Awal Runtuhnya Hegemoni Amerika?
DALAM perjalanan dari New York-Washington DC kemarin, saya menemukan iklan seperti ini di inflight magazine Delta Airlines. Iklan yang sama juga dimuat di beberapa media utama seperti New York Times dan Washington Post. Pesan yang ingin disampaikan dalam iklan ini adalah ajakan kepada warga Amerika untuk mewaspadai ekspansi tiga maskapai Timur Tengah yang sangat masif dan agresif: Qatar Airways (Qatar), Emirates dan Etihad (Uni Emirate Arab).
Pemerintah Amerika menganggap yang dilakukan pemerintah Qatar dan UEA mensubsidi bahan bakar ketiga maskapai tersebut adalah tidak adil dan melanggar prinsip-prinsip perdagangan yang fair. Akibatnya, banyak maskapai Amerika seperti United Airlines, Delta Airlines, dan lain-lain yang terpaksa menutup sejumlah rute internasional karena tidak bisa bersaing dengan tiga maskapai Timur Tengah tersebut.
Dalam iklan ini disebutkan, setiap satu rute yang ditutup, ada 1.500 orang Amerika yang kehilangan pekerjaan. Secara tidak langsung, iklan ini mengajak warga Amerika "memboikot" tiga maskapai dari negara Islam kaya raya di Teluk tersebut. Mungkin Amerika lupa bahwa perdagangan bebas dimulai dari mereka dan kini menjadi buah simalakama.
Warga Amerika sendiri di tengah kelesuan ekonomi seperti saat ini, saya yakin tetap akan memilih terbang dengan maskapai yang lebih bagus dan murah, tidak peduli maskapai itu membawa bendera Amerika atau milik sebuah negara Islam di Timur Tengah. Peristiwa ini adalah sebuah kemenangan telak dua negara Timur Tengah dalam perang ekonomi melawan Amerika Serikat.
Pada kesempatan yang berbeda, driver yang membawa kami dalam perjalanan dari New York ke New Jersey, bertanya seraya menunjukkan sebuah gedung bertingkat tinggi di Downtown Manhattan. "Lantai paling atas, suite room, di gedung ini baru saja dibeli.
Menurut Anda kira-kira berapa harganya?". Belum sempat saya jawab, dia berkata, "Laku USD 38 juta (sekitar Rp 430 miliar). Yang membeli adalah orang Arab, oil man (raja minyak, Red.). Dan dibeli dengan uang cash."
Saya terpana dan semakin yakin ada sendi-sendi yang runtuh dalam ekonomi Amerika. Dan, dominasi ekonomi rakyat Amerika pelan tapi pasti mulai diambil oleh orang-orang Timur Tengah. Pantas, saat jalan-jalan ke Times Square (pusat perbelanjaan di Kota New York), banyak videotron yang menampilkan model berhijab. Bukan karena orang Amerika mulai tertarik dengan Islam, tetapi masyarakat Timur Tengah (mayoritas Muslim) adalah potensi pasar yang besar.
"Orang Timur Tengah yang tinggal di Amerika kekayaannya lebih besar 10 kali lipat dibandingkan orang Amerika sendiri," kata Dr Fadhil Hasan, anggota KEIN (Komite Ekonomi dan Industri Nasional), yang satu rombongan dengan saya dalam kunjungan 9 hari ke Amerika kali ini.
Sementara itu, sektor manufaktur Amerika sudah lebih dulu diambil alih oleh China dan otomotif sudah semakin sulit bersaing dengan Jepang dan Eropa (Jerman). Sedangkan di bidang militer, Korea Utara pastinya menjadi kerisauan utama Amerika saat ini. Satu lagi negara yang juga merisaukan Amerika, ya benar: INDONESIA.
Industri makanan dan energi alternatif di AS sangat membutuhkan pasokan bahan baku minyak sawit yang sangat besar. Ekspor minyak sawit ke AS, di tengah kuatnya kampanye negatif sawit, melonjak lebih dari 100% menembus angka 1,2 juta ton. Dan angka ini akan terus bertambah.
Seperti halnya saat menghadapi gempuran maskapai Timur Tengah, menghadapi derasnya arus masuk minyak sawit ini, Amerika juga sangat resah. Bahkan dengan dalih kebijakan antidumping, pemerintah Amerika akan mengenakan bea masuk minyak sawit hingga 40%. Sebuah pelaggaran prinsip perdagangan bebas yang sangat memalukan dilakukan oleh negara kiblat demokrasi dan liberalisasi. Pemerintah RI segera menegosiasikan hal tersebut.
Jadi, keruntuhan ekonomi Amerika sepertinya tinggal menunggu waktu. Jika ingin lebih cepat, mari kita rakyat Indonesia mengurangi separo saja mengkomsumsi produk-produk Amerika. Karena kalau menghentikan semuanya mungkin tidak bisa. Salam Indonesia Jaya. (tofan.mahdi@gmail.com)