Azis Tinggalkan Pare Kediri Pilih Jadi Guru Penggerak di Halmahera Barat
Menjadi guru penggerak di daerah terluar, terdepan dan tertinggal (3T) seakan sudah menjadi garis tangan Azis Wahyudi. Pria ini sehari-hari tercatat sebagai Guru SMP Negeri 23 Halmahera Barat, Maluku Utara.
Dengan segudang pengalaman selama mengikuti program pertukaran guru di Amerika Serikat, berpredikat guru dedikatif tingkat nasional 2023 serta menjadi guru penggerak, Azis sebenarnya
bisa menentukan pilihan di jalur kehidupan yang lebih mapan dan nyaman daripada menjadi guru di daerah tertinggal.
Tetapi alumni Universitas Negeri Malang itu punya alasan untuk menentukan pilihannya mengajar di daerah terluar bahkan tertinggal tersebut. "Anak anak di daerah 3T mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Mereka juga ingin bisa menulis membaca dan menjadi sarjana seperti yang lain," kata Azis.
Faktanya, guru asal Desa Pagu, Kecamatan Pare Kabupaten Kediri Jawa Timur ini , melihat kenyataan di lapangan, bahwa tidak semua guru dari kota bersedia mengajar di daerah 3T. Mereka ingin tetap berkumpul di daerah yang baik-baik saja bersama keluarga, tidak mau keluar dari zona nyaman.
Menjadi guru di daerah 3T, pengalaman Azis mencatat tidak cukup hanya berbekal sarjana. Harus memiliki jiwa pejuang dan dedikasi. Sebab di daerah 3T berbeda dengan kehidupan di kota yang fasilitasnya serba ada. Bisa berselancar di internet dengan nyaman tanpa kendala sinyal. Kondisi seperti itu tidak ditemukan di daerah 3T.
Untuk mendapatkan sinyal supaya bisa mengakses internet, harus boyongan ke tempat lain yang jaringan sinyalnya cukup baik.
Pertama menghadapi anak didik di daerah Halmahera Barat, Azis merasa prihatin. Melihat anak anak ke sekolah berpakaian seadanya, tanpa alas kaki sandal atau sepatu alias nyeker. Bahkan ada yang tidak mandi. ketika akan berangkat ke sekolah.
Kegiatan belajar mengajar di Halmahera Barat masih tertinggal dibanding dengan Ternate, Ibukota Provinsi Maluku Utara. "Saya menjumpai anak kelas tujuh ( kelas 1 SMP ) yang membacanya masih plegak-pleguk, tidak lancar, belum bisa membedakan bacaan K dan Q," kenang Azis.
Sebelum Azis mengenal karakter dan psikologi anak didiknya, pernah mengingatatkan muridnya, kalau sekolah harus mandi dulu, berpakaian rapi, supaya di sekolah tidak ngantuk.
Apa yang terjadi? Keesokan harinya banyak murid yang tidak masuk sekolah, bersembunyi di kebun. Mereka mau belajar kalau tidak merasa digurui dan mau bekerja kalau tidak merasa dipemetintah.
Persoalan ini disampaikan pada guru yang lain. Dan sesudah menarima masukan baru menyadari ia telah melakukan kesalahan. Menyamakan anak anak di daerah 3T dengan anak anak di kota. Bersekolah dengan penampilan necis, berseragam, bersepatu dan memaki parfum.
"Sejak itu saya punya PR baru, harus mengenali karekter anak didik dan orang tuanya supaya kehadiraanya bisa diterima, dan jangan sampai menimbulkan gejolak sosial," ujarnya.
Ia menyadari melakukan perubahan harus dilakukan secara bertahap, tidak bisa seketika seperti membalik telapan tangan.
Sebagai guru penggerak di daerah 3T Azis juga mempunyai pengalaman yang cukup unik saat akan melakukan pemeotretan untuk ujian. Ternyata ada menolak dan beralasannya wajahnya tidak cantik.
Mengingat foto ini penting, Azis pun sedikit memaksa, tapi siswa tidak tetap tidak mau, bahkan lari ke kebun. "Saya kejar, tapi larinya lebih kencang, " ujar pria lajang berusia 32 tahun tersebut sambil tertawa.
Dengan kapasitasnya sebagai koordinator guruk penggerak, Azis memotivasi guru guru yang lain untuk bergerak dan maju bersama.
Hasilnya, Azis melihat ada perubahan yang cukup menyenangkan. Semua siswa kalau akan sekolah mandi dulu, berpakain rapi meskipun berbahan sederhana, bahkan sudah yang memakai wangi wangian atau parfum.
"Mereka memahami pentingnya menuntut ilmu, tidak ada lagi yang protes, dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar," kata Azis.
Perubahan ini berkat kerjasama yang baik dari semua pemangku kepentingan, orang tua, anak didik, guru dan tenaga kependidikan serta peran Mama-Mama di Halmahera Barat.
Meskipun sempat stres menghadapi karakter anak didiknya, Azis bangga dengan toleransi di tempatnya mengajar, yang kebetulan berbeda agama. Azis seorang muslim, sedang lingkungannya banyak yang beragama kristen. "Ketika akan memberi makanan, saya selalu ditanya boleh makan itu tidak," ujarnya.
Bicara tentang problem pendidikan antara daerah 3T di Indonesia, dengan negara lain, Azis mengatakan problemnya sama. Waktu mengikuti program pertukuran guru di Amerika Serikat, ia sempat mengajar di Uganda, kondisinya lebih memprihatinkan.
Saat ditemui Ngopibareng.id dan peserta Press Tour Ditjen GTK dan BKHM Kemendikbudristek di Kota Ternate Maluku Utara, Azis bangga menjadi guru penggerak di daerah terpencil, meskipun jauh dari kenyamanan.
Dalam pertemuan ini Azis didampingi Rohani Sidangoli, S.Pd Kepsek Ake Gaale (PSP A1) pemenang sosok Inspiratif merdeka belajar tingkat nasional tahun 2023. Dan Fanny, S.Pd, Kepsek SMPLB Negeri Ternate, Finalis kepala sekolah Inovatif tingkat SLB HGN tahun 2023.
Ia menyebut menjadi guru di daerah "gersang" dan selalu bersama sama orang yang terlupakan, sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Azis pernah menjadi guru paket A dan B di Lembaga Pemasyarakatan di Malang, dengan harapan narapidana (Napi) yang tidak punya ijazah supaya bisa ikut ujian persamaan.
Menjadi guru di Manggarai NTT. Mengajar di sekolah khusus anak anak TKI di Sabah Malaysia.
Azis belum tahu kapan akan mengakhiri pengabdiannya sebagai guru penggerak di daeedrah 3T.
"Tidak ingin kembali ke Kediri?," pertanyaan Ngopibareng.id. ini tidak segera dijawab. Ia hanya tersenyum.