Awas! Menentukan Nominal Iuran Siswa Bisa Terjerat Korupsi
Tim Saber Pungli Kabupaten Jember mengingatkan seluruh kepala sekolah mulai SD hingga SMP berhati-berhati. Mereka diminta berhati-hati saat menarik iuran kepada orang tua siswa, agar tidak terjerat korupsi.
Kepala Kejaksaan Negeri Jember, I Nyoman Sucitrawan mengatakan, tindak pidana korupsi berupa pungutan liar banyak jenisnya. Salah satunya dapat berupa iuran yang nominalnya ditentukan.
Maka dari itu, jika kepala sekolah di Kabupaten Jember ingin menarik iuran siswa kepada orang tua siswa, harus disiasati prosedurnya. Yakni dengan cara tidak menetapkan nominal sumbangan yang harus diberikan kepada pihak sekolah, yang disebut sumbangan sukarela.
“Yang namanya sumbangan sukarela, nominalnya terserah penyumbang. Mau menyumbang seribu atau lebih terserah. Nominalnya ditulis sendiri oleh penyumbang,” kata Sucitrawan, Rabu, 14 Desember 2022.
Sucitrawan mencontohkan sumbangan sukarela saat jamaah masjid memasukkan uang ke dalam kotak amal.
Namun, jika kepala sekolah ingin menarik sumbangan dengan nominal yang ditentukan, harus ada payung hukum yang mengatur. Pihak sekolah harus meminta izin kepada Bupati Jember melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Jember atau ke Inspektorat.
Selain itu, Sucitrawan meminta seluruh kepala sekolah membenahi administrasi. Jangan sampai dengan mudah mengeluarkan uang sekolah, tanpa didasari administrasi dan prosedur yang jelas.
“Misal harus mengeluarkan uang lembaga, harus dilakukan dengan administrasi dan prosedur yang benar. Harus ada berita acara dan lain sebagainya,” tambah Sucitrawan.
Lebih jauh Sucitrawan menegaskan, pungli yang dilakukan oleh aparatur sipil negara (ASN) merupakan perbuatan yang mengandung unsur tindak pidana korupsi. ASN yang terjerat kasus korupsi dipastikan mendapatkan hukuman yang sangat berat.
"Pungli melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukumannya minimal 4 tahun penjara. Jadi, jangan mengeluh kalau melakukan pungli kok tuntutannya berat," lanjut Sucitrawan.
Karena itu, Sucitrawan mengimbau para guru dan kepala sekolah berhati-hati. Jangan bermain-main dengan bansos agar terhindar dari jeratan hukum pidana. "Apabila ada yang ragu mengambil keputusan silakan konsultasi. Kami sediakan layanan konsultasi hukum gratis. Ada di Pemda, kejaksaan, dan kepolisian," pungkas Sucitwan.
Sementara penyidik Unit Pidsus Satreskrim Polres Jember, Meldy Ance Almendo mengatakan, perkara pungli di lingkungan pendidikan menduduki peringkat tiga nasioanal sepanjang tahun 2016-2021. "Laporan pungli di sektor pendidikan menjadi permasalahan krusial dan sorotan serius oleh masyarakat,” kata Meldy.
Motif pelaku tindak pidana pungli beragam. Namun, yang paling sering mereka terdorong oleh faktor kepentingan untuk memperoleh keuntungan material. Pelaku cenderung berperilaku memberi tekanan terhadap warga miskin yang semestinya berhak memperoleh bansos.
"Penyebab yang dominan karena petugas pelayanan bernafsu memperkaya diri, kebiasaan menerima pungli, konflik kepentingan, budaya birokrasi yang mempersulit layanan, ada yang ingin kemudahan di luar prosedur, dan lemahnya pengawasan," jelas Meldy.
Bupati Jember Hendy Siswanto mengatakan, seseorang dapat terjerat tindak pidana pungli, bisa terjadi karena tidak memahami prosedur yang ada. Hendy yakin, guru-guru dan kepala sekolah tidak ada niat untuk melakukan pungli.
Hendy meminta kepala sekolah intens melakukan koordinasi dengan Tim Saber Pungli Kabupaten Jember, setiap hendak melakukan kebijakan yang berpotensi ada pungli. Selain itu, kepala sekolah juga diminta intens bermusyawarah dengan para wali murid, sampai terbentuk ikatan emosional.
“Harus sering duduk bersama bermusyawarah dengan wali murid. Sehingga pada akhirnya, tanpa dimintai sumbangan, wali murid akan langsung menunjukkan kepeduliannya terhadap sekolah, karena sudah saling merasa memiliki,” kata Hendy.
Lebih jauh Hendy menyarankan kepala sekolah tidak mengumumkan adanya sumbangan, baik sukarela maupun wajib di depan para siswa. Sebab, kondisi perekonomian keluarga siswa beragam, mulai kategori mampu hingga sangat tidak mampu.
“Kalau disampaikan di depan siswa, nanti bisa muncul bullying. Ujung-ujungnya anak tidak mau sekolah karena merasa malu,” pungkas Hendy.
Advertisement