Awas! Anak Bisa Radikal, FKPT Jatim Ingatkan Bahaya Intoleransi
Para guru dan anak usia Sekolah Dasar menjadi lahan untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan di sekolah maupun di masyarakat dan menghargai kemajemukan bangsa. Di tengah masyarakat majemuk di Indonesia, saat tepat kini menggugah anak-anak yang senantiasa bersifat toleran terhadap kemajemukan dan menghargai budaya bangsa.
Hal itu terungkap dalam dalam kegiatan Salam Anak Indonesia “Aku Bangga Menjadi Anak Indonesia” dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme, digelar di kompleks Pondok Pesantren Bahrul Maghfiroh, Kota Malang, Kamis 15 November 2023, bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur.
Kegiatan diinisiasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dihadiri Ketua FKPT Jatim Prof Dr Hj. Hesti Armiwulan S, perwakilan BNPT Ahadi Wijayanto SE (Subkoordinator Tata Usaha Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan
Deradikalisasi), Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Maghfiroh, Prof KH Mohammad Bisri bin Kiai Abdul Fattah Karim dan jajaran pengurus FKPT Jawa Timur.
Menariknya pada kesempatan ini, kehadiran Hendra Bawole, pendongeng anak Nasional yang dihadirkan untuk menghidupkan acara tersebut. Pada kesempatan itu, juga diadakan Lomba Menulis Surat, yang diikuti para peserta.
Dengan Lomba Menulis Surat, dalam kegiatan ini, siswa-siswi berkesempatan mengembangkan kemampuannya berliterasi. Mulai dari penyampaian dongeng berisi pesan-pesan toleransi hingga praktik menulis surat menceritakan keunikan kota Malang, baik dari sisi budayanya hingga keunikan kulinernya.
Dengan kegiatan ini, berusaha untuk memberikan gambaran secara jelas kepada masyarakat khususnya anak-anak mengenai terorisme di Indonesia. Meliputi ancaman, kerawanan, hingga pertumbuhannya, sebagai bagian dari kewaspadaan bersama dalam upaya pencegahan terorisme.
"Kegiatan ini, sekaligus untuk meningkatkan sinergi antara FKPT sebagai bagian terdepan di masyarakat dalam upaya pencegahan terorisme dengan lembaga pendidikan usia sekolah dasar," tutur Ketua FKPT Jatim Prof Dr Hj. Hesti Armiwulan S.
Menurutnya, toleransi dalam keberagaman di sekolah memiliki korelasi langsung dengan peningkatan motivasi belajar siswa untuk tampil kreatif dan inovatif.
Setiap anak di Indonesia memiliki hak untuk bertumbuh dengan baik, didengarkan pendapat mereka dan memiliki hak untuk menyampaikan informasi yang bermanfaat, tidak terkecuali dengan teman sebaya.
"Dalam setiap aksi terorisme, anak adalah korban sehingga masuk dalam kelompok rentan, sehingga perlu ada penanaman nilai-nilai Pancasila dan toleransi sejak usia dini untuk mencegah pengaruh paham radikal terorisme," tutur Hesti, dalam sambutannya.
FKPT Jatim, menurut Hesti, siap mendorong guru dan pembimbing siswa agar mampu menjadi agen perdamaian, mengorganisir siswa dan siswi dan menumbuhkan kesadaran untuk bersama-sama melawan segala bentuk paham dan propaganda kelompok radikal terorisme. Setidaknya untuk lingkungan sekolah dan keluarga masing-masing.
"Salah satu bentuk kepedulian kita pada mereka adalah membelajarkan mereka sejak dini tentang kehidupan dan cinta tanah air,” tutur Hestiadalah.
Menumbuhkan Sikap Mental
Perwakilan BNPT, Ahadi Wijayanto SE (Sub koordinator Tata Usaha Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan
Deradikalisasi), dalam sambutannya mengatakan, saat ini adalah waktu yang tepat untuk terus menumbuhkembangkan sikap, mental, perilaku, potensi, dan karakter positif pada anak.
"Salah satu bentuk kepedulian kami kepada anak-anak adalah membelajarkan mereka sejak dini tentang kehidupan dan cinta tanah air," tuturnya.
Sementara itu, Koordinator Bidang Perempuan dan Anak FKPT Jatim, Dra Hj Faridatul Hanum MKom menjelaskan, anak Indonesia adalah harapan bangsa. Anak Indonesia adalah kekayaan yang tak ternilai harganya. Mereka adalah aset besar bangsa yang besar kita.
Dijelaskannya, terkait isu apapun akan berdampak pada anak. Salah satunya adalah radikalisme dan terorisme. Anak dapat dilibatkan dalam isu terorisme mengingat aksi
terorisme mulai mengincar generasi muda khususnya milenial dan Gen Z.
"Berdasarkan hasil penelitian dilakukan BNPT, beberapa tahun terakhir, Indeks Potensi Radikalisme cenderung lebih tinggi di kalangan perempuan, urban, generasi muda (genZ dan milenial).
"Pada gen Z mencapai 12.7, pada milenial mencapai 12.4, pada mereka yang mencari konten keagamaan di internet mencapai 12.6 dan mereka yang menyebar konten keagamaan mencapai 13.3.
"Artinya entitas ini harus diwaspadai dan terus menjadi sasaran utama dalam melakukan kontra radikalisme dan peningkatan
daya tangkal, karena mereka cukup rentan terhadap terpaan radikalisme," tutur Faridatul Hanum, yang juga aktivis PW Muslimat NU Jawa Timur.
"Dalam aksi terorisme, anak adalah korban sehingga masuk dalam kelompok rentan," tambahnya.
"Dengan demikian, kami melihat anak justru dapat dilibatkan sebagai agen perubahan untuk mengajak dan melakukan edukasi kepada teman sebayanya agar tidak terpapar paham radikalisme dan mencegah aksi terorisme."
Awas, Anak Bisa Radikal
Partisipasi anak-anak Indonesia dalam serangan teroris saat ini atau di masa depan sebagian dapat dikaitkan dengan indoktrinasi. Proses indoktrinasi mulai dilakukan pada anak-anak dapat melalui jalur keluarga. Anak-anak yang harusnya menikmati masa kecil mereka diajak ikut sepaham dengan kelompok terkecilnya yaitu keluarga.
Indoktrinasi dalam keluarga merupakan suatu hal yang berbahaya dimana seorang anak hanya mempercayai kedua orang tuanya. Tanpa rasa curiga akhirnya mereka terjerumus dalam aksi terorisme.
Anak-anak dapat juga menjadi radikal karena terdoktrinasi melalui lembaga/institusi. Indoktrinasi pada anak yaitu proses pembujukan oleh kelompok tertentu, orang tua ataupun platform online lainnya.
"Indoktrinasi melalui sekolah-sekolah atau pesantren dilakukan oleh guru-guru yang sudah terpapar radikalisme," tutur Faridatul Hanum.