Awas, Tafsir Ngawur soal Corona! Ini Penjelasan Tafsir Al-Misbah
Belum lama ini, beredar di medsos seseorang yang men-share judul “Masya Allah Inikah Arti Corona dalam Al-Quran?” Ternyata, informasi semacam itu tidak sahih, tidak tepat. Sehingga, menyesatkan bagi yang membacanya, apalagi mempercayainya.
Untuk itu, Ngopibareng.id, menurunkan sejumlah penjelasan dari pakar Tafsir Al-Quran dari Indonesia, Prof M Quraish Shihab, yang terkenal dengan karyanya, Tafsir Al-Misbah.
Di dalamnya, disebut lafald Qarana (قَرْنَ) ada di Al-Quran Surat Al-Ahzab, ayat 33.
Al-Quran dalam Surat Al-Ahzab ayat 33 bunyi lengkapnya demikian:
Ayat tersebut bermakna : “Dan tetaplah di rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj seperti tabarruj jahiliyah yang lalu dan laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat serta taatilah Allah Swt dan RasulNya Saw. Sesungguhnya Allah Swt bermaksud hendak menghilangkan dari kamu kekotoran, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Seorang pemerhati, Edy AH Iyubenu, Pengurus Lembaga Ta’lif wa-Nasyr PWNU Jogjakarta, langsung memberikan penjelasan melalui tulisannya di situs islami.co:
“Yang dibidik oleh share cocoklogi itu ialah “wa qarna fi buyutikunna, tetaplah (tinggallah) di rumahmu.” Dikatakan olehnya bahwa kata qarna pas dengan Corona. Dan, mudah diterka berikutnya, hal itu dijadikan dasar selebrasi meletus-letus dengan caption takbir, tahlil, tahmid, tasbih, dll,” tuturnya.
Ia mengingatkan agar yang tidak ahlinya tidak bicara soal tafsir Al-Quran. Bila diteliti sebagaimana dalam Tafsir Al-Misbah, perlu lebih jauh memahami riwayat turunnya ayat (Asbabun Nuzul) dan latar belakang yang melingkupinya.
Dalam Tafsir Al-Mishbah, karya Prof Muhammad Quraish Shihab, jilid 10 (hlm 464-469) menjelaskan dengan menawan ayat tersebut mulai dari asbabun nuzulnya.
Rasulullah Saw sedang berada di kediaman salah satu istrinya, Ummu Salamah, memanggil Fathimah Ra, Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra, dan kedua putranya, Sayyidina Hasan dan Husein Ra. Rasul Saw lalu memeluk mereka, memasukkan ke dalam jubahnya, dan berdoa, “Ya Allah Swt, mereka inilah ahli baitku, bersihkanlah mereka dari dosa, dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah yang melihat pertistiwa itu berkata, “Aku ingin bergabung ke dalam jubah (kerudung) itu, tetapi Nabi Saw mencegahku sembari bersabda: ‘Engkau dalam kebajikan…. Engkau dalam kebajikan….’” (HR. Ath-Thabrani).
Riwayat tersebut jadi sandaran bagi sebutan populer Ahlu al-Kisa’ (Orang-orang dalam selimut) dan kemudian diabadikan dalam syiir Li khamsatun.
Jadi, secara musabab turunnya, ayat tersebut ditujukan kepada ahlul bait. Soal apakah ahlul bait hanya terbatas pada lima orang dalam jubah itu atau seluruh dzuriyah Rasul Saw, terdapat berbagai pendapat di antara ulama. Jumhur mengatakan bahwa ahlul bait adalah seluruh keturunan Rasul Saw yang bersambung nasabnya hingga ke buyut Hasyim, kakek Abdul Muthalib, bapak Abdulah, Rasulullah Saw, putri Fathimah, cucu Hasan dan Husein. Begitu di antara pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Tak ada kaitannya sama sekali dengan wabah apa pun, termasuk virus Corona.
Ada dua kata kunci yang sangat penting dicerna dari ayat tersebut.
Pertama, qarna fi buyutikunna, tetaplah kamu (kalian) di dalam rumah kamu (kalian).
Kata qarna ini diambil dari kata iqrarna, artinya: tinggalah dan beradalah di tempat dengan mantap. Pendapat lain mengatakan dari kata qurratu ‘ain, yakni sesuatu yang menyenangkan hati. Pendapat lain mengatakan dari kata qarar, yakni berada di tempat. Terakhir, pendapat yang mengatakan dari kata waqar, yakni wibawa atau kehormatan. Jadi, dari empat pendapat ahli tafsir ini, tak ada satu pun yang berkaitan dengan wabah Corona.
Dengan melihat pengartian tersebut, dalam pendapat saya berdasar pada ilmu tahlili di atas, makna “qarna fi buyutikunna” sepadan dengan “tinggallah, menetaplah, beradalah kalian, wahai para istri Nabi Saw, di rumah kalian dengan mantap untuk menjaga kehormatan.”
Kedua, wala tabarrajna tabarrujal jahiliyyah al-ula, dan janganlah kalian berhias dengan perhiasan kaum jahiliyah terdahulu.
Tujuan dari frase pertama di atas adalah bagian kedua ini. Ya, tujuan, bukan sekadar kelanjutan redaksi. Pembedaan keduanya akan memiliki implikasi hukum yang berbeda.
Kata tabarrajna dan tabarruj berasal dari kata baraja, yakni tampak dan meninggi. Ia juga sepantar dengan makna jelas dan terbuka. Itu artinya, secara ilmu munasabah, makna ayat ini terkait dengan surat An-Nur ayat 31 dan 60, yang intinya “melarang kaum perempuan menampakkan perhiasannya yang tak lazim nampak” demi menghindarkan timbulnya fitnah dan gangguan dari lawan jenis non-mahram.
Anda bisa meluaskan perspektif ini pada surat al-Ahzab ayat 59.
Pertanyaan hukumnya kini ialah: pertama, Apakah ayat tersebut hanya berlaku untuk istri-istri Nabi Saw dan ahlul baitnya?; kedua, apakah perempuan berarti tidak boleh keluar rumah, misal bekerja?; dan ketiga, apakah perempuan berarti tidak boleh berhias dan berdanan?
Menarik untuk terlebih dahulu menakik makna tabarrujal jahiliyah (perhiasan kaum jahiliyah). Ini bisa jadi landasan historisnya.
Al-Qur’an menyebut “jahiliyah”, dalam uraian Abul Hasan Al-Ali Hasani an-Nadwi dalam Sirah Nabawiyah, sebagai situasi kebudayaan yang mengabaikan otentisitas keimanan tauhid warisan Nabi Ibrahim As, Ismail As, dan Ya’qub As dengan memasukkan berhala-berhala ke dalam spiritualitas mereka. Pada dasarnya, kaum jahiliyah Arab dulu mengakui ketuhanan Allah Swt, akan tetapi dicemari dengan sangat parah oleh berhalaisme itu.
Di halaman Ka’bah, terdapat 360 jenis berhala! Ini pertama. Kedua, praktik hidup mereka lekat dengan kekerasan, kekasaran, dan amoralitas. Perang, monopoli, eksploitasi, perjudianm, zina, perbudakan, dll., menjadi lelaku keseharian mereka.
Inilah makna otentis kejahiliyah, yakni menyingkirkan keimanan tauhid dan melebur dalam kefasikan dan kemungkaran hidup. Jahiliyah bukanlah kebodohan kognitif—sebagaimana jamak dipahami selama ini—toh buktinya di masa itu tradisi syair-syair begitu semarak yang menandakan penguasaan sastrawi yang baik.
Tabarrujal jahiliyah al-ula, berhias ala jahiliyah terdahulu (sebagaimana dimaksud ayat di atas) berarti perilaku hidup bebas liar tanpa kendali iman, syariat, dan moral. Ini selaras dengan asas pokok maksud dan tujuan narasi ayat “tidak menampakkan perhiasan yang tak lazim nampak”, juga “menundukkan pandangan”, yang mesti dijadikan asas relasi lelaki-perempuan non mahram agar tak terjatuh ke dalam praktik relasi kaum jahiliyah. Inilah poinnya.
Maka, dari konteks historis tersebut, kini kita dapat menarik dan memahami luasnya khazanah pendapat para ulama perihal hukum boleh/tidaknya perempuan keluar rumah, misal bekerja.
Sebagaimana Tafsir Al-Mishbah, Al-Qurtubhi dan Al-Maududi hanya membolehkan perempuan keluar rumah untuk urusan yang darurat atau diperlukan mendesak. Thahir Ibn ‘Asyur mengatakan hal tersebut bukanlah kewajiban, tetapi bersifat kesempurnaan. Muhammad Qutub mengatakan ayat tersebut bukanlah berarti terlarang bagi perempuan keluar rumah dan bekerja.
“Hanya saja,” lanjutnya, “Islam tidak mendorong hal tersebut. Islam membenarkan mereka bekerja sebagai keadaan darurat, bukan menjadikannya sebagai dasar. Ini mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu adakah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.”
Sa’id Hawa memberikan detail lebih jauh bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan/kedaruratan ialah seperti mengunjungi orang tua, belajar yang sifatnya fardhu ‘ain dan kifayah, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak ada orang yang bisa menanggungnya.
Demikian sebagai peringatan agar kita tidak ceroboh dalam menafsir Al-Quran, sekaligus bagi warganet tidak mudah percaya dan mudah men-share setiap informasi yang seolah-olah dari Al-Quran.
Wallahu a’lam.