Ayoh Nyate Kebo, Wis Pernah Opo Belum?
Melintasi Jalur Pantura? Pasti akan ketemu Kudus. Mau ke Pekalongan nyari batik-batik keren? Pasti juga lewat Kudus. Mau ke Jakarta lewat jalur darat ya pasti juga lewati Kudus. Nah, kalau lewat jalur ini, jika penat, jangan hanya mampir SPBU untuk sekadar pipis atau tidur. Melangkahlah sedikit menuju Menara Kudus, nah disitu ada panganan lama nan legendaris. Sate kebo.
Warung itu sederhana saja di dekat Menara Kudus yang amat bersejarah itu. Nempel di tembok tua di jalan Menara. Meski sederhana tapi menunya istimewa. Sate Kebo dan Soto Kebo. Dua macam kuliner legendaris di Kudus yang sayang jika dilewatkan untuk dicoba.
Jika mampu bercerita, warung nempel di tembok tua milik generasi Mbah Supar ini pasti bisa mendongeng tentang banyak hal. Terutama menu sate kebo dan soto kebo. Mungkin ia bisa mendongeng siapa saja pengunjung setia warungnya sejak zaman kalabendu. Bercerita juga tentang ide awal sate kebo yang dikemudian hari menjadi kuliner begitu terkenal di Kudus. Atau berkisah juga kenapa kebo alias kerbau kok bukan sapi.
Kerbau disembelih karena kearifan lokal yang ada di masyarakat Kudus. Di Kudus masyarakat tabu menyembelih sapi, karena sapi dihormati orang beragama Hindu. Diyakini, Sunan Kudus yang membawa ketabuan ini lantaran ingin menghormati Hindu yang kala itu sangat berakar kuat di Kudus.
Warung Sate Kebo Mbah Supar ini usianya lebih dari 99 tahun. Demikian menurut Karmini, 48 tahun, generasi ketiga yang meneruskan usaha sate kebo warisan Mbah Supar. Konon , buyutnya, juga berdagang sate kebo dengan cara dipikul dari kampung ke kampung. Tempat ngetem paling favorit adalah di depan Masjid Kudus, karena di masjid ini tak pernah sepi dari pengunjung dan peziarah.
Meski berbeda jaman, soal rasa, Karmini menjamin, tak berbeda dari pendahulunya. Hanya cara penyajiannya saja yang berbeda. Dulu hanya memakai pincuk daun pisang, sekarang memakai piring dan mangkok. Memakai piring dan mangkok juga lebih karena pertimbangan kepraktisan.
Nuansa manis akan segera menyergap begitu sate kebo menempel di ujung lidah. Setelah manis menghilang baru sensasi gurihnya menyusul kemudian. Rasa manis memang muncul karena proses awal pembuatannya. Sebelum disate, daging kebo segar ternyata terlebih dahulu harus dimemarkan dengan cara dipukul-pukul sampai empuk sembari dibubuhi gula merah.
Karmini membutuhkan daging kebo segar 11kg per hari. Untuk disate maupun soto. Untuk soto, daging tak perlu dimemarkan seperti membuat sate. Daging cukup diiris besar-besar kemudian direbus hingga empuk. Jadi, ketika soto terhidang, tekstur daging yang berserat besar-besar dan berwarna kemerahan begitu nyata terlihat. Hemm… rasa gurihnya juga bercampur nuansa manis meskipun hanya lamat-lamat.
Untuk satu porsi harganya hanya 22 ribu rupiah. Isinya 10 tusuk sate. Itu sudah komplit pakai nasi atau lontong. Sedangkan soto lebih murah, hanya 15 ribu rupiah.
Jika harus makan berdua, sate kebo plus soto kebo plus minuman dan mungkin ditambah kerupuk yang renyah yakinlah uang 100 ribu pasti ada kembaliannya. Termasuk murah meriah untuk ukuran kuliner yang jarang ada duanya di tempat lain. Warung berumur tua ini akan buka mulai pukul 15.00 hingga 23.00, mungkin juga akan tutup lebih awal jika dagangan sudah laris manis sejak sore. widi kamidi