Ayat Cahaya dalam Al-Quran, Tinjauan Para Ahli Tafsir
Al-Quran Surat An-Nu 35, Memaknai Cahaya
Artinya:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nur: 35)
Pendapat Pakar Tafsir Al-Quran
Beberapa filsuf Muslim melakukan penafsiran terhadap Surat an-Nur ayat 35. Imam al-Ghazali (m. 505 H/1111) bahkan menulis buku berjudul Misykatul Anwar (Misykat Cahaya) untuk menerangkan makna cahaya yang sesungguhnya dalam Surat an-Nur ayat 35. Ibnu Sina juga mengeksplorasi makna cahaya di dalam karya filsafatnya al-Isharat wa al-Tanbihat (Peryataan dan Peringatan). Buku filsafat Ibnu Sina tersebut, terdiri dari tiga bagian yaitu, logika (al-mantiqiyyat), filsafat alam (al-tabi’iyyat) dan metafisika (al-ilahiyyat). Ibnu Sina juga menyinggung pembahasan mengenai Cahaya ini dalam buku lain yang berjudul Fi Ithbat an-Nubuwwat (Mengenai Menetapkan Kenabian).
Fakhruddin ar-Razi (m. 606/1210), seorang Mufassir yang filsuf menulis komentar terhadap karya Ibnu Sina, al-Isharat wa al-Tanbihat dalam dua judul buku yang berbeda. Pertama, Fakhruddin ar-Razi menulis buku berjudul Sharh al-Isharat wa al-Tanbihat (Komentar terhadap al-Isharat dan al-Tanbihat) dan Lubab al-Isharat (Inti Pernyataan). Selain dua karya ini, Fakhruddin ar-Razi dalam karya tafsirnya berjudul at-Tafsir al-Kabir (Tafsir Besar) atau dikenal juga dengan Mafatihul Ghayb (Kunci-Kunci Keghaiban) menafsirkan Ayat Cahaya dalam Surat an-Nur ayat 35 ini.
Bagi Fakhruddin ar-Razi, ayat ini harus ditakwil (labudda minat ta’wil). Sebabnya, jika Allahu nurus samawati wal ardh (Allah Cahaya langit dan bumi) dimaknai seperti Cahaya lampu, Cahaya matahari, maka Allah Cahaya (Allah nur) sama sekali tidak tepat karena Cahaya ini bergantung kepada lampu, bergantung kepada matahari, bergantung kepada sesuatu yang lain. Padahal, Allah Maha Berdiri Sendiri, tidak mungkin bergantung kepada yang lain. Jadi, pastilah Cahaya di sini bukan Cahaya yang sesungguhnya dengan arti materi seperti cahaya lampu dan cahaya matahari atau cahaya benda-benda yang lain.
Disebabkan cahaya itu bukanlah cahaya materi, maka sambungan ayat tersebut langsung menyebutkan matsalu nurihi kamisykatin fiha misbah (perumpamaan Cahaya-Nya seperti misykat yang di dalamnya ada pelita. Misykat dalam Bahasa Arab adalah lubang di dinding rumah yang tidak tembus hingga ke sebelahnya, biasanya digunakan untuk tempat lampu. Jadi, perumpamaan Cahaya Allah itu bagaikan sebuah Misykat yang di dalam Misykat tersebut terdapat pelita (lampu).
Al-Misbahu fi zujajah. Az-zujajatu kaannaha kawkabun durriyun yuqadu min syaratin mubarakatin zaytunatin la syarqiyyatin wa la gharbiyyatin yakadu zaytuha yudhiu walaw lam tamsashu nar (Pelita itu di dalam tabung kaca. Tabung kaca itu seakan-akan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon Zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur dan tidak di sebelah Barat, yang minyaknya hampir-hampir saja menerangi, walaupun tidak tersentuh api).
Misykat al-Anwar menurut Imam Al-Ghazali
Bagi al-Ghazali, Misykat (al-misykat), Gelas (az-zujajah), Pelita (al-misbah), Pohon (as-syajarah) dan Minyak (az-zayt) seperti menggambarkan lima panca-indera internal. Manusia selain memiliki panca-indera eksternal, juga memiliki panca-indera internal.
Misykat bagaikan persepsi indera internal. Misykat adalah wadah yang memberi penerangan kepada ruangan, sedangkan daya persepsi (al-quwwah al-hisasah), yang dengan mata menyerap hal hal yang dipersepsi masuk ke dalam relung jiwa. Gelas menggambarkan daya imajinasi (al-quwa al-khayaliyah).
Gelas (az-zujajah) bertindak seperti alat transmisi cahaya. Gelas menyampaikan Cahaya Pelita yang ada di dalam Misykat, ke luar. Sama halnya, daya imajinasi berfungsi sebagai alat transmisi. Daya imajinasi menyampaikan ilmu pengetahuan yang diterima dari indera persepsi, menyimpannya di dalam memori dan memaparkannya ke daya intelektual saat dibutuhkan. Pelita (al-misbah) menggambarkan daya intelektual (al-quwwah al-‘aqliyyah). Daya intelektual ini yang menangkap konsep-konsep universal yang penting bagi ilmu pengetahuan. Daya intelektual ini yang membuat ilmu menjadi mungkin karena daya ini yang memproduksi ide-ide. Sama halnya, Pelita yang membuat Cahaya menjadi mungkin karena Pelita merupakan sumber Cahaya. Pohon (as-syajarah) merupakan daya pikir (al-quwwah al-fikriyyah). Peran daya pikir yaitu memproduksi ilmu. Daya pikir menyusun premis-premis dan menarik kesimpulan.
Pohon merupakan simbol daya pikir karena pohon menghasilkan buah. Minyak (az-zayt) sekalipun api tidak menyentuhnya merupakan simbol kepada daya profetik yang sakral (al-quwwah al-qudsiyyah). Daya ini merupakan daya yang unik yang dianugerahkan Allah kepada para nabi dan awliya’.
Nur ‘ala nur (Cahaya di atas Cahaya). Imam al-Ghazali dan Fakhruddin ar-Razi menafsirkan Cahaya yang mutlak hanyalah Allah. Cahaya-cahaya yang lain tidaklah mutlak. Jadi, yang benar-benar Cahaya hanyalah Allah. Cahaya-Cahaya yang lain bukanlah Cahaya yang sebenar-benarnya dan bukanlah Cahaya yang sesungguh-sungguhnya. Cahaya Allah ini juga tidak tepat dimaknai Cahaya yang materiil karena Cahaya yang materiil bisa hilang, tergantung kepada yang lain, dan terdiri dari beberapa bagian. Sementara Allah tidaklah tergantung kepada yang lain, tidaklah terdiri dari bagian-bagian dan tidaklah hilang.
Yahdillahu linurihi man yasya’ wa yadribullahu amthala linnas. Dalam Al-Quran, kata Cahaya juga tidak selalu bermakna materiil. Dalam Surat al-Baqarah 257 Allah berfirman, yang artinya: “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada nur/cahaya (hidayah)”. Allah juga berfirman dalam Surat al-An’am 122, yang artinya: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya (hidayah)”. Allah juga berfirman dalam Surat asy-Syura 52, yang artinya: “…tetapi Kami menjadikannya (al-Qur’an) itu nur/cahaya, yang dengannya Kami tunjuki siapa yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami”.
Wallahu bikulli sya’in ‘alim (Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu). Allah yang sesungguhnya dan yang sebenar-benarnya paling tahu tentang segalanya. Pengetahuan manusia seapapun pintarnya pastilah tidak mengetahui semuanya. Pengetahuan setiap orang sangat terbatas dan sedikit. Pengetahuan yang bercampur dengan ketidaktahuan.
Dalam pandangan Fakhruddin ar-Razi, intisari dari an-Nur 35 menunjukkan Cahaya itu bukanlah Cahaya materiil yang dipersepsi oleh mata dan persepsi mata lahiriah (basar). Tapi persepsi mata batin (basirah). Bahkan bukan hanya mata batin, tapi juga mencakup Cahaya (bimbingan, ajaran) dari para nabi dan para malaikat.
Pada akhirnya, Cahaya (bimbingan, ajaran) disebabkan para nabi dan malaikat juga berasal dari Allah, maka Cahaya yang sesungguh-sungguhnya dan sebenar-sebenarnya ialah Cahaya Allah, yaitu berupa Hidayah-Nya, Kuasa-Nya, yang mengatur segalanya. Demikian penjelasan Adnin Armas, Pemimpin Redaksi Majalah Gontor.
X
Advertisement