Nikah Beda Agama, Komisi Fatwa MUI Jatim: Awas, Berdampak Serius!
Belakangan muncul persoalan di tengah masyarakat, tentang nikah beda agama. Bukan saja terjadi di kalangan para artis, melainkan juga di kalangan elite dan kalangan pejabat pemerintahan. Bahkan, di antara mereka langsung memamerkan di media sosial, ritual pernikahan secara Islam lalu dilangsungkan juga di suatu gereja.
Fenomena ini langsung mendapat reaksi di tengah masyarakat. Terjadi pula bergunjingan dan pembahasan serius. Khususnya, di kalangan ulama yang memegang teguh ketentuan hukum agama (Fikih) dalam menilai fenomena sosial soal pernikahan tersebut.
Ust Ma'ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur menjelaskan realitas dan dampak nikah beda agama. Berikut catatannya:
Sahabat lama saya, Dr. Amanullah yang saat ini berada di Kanwil Kemenag Jatim, meminta saya untuk menyampaikan materi Fatwa MUI seputar Bab Nikah yang dilangsungkan bersama para Kepala KUA se-Jatim (perwakilan daerah).
Saya awali dengan prosedur pernikahan yang difatwakan oleh Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, Prof. KH Ibrahim Hosen (Ayahanda Prof Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCINU Australia - Newzeland), yang disampaikan pada tahun 1996.
“Umat Islam Indonesia menganut paham Ahlussunnah waljamaah dan mayoritas bermadzhab Syafi’i, sehingga seseorang tidak boleh mencari-cari dalil yang menguntungkan diri sendiri.
Ketentuan Umum mengenai syarat sah pernikahan menurut ajaran Islam adalah adanya calon mempelai pria dan wanita, adanya dua orang saksi, wali, ijab kabul, serta mahar (mas kawin).”
Munas VII MUI tahun 2005 memutuskan bahwa nikah beda agama adalah haram dan tidak sah. Muslim menikahi Wanita ahli kitab juga haram dan tidak sah menurut qaul mu’tamad.
Hal ini didasarkan pada Fatwa Sahabat:
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا سُئِلَ عَنْ نِكَاحِ النَّصْرَانِيَّةِ وَالْيَهُودِيَّةِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْمُشْرِكَاتِ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ ، وَلاَ أَعْلَمُ مِنَ الإِشْرَاكِ شَيْئًا أَكْبَرَ مِنْ أَنْ تَقُولَ الْمَرْأَةُ رَبُّهَا عِيسَى ، وَهْوَ عَبْدٌ مِنْ عِبَادِ الله
Ibnu Umar ditanya nikah Wanita Nasrani dan Yahudi. Ia menjawab: “Allah mengharamkan Wanita musyrik bagi orang Islam. Tidak ada kesyirikan lebih besar dibanding perempuan yang mengatakan “Isa adalah Tuhan”, padahal Isa adalah hamba Allah. (Sahih Al-Bukhari)
Awas Ada Alasan Pembenar
Kalau ingin mencari-cari celah pendapat ulama tentu akan ditemukan, tapi bukan itu yang jadi ciri khas berislam kita. Beberapa bulan lalu kita melihat ada seorang yang menjadi perantara pernikahan beda agama.
Dalam catatannya konon sudah 1000 lebih. Apakah 1000 lebih itu meraih cita-cita pernikahan sakinah mawadah warahmah?
Saya saja menemukan beberapa kali di Surabaya yang mertuanya Muslim bercerita tentang kandasnya pernikahan anaknya karena beda agama. Keluarga mengalami broken home.
Anaknya bingung mau ikut ibu atau bapaknya. Dilema mempertahankan agama atau harus keluar agama demi keluarga, dan sebagainya.
Pada sesi tanya jawab, juga ada pengakuan dari salah satu kepala KUA di kawasan tapal kuda yang menjumpai pernikahan beda agama berakhir dengan kesedihan.
Islam sudah mengatur hubungan kita dengan non muslim; yakni dalam urusan agama dan akidah adalah lakum dinukum wa li ya dini (bagi kalian agama kalian. Bagiku agamaku).
Sementara untuk ranah sosial, jual beli, bertetangga, bersahabat dan sebagainya kita diperkenankan untuk berbuat baik kepada saudara non-Muslim.
Nikah adalah bagian dari agama. Kalau undangan resepsi pernikahan bagian dari interaksi sosial.
Demikian penjelasan Ust Ma'ruf Khozin.
Advertisement