Attar, dan Metafora Pencarian Tuhan
Oleh: Ady Amar
Metafora atau biasa juga disebut kiasan acap menjadi media untuk menggambarkan sesuatu hal berkenaan dengan sikap atau bahkan sifat manusia. Para Sufi senantiasa menggunakan metafora itu, bagian dari seni dalam menyampaikan pesan dengan berharap apa yang tersampaikan tidak menyakiti.
Seseorang yang membaca kisah-kisah Sufi yang dibangun oleh premis metafora itu terkadang tanpa sadar menyasar perangai buruk yang menempel pada dirinya. Ungkapan metafora itu dibuat semata agar yang terkena “sasaran” tidak merasa kecil atau bahkan terhina. Menjadi beda jika harus diungkapkan dengan apa adanya.
Itulah bisa jadi bentuk kehati-hatian dan empati dari para Sufi, yang memang terbiasa dengan pendekatan qalbu. Menyadarkan bentuk kesalahan tidak harus membuat seseorang merasa malu atau dipermalukan.
Karenanya, bisa jadi, dalam menggambarkan sesuatu hal pembaca diajak berputar-putar, melingkar-lingkar, tidak langsung pada sasaran, mau bersusah payah membuat metafora agar “sentilan” nasihatnya sampai pada tujuan yang lebih luas dan melintasi zaman.
Metafora yang dibangun para Sufi biasanya menggunakan media fabel. Burung di antaranya menjadi metafor favorit yang dipakai kalangan Sufi untuk menggambarkan kehidupan, yang cenderung dinisbatkan pada manusia.
Mantiqut Thair, karya Fariduddin Attar (1110-1230), seorang Sufi pertengahan abad XII, yang kemudian C.S. Nott menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris tahun 1954, di London, dengan judul the Conference of the Birds. Dan, Hartojo Andangdjaja menerjemahkan dalam bahasa Indonesia dari edisi Inggris karya Nott itu dengan begitu apiknya, dengan judul Musyawarah Burung.
Mantiqut Thair (Musyawarah Burung) adalah karya mistis Attar, yang bertutur puitik dan terstruktur, layaknya karya modern, terdiri dari 3 Bab: 1) Madah Doa, 2) Burung-burung Berkumpul, dan 3) Musyawarah Dibuka.
Bagaimana penggambaran burung-burung yang berjenis-jenis itu, burung Bulbul, Hudhud, Merak, Ayam Hutan, Nuri, dan lainnya, merasakan kesadaran yang sama bahwa mereka ternyata tidak memiliki Raja di komunitas burung. Maka pencarian Raja itu pun dimulai.
Inilah metafor Attar dalam menggambarkan kisah manusia yang mencari Tuhan. Berjenis-jenis burung itu laksana manusia yang bergolong-golongan, dan Raja adalah metafora Tuhan.
Karya Attar itu merupakan karya yang melintasi zaman, berabad-abad lamanya, dan sampai sekarang masih diterbitkan dalam bahasa Arab, Persia, Urdu, dan Inggris. Mantiqut Thair merupakan salah satu karya Tasawuf di antara yang paling disuka.
Perjalanan Pencarian Tuhan
Melalui Musyawarah Burung, Attar ingin menampilkan sebuah perjalanan hidup manusia lewat metafora perjalanan para burung mencari Simurgh Sang Raja. Sang Raja itu metafora dari Tuhan.
Semua burung yang namanya dikenal dan bahkan tak dikenal datang berkumpul. Lalu Musyawarah Burung dibuka. Pembahasannya adalah, mereka sepakat perlu adanya Raja. Mereka berkata, “Tidak ada negeri di dunia ini yang tanpa memiliki Raja. Mana mungkin kerajaan burung-burung ini tanpa penguasa (Raja). Keadaan demikian tidak bisa dibiarkan terus. Kita harus bersama-sama mencarinya, karena tidak ada negeri yang memiliki bentuk pemerintahan tanpa Raja.”
Musyawarah pun dimulai. Musyawarah burung itu dibuka oleh burung Hudhud, burung berjambul diibaratkan mahkota kebenaran, yang menguasai pengetahuan nilai baik dan buruk. Maka mulailah Hudhud memperkenalkan diri sebagai burung istimewa, dengan membanggakan diri satu-satunya burung yang bercakap-cakap dengan Sulaiman, juga mengantar surat-surat Sulaiman dan membersamainya melakukan perjalanan ke mana pun Sulaiman pergi. Hudhud menyebut diri sahabat Sulaiman.
Inilah pencarian Raja di kalangan burung-burung, yang dinamakan Simurgh, Raja Sejati. Tidak semua burung ikut melakukan perjalanan dengan melewati tujuh lembah, di mana masing-masing burung memiliki keterbatasan kemampuan dan kecemasan tersendiri.
Hanya tersisa 30 burung yang mampu menyelesaikan perjalanan, yang ternyata menemukan bahwa diri mereka sendiri itulah Simurgh, yang selama ini mereka cari-cari.
Sebagaimana literatur mistisisme tasawuf, Musyawarah Burung mengajarkan, bahwa tujuan dari pencarian adalah penemuan Ilahi di dalamnya.
Pertemuan Attar dengan Rumi
Asia Tengah antara tahun 1215-1220 M. amat mencekam. Pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan, menghancurkan kota-kota Islam dengan membabi buta. Adalah Bahauddin Walad Muhammad bin Husain, ulama terkemuka, di wilayah Khurasan Raya, memilih hijrah menghindar dari pembantaian pasukan barbar Mongol. Ia memilih ke Anatolia.
Saat melintas kota Nishapur, Iran, tanpa sengaja Bahauddin bertemu dengan penyair Sufi Persia terkemuka, Fariduddin Attar. Entah mengapa Attar terkagum-kagum dengan bocah usia 8 tahun yang berjalan di belakang sang ayah.
Lalu, sebuah kalimat muncul dari mulutnya menyampaikan kekagumannya, “Telah datang laksana lautan, yang di belakangnya ikut laksana samudera.” Lautan yang diucap Attar itu adalah sang ayah, Bahauddin, sedang samudera itu sang anak, Rumi.
Saat itu Attar memprediksi bahwa bocah kecil itu kelak akan menjadi penyair dan tokoh spiritual besar. Lalu Attar memberikan buku karyanya kepada bocah itu, Asran Name.
Tahun berganti tahun, dan sampailah prediksi Attar itu menjadi kenyataan. Bocah kecil itu tumbuh dewasa, dan menjadi penyair Sufi besar, dan bahkan dianggap terbesar dalam sejarah peradaban Islam. Biasa dipanggil dengan Jalaluddin Rumi, atau Rumi saja. Nama lengkapnya Mawlana Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Quniwi.
Seolah Attar mampu melihat masa depan bocah Rumi yang jadi kenyataan. Saat ini di belahan Timur dan Barat tidak ada yang tidak mengenal Rumi.
Attar termasuk penulis produktif. Di antara karyanya Tadzkiratul Auliya’, Ilahi Namah, Musibat Namah, dan masterpiece-nya tentu Mantiqut Thair.
Musyawarah Burung, merupakan karya puisi dengan gaya metafora, atau biasa disebut alegori. Karyanya ini dianggap memiliki tingkat kepekatan tinggi tentang alam pikiran Sufi dibanding karya puisi dan prosa, yang datang sesudahnya. Buku ini dianggap menginspirasi karya-karya Rumi.
Ada kisah yang mengisahkan saat Attar sedang mengajar, ia ditangkap oleh pasukan Mongol. Dan lalu muncul seseorang yang menawar agar nyawanya ditukar dengan 100 keping uang perak.
Attar berbisik pada pasukan Mongol yang menangkapnya itu dengan mengatakan, “Jangan kau terima tawaran itu, hargaku lebih tinggi dari itu.” Lalu ada yang datang menawarnya lagi dengan nilai yang lebih tinggi. Lagi-lagi Attar mengatakan, “Jangan kau terima tawarannya, hargaku lebih mahal dari itu.”
Dan kemudian, datanglah seseorang yang lalu menawarnya dengan setangkai ilalang. Lalu Attar mengatakan, “Terimalah tawaran itu, karena nilaiku memang senilai itu.” Murkalah pasukan yang menangkapnya itu, lalu seketika menebas lehernya.
Attar meninggal syahid dalam usia lanjut (110 tahun). Usia panjang dengan torehan karya-karya besar yang menginspirasi karya-karya Sufistik yang datang belakangan.*
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.