
Fakta sejarah ditunjukkan Azyumardi Azra, terjadi pada para ulama Melayu-Indonesia dalam abad ke-18 yang telah melakukan pembaruan dan aktivisme Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang merintis diadakannya jabatan mufti dan didirikannya lembaga-lembaga pendidikan Islam di Kesultanan Banjar.
Sedangkan al-Falimbani selalu menyerukan jihad melawan para penjajah yang dengan semena-mena menjajah bangsa Indonesia. Dengan ini mengakis tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kaum modernis bahwa tasawuf hanya berkutat masalah spiritual semata.
Pengaruh Neo-Sufisme di Nusantara menjadi bukti nyata bahwa tasawuf tidak hanya berkutat masalah spiritual semata. Tasawuf pun harus berkontribusi dalam urusan mengenai duniawi. Gerakan ini menjadi gerakan perlawanan dalam masalah keagamaan untuk melawan kaum misionaris yang menyebarkan agama selain Islam di Nusantara. Neo-Sufisme pun menjadi terobosan baru dalam ajaran Islam di Nusantara yang memadukan antara syariat dengan kesufian.
Pembaruan di Kalangan Islam Tradisional
Menyangkut pembaharuan Islam di wilayah Melayu-Indonesia pada abad ke-17, Azyumardi Azra menyampaikan sikap kritis. Ia mengingatkan, pembaruan itu bukan semata-mata berorintasi pada tasawuf semata melainkan pada syariat juga. Sejarah besar Islam Nusantara karena pada abad-abad sebelumnya masih berorientasikan pada tasawuf semata. Para ulama pada zamannya, sadar bahwa hanya NeoSufisme saja yang dapat membawa perubahan dalam tubuh umat Islam di Nusantara. Dan gerakan pembaharuan Islam tak terjadi pada abad ke-19 atau ke-20 tetapi sudah terjadi sejak abad ke-17 melalui gerakan Neo-Sufisme tersebut.
Banyak tokoh yang memainkan peranan penting dalam jaringan ulama ini. Kontak-kontak yang secara teratur mereka jalin dengan berbagai tradisi pengetahuan dan keilmuan besar Islam besar sekali sumbangannya pada pembentukan sifat istimewa dan wacana ilmiah dalam jaringan ulama. Dua cara yang paling ampuh dalam jaringan ulama adalah telaah hadits dan tarekat. Melalui telaah ini hubungan antara guru dan murid saling terkait satu dengan yang lainnya. Serta pembaharuan yang dilakukan para ulama tidak seragam ada tipikal yang bersifat revolusioner dan ada yang tipikal revolusioner radikal. Para ulama dan jaringannya memainkan peranan yang sangat besar pada tempat yang mereka pijaki. Itulah lokalitas dan kearifan lokal yang di kemudian hari manjadi diskursus para aktivis sosial.
Azyumardi Azra memperkuat kajian-kajian yang menempatkan sisi positif gerakan tasawuf, sebagaimana karya Alwi Shihab dalam Islam Pertama, yang telah diperjuangkan Walisanga di bumi Nusantara pada abad sebelummya. Tasawuf menjadi penting karena merambah hati sekaligus membuka pintu hidayah bagi masyarakat awam di tanah Jawa dan Nusantara secara luas.
Kita pun terkejut ketika ada satu bukti, ketika Azyumardi Azra berbaiat kepada Syaikh Hisyam Kabbani. Alumni HMI ini, ternyata menyatakan diri sebagai Pengikut Tarekat Naqsyabandiyah. Agaknya, ini di antara yang dimaksudkan KH Abdurrahman Wahid sebagai "Masjumi yang Bertarekat". Azyumardi Azra menambah deretan orang-orang modernis yang berbait pada Guru Sufi, sebagaimana Prof Harun Nasution dan Prof Aboebakar Atjeh.
Azyumardi Azra, sebagaimana Ahmad Syafii Maarif, memberikan apresiasi empati terhadap kalangan Islam tradisional, khususnya dipresentasikan kaum santri dan NU. Keduanya, berpesan seolah mengingatkan akar kata dari "nahdlah" dan "ulama". Sehingga, intelektualisme yang berkecambah dan terus berkembang menjadi bagian yang melekat dalam tubuh kaum santri.
Ketika Buya Syafii Maarif wafat, tak sedikit tokoh NU menyatakan duka mendalam. Demikian ketika tersiar kabar duka pada Azyumardi Azra. Tokoh kelahiran Sumatera Barat, 4 Maret 1955, hendak menghadiri undangan seminar internasional bertema 'Kosmopolitan Islam, Mengilham Kebangkitan, Meneroka Masa Depan' di Bangi Avenue Convention Centre (BACC), Kajang, Malaysia pada 17 September. Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatulla itu menjadi salah satu pembicara bersama tokoh penting Malaysia, Anwar Ibrahim.
Azyumari Azra, Ketua Dewan Pers, tak sempat menyampaikan makalah yang telah disusun. Begitu masuk mendarat di Malaysia, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Allah Subhanahu wa-ta'ala berkehendak lain: Azyumardi Azra mengembuskan nafas terakhir, dalam usia 67 tahun, di Rumah Sakit Serdang, Malaysia, pada Minggu 18 September 2022 pukul 12.30 waktu setempat.
Azyumari Azra telah meningkan kita. Tapi, karya dan gagasannya, tetaplah memberi pengaruh dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Ia menyatukan dua kekuatan Islam: Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Ia pun menyebut Islam Nusantara Berkemajuan.
Wallahu a'lam. (Riadi Ngasiran)