Awas, Industri Penipuan Daring
Kasus perdagangan manusia di luar negeri menjadi gejala eksploitasi manusia atas manusia di dunia. Warga Negara Indonesia (WNI), di antaranya, yang menjadi korbannya.
Sebagaimana beberapa waktu lalu terjadi di Vietnam dan Laos. WNI menjadi korban dan berhasil kembali ke tanah air melalui proses panjang atas peran Kementerian Luar Negeri RI.
Tak heran bila Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengangkat isu tindak pidana perdagangan orang (TPPO) saat berpidato di acara The Bali Process Government and Business Forum (GABF) yang digelar di Bali, Kamis (10 Agustus 2023).
Praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO) menjadi tantangan serius bagi kawasan Asia Tenggara. Guna memahami hal itu, berikut pokok-pokok pikiran yang disampaikan Menlu RI pada forum tersebut:
Perdagangan manusia, tepatnya tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tetap menjadi tantangan serius bagi kawasan kita. Pelaku perdagangan sekarang semakin menyalahgunakan teknologi untuk merekrut dan mengeksploitasi korban mereka. Banyak dari mereka akhirnya bekerja di industri penipuan daring.
Indonesia menempatkan masalah TPPO dalam prioritas tinggi. Pemerintah saya telah menangani lebih dari 2.800 kasus orang Indonesia yang menjadi korban skema semacam itu di negara tetangga, dan hampir 40 persen di antaranya adalah korban perdagangan manusia.
Komunitas bisnis di kawasan harus turut memainkan peran untuk mencegah meningkatnya TPPO. Kita harus mencegah kawasan kita menjadi pusat perdagangan manusia. Tujuan kita adalah menjadikan kawasan kita sebagai pusat pertumbuhan, bukan pusat perdagangan manusia.
Tiga Are Fokus
Ada tiga area yang dapat menjadi fokus GABF.
Pertama mendorong standar due diligence pada bisnis dan hak asasi manusia (HAM).
Perlu diingat, pelaku TPPO selalu menemukan cara baru untuk memperoleh keuntungan. Oleh sebab itu respons terhadap kejahatan tersebut juga harus inovatif.
Komunitas bisnis dapat mempertimbangkan untuk mengembangkan standar uji tuntas guna melaksanakan rekrutmen dan pembayaran yang adil, transparan, dan etis, memastikan lingkungan kerja yang lebih baik bagi pekerja mereka.
Selain itu, para pelaku bisnis juga bisa secara sukarela melaporkan tindakan yang mereka ambil dalam memerangi TPPO dan perbudakan. Termasuk mendidik para pekerjanya tentang ancaman yang ditimbulkan oleh kejahatan tersebut.
Kedua, memanfaatkan teknologi untuk memerangi TPPO.
Teknologi harus menjadi sekutu, bukan musuh. Para pelaku bisnis dapat berkontribusi dalam upaya pencegahan secara dengan mengembangkan platform e-learning untuk pengembangan kapasitas atau pelatihan berbasis keterampilan, serta meningkatkan kesadaran media sosial tentang isu TPPO. Langkah-langkah ini dapat membantu mencegah para pekerja di kawasan ini menjadi korban perdagangan manusia.
Ketiga, para pelaku bisnis dapat mendukung kerja sama regional dalam memerangi TPPO.
TPPO adalah masalah regional. Oleh sebab itu diperlukan respons terpadu yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Pada KTT ASEAN ke-42 yang digelar Mei 2023 lalu, para pemimpin ASEAN berjanji akan menindak penyalahgunaan teknologi dalam kasus TPPO, termasuk melalui sinergi antar-mekanisme ASEAN. Kalangan pebisnis dapat memperkuat upaya ini dengan memperluas kerja sama dalam investigasi bersama di seluruh kawasan, memberikan perlindingan bagi pelapor, dan mendukung undang-undang yang kuat tentang bisnis dan HAM.
Kita mendorong GABF untuk terus berfungsi sebagai jaringan fundamental di antara pebisnis untuk menangani TPPO. Mari kita bergandengan tangan melawan perdagangan manusia; pemerintah, organisasi regional, dan bisnis. Kita harus berperan sebagai koalisi ‘orang-orang baik’, dengan GABF sebagai wadah peleburan solusi, untuk menciptakan kawasan yang bebas dari perdagangan manusia.
Advertisement