Awas! Kebebasan Berekspresi dan Mengkritik di Medsos, Menjadi Kebebasan Membenci
“Kebebasan berekspresi dan kebebasan untuk mengkritik jika tidak terkontrol akan menjadi kebebasan untuk memembenci (The Freedom of Hate) sehingga akan banyak mucul ujaran-ujarn kebencian dan berita hoax,” ujar Taufiqurohman.
Masyarakat Indonesia kini sedang menghadapi revolusi industri 4.0 yang memiliki dua masalah dalam dunia media informasi, yaitu euphoria partisipatif dan personalisasi informasi. Demikian dikatakan Wakil Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Taufiqurohman.
Dengan adanya euphoria partisipatif ini mengakibatkan pergantian dari era media masa menjadi era media masa individual (Mass Individual Communication). Hal itu memberikan kebebasan kepada individu untuk mengekspresikan dirinya. Sehingga masyarakat dapat dengan mudah berekspresi untuk meningkatkan eksistensi diri, mengkritik ataupun menyebarkan berita.
“Kebebasan berekspresi dan kebebasan untuk mengkritik jika tidak terkontrol akan menjadi kebebasan untuk memembenci (The Freedom of Hate) sehingga akan banyak mucul ujaran-ujarn kebencian dan berita hoax,” ujar Taufiqurohman, dalam keterangan diterima ngopibareng.id, Ahad (27/5/2018).
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UMY ini juga menjelaskan , sosial media kini memiliki penguna yang cenderung aktif dan ditambah dengan sifat sosial media yang bersifat terbuka maka akan memperbudah semua orang untuk dapat ikut berkomentar maupun berbagi informasi.
“Berita hoax dan ujaran kebencian sebagai salah satu dampak dari euforia partisipatif ini tidak hanya dapat menipu orang yang berpendidikan rendah saja, tetapi orang-orang yang memiliki pendidikan tinggipun juga dapat tertipu oleh berita hoax,” tutur
Taufiqurohman, yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1439 H Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Kamis (24/5) bertempat di Gedung AR Fachrudin B Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Selain itu, muculnya fenomena personalisasi sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi yang di inginkannya dan membatasi dirinya untuh mengakses informasi yang disukainya saja, sehingga menimbulkan masyarakat yang tertutup dan enggan untuk menjelajahi luasnya informasi dan pengetahuan yang tersebar di media informasi.
“Fenomena personalisasi ini akan menimbulkan setiap individu akan selektif dalam menyaring infomasi yang diterima sehingga akan menolak informasi yang bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya,” ujar Taufiqurohman.
Dalam menciptakan masarakat media yang berkeadaban yang terhindar dari dampak buruk euphoria partisipatif dan fenomena personalisasi informasi ini, Taufiqurohman mengajak untuk dapat bertabayun dan memiliki spirit ulul albab, spirit keterbukaan pikiran dan informasi dan tidak membatasi diri dengan informasi yang kita sukai saja dan dapat memilih informasi yang terbaik dari berbagai sumber yang diperoleh.
“Muhammadiyah telah memiliki fiqih informasi,sebuah pendekatan media informasi melalui pendekatan agama. Hal ini menjadi ikhtiar Muhammadiyah yang dapat digunakan untuk membangun media yang berkeadaban di era roformasi industri 4.0,” pungkas Taufiqurohman. (adi)