Asyik, Rasakan Kopi Kesukaan Menlu Ali Alatas di Sidikalang
KETIKA berada di Sidikalang, daerah seluas 110 km2 ini, saya langsung teringat dengan sang maestro diplomasi, Ali Alatas (Alm), mantan Menlu RI yang fenomenal itu. Kenapa? Pak Menlu ini sangat mencandu kopi, dan kopinya harus jenis Kopi Sidikalang pula, begitu yagn dipahami orang-orang lama di Pejambon, markas besar diplomasi kita itu.
Pekerja keras Pak Alex, begitu dia dipanggil teman-teman dekatnya—sangat dikenal di dunia internasional ini kayaknya tak bisa bekerja tanpa ditemani kopi Sidikalang. Mungkin terpengaruh dengan persuasi mantan bos saya di Pejambon ini, maka saya pun menjadi pecinta Kopi Sidikalang. Saya suka rasa dan aromanya.
Pak Slamet Udi, ajudan Pak Alex yang selalu menyertai beliau paham betul bahwa kemana pun bertugas untuk pekerjaan diplomasi kopi Sidikalang harus tersedia. Karena itu, Pak Udi selalu siap dengan kopi Sidikalang karena belum tentu jenis kopi ini tersedia di mana-mana, apalagi ketika berada di luar negeri. Dengan kopi Sidikalang mengebul, maka Sang Maestro pun nyaman bekerja, mengukir kata-kata untuk pernyataan yang akan disampaikannya di berbagai negosiasi, membela kepentingan Indonesia, menggelegar dunia.
Mungkin, statements hebat beliau yang menggelegar panggung multilateral itu lahir berkat jasa ‘Kopi Sidikalang’. Wallahualam.
Saya pekan lalu berkunjung ke Sidikalanga. Salah satu motivasi saya ikut perjalanan ke Sidikalang bersama teman-teman yang mengadakan survei, karena meskipun berasal dari Sumut tetapi saya belum pernah berkunjung ke Sidikalang.
Ketika tiba di Sidikalang, saya merasakan udara sejuk, nyaman dengan suhu udara antara 17 – 27 derjat celcius, dan kelembaban rendah, sekitar 70 persen. Pastilah berbeda jauh dengan udara panas, hiruk pikuk dan kelembaban Jakarta. Dan, saya suka dengan suasana aman, damai. Ini saya temui di Sidikalang.
Motivasi kedua, ya menyangkut kopi itu. Maklumlah, saya ini pecinta kopi yang biasa menghabiskan 5-6 cangkir kopi sampai larut malam. Selama ini suplai kopi –salah satunya kopi Sidikalang—dari teman-teman di Medan maupun keluarga di Siantar tetap lancar. Hanya saja, kita tidak pernah tahu persis apakah klaim kopi Sidikalang itu benar-benar berasal dari Sidikalang. Jadi, kunjungan ini berkaitan dengan uji-mutu. Inilah kesempatan menghirup kopi orisinal. Kopi Sidikalang, di kota Sidikalang pula. Saya tak berharap tertipu dan bisa meyakinkan bahwa cita-rasa asli Kopi Sidikalang itu seperti apa rasa dan aromanya.
Kota Sidikalang yang berpenduduk hampir 50 ribu orang ini nyaman dan aman. Suasana damai ini tercermin dari keseharian. Menjelang maghrib kota ini sepi. Namun, budaya ngopi di café mulai terasa.
Saya banyak menghabiskan waktu berkunjung ke “Poda Café” yang terletak di Jalan Sisingamangaraja, jalan utama di kota itu. Budaya café telah menjalar di sini. Good. Ini penting bagi saya ketika melakukan perjalanan. Di Jakarta, saya biasa berpindah-pindah dari satu café ke café lain hanya untuk berganti suasana yang kondusif jika ingin menulis disertasi atau sekadar artikel untuk sharing pendapat maupun pengalaman kepada teman-teman.
Seperti terlihat di foto, saya sempat bermain gitar di café ini. Lumayan, sudah lebih setahun tak pernah lagi memegang gitar. Suasana sahdu membangkitkan ingatan saya ketika main band bersama para ambassadors di Kemlu, dan juga puluhan tahun yang lalu ketika saya belajar gitar otodidak dan bersama teman-teman kampus membentuk vocal group. Kami juga pernah tampil di tempat-tempat umum, dan tentu ada honor yang diterima. Lumayan.
Di hanya beberapa café yang ada di Sidikalang, saya melihat anak-anak muda –seperti di Jakarta atau Medan—meninting laptop, bercengkerama sesama anak muda. Mungkin sekadar membunuh rasa sepi malam atau memang mereka pecinta kopi seperti saya.
Sidikalang ibukota Kabupaten Dairi ini belumlah memperoleh status sebagai ‘kotamadya’. Hanya beberapa kecamatan yang membentuk ibukota kabupaten. Karena terletak di daerah pegunungan, udara sejuk ditambah jumlah penduduk yang masih seimbang dengan luas wilayah menjadikan Sidikalang kota yang inspiratif dan ideal bagi orang-orang tua apalagi pensiunan.
Karena menjadi ibukota Kabupaten Dairi, Sidikalang merupakan kota pusat perdagangan,pendidikan, kesehatan, dan pelayanan umum lainnya. Ada beberapa objek yang patut dikunjungi bagi wisatawan yang berkunjung ke Sidikalang, di antaranya Taman Wisata Iman Sitinjo (sekarang masuk wilayah Kecamatan Sitinjo), Puncak Sidiangkat, dan pusat pembuatan Kopi Sidikalang.
Sebagai bagian dari Kabupaten Dairi, Sidikalang dihuni oleh petani atau dan pedagang, dan sebagian kecil pegawai. Penghasilan daerah ini umumnya adalah kopi. Kopi sidikalang sangat terkenal akan cita rasanya, bukan hanya di dalam negeri saja tetapi juga diluar negeri. Karena topografi dan jenis tanah yang unik lahirlah kopi Sidikalang, baik jenis Robusta maupun Arabica. Bahkan menurut hikayat, salah satu kopi luwak yang top itu berasal dari Sidikalang.
Alkisah, di tengah-tengah ‘budaya ngopi’ yang kian membara bagi penduduk kota, kopi Sidikalang pun mulai berbenah, meskipun masih belum mencapai puncak-puncaknya seperti di masa lampau.
Ketika banyak kota sedang mencari identitas di tengah pergulatan globalisasi seyogianya tak sulit bagi Sidikalang untuk menetapkan identitasnya. Dengan identitas suatu kota bahkan negara menjadi dikenal dunia. Jika dikenal maka kota ini akan dikunjungi turis –lokal maupun internasional. Jangan lupa, di Indonesia banyak daerah-daerah yang sudah dikenal dunia dengan kopi yang khas. Jika Anda berkunjung ke café kelas gourmet di New York maka Anda akan ditawarkan kopi ‘Mandheling’ jenis Arabica, yang tidak lain berasal dari Panyabungan kalau tak salah. Di tingkat dunia juga dikenal ‘Kopi Toraja’, ‘Kopi Aceh’, dengan berbagai varian-nya.
Identitas adalah survival di era eksponensial sekarang.
Sebelum terlambat, identitas Sidikalang atau Dairi sebagai salah satu ‘heritage tingkat dunia di bidang per-kopi-an harus segera dirumuskan. Dorong agar café bermunculan dengan sajian berbagai jenis minuman kopi Sidikalang sekaligus keistimewaannya. Juga, dirikan museum sejarah kopi dan metoda pengolahannya. Dan yang terpenting: pemerintah harus memiliki program bagaimana mendorong pertumbuhan ladang-ladang kopi, bekerjasama dengan berbagai institut nasional maupun internasional untuk menghasilkan kopi yang lebih baik dengan standar internasional.
Seperti apa sih Kopi Sidikalang itu? Banyak klaim di berbagai café di Medan maupun di Jakarta bahwa mereka menyajikan jenis kopi ini. Kita tidak pernah tahu. Karena itu, menjadi kewajiban pemerintah lokal di sini untuk membuat standardisasi –jika perlu bekerjasama dengan para ahli kopi dunia-- untuk menentukan standar dan jenis kopi Sidikalang. Penelitian dan pengembangan kopi Sidikalang harus berlanjut demi untuk memperkuat unsur-unsur positifnya. Tentu tanpa mengubah rasa dan aroma aslinya.
Pada kenyataannya, mungkin di pasar banyak kopi palsu yang mengklaim ‘Arabica atau Robusta Sidikalang’ hanya untuk menumpang ketenaran kopi Sidikalang, demi tujuan komersial. Kopi dari daerah-daerah lain yang tak menonjol juga ikut-ikutan mengklaim ‘Kopi Sidikang’. Ini harus segera diakhiri.
Sebenarnya suatu kerugian bagi masa perkopian Sidikalang jika penyimpangan ini ditolerir. Dalam konteks promosi bisa saja bermanfaat. Cuma jangka-pendek. Jangka-panjang adalah survival dengan identitas yang jelas. Ini bisa menjadi penghela untuk pengembangan kepariwisataan dan diikuti oleh perdagangan serta investasi. Branding harus tepat dan ini kunci lebih dari sekadar ‘sustainability’. Dengan kopi khas, maka ini bisa menjadi motor perekonomian ke depan.
Di penduduk lokal memang terdengar mereka menyebut ”Kopi Lesung”, bahwa secara tradisional kopi itu ditumbuk dengan lesung. Ini yang selalu menjadi stok di keluarga dan jumlah yang diolah juga hanya untuk konsumsi keluarga dan tamu. Tidak banyak.
‘Kopi Lesung’ diolah secara sederhana, menggunakan lesung kayu. Kopi ditumbuk secara manual dan diayak untuk memperoleh tekstur yang halus. Prosesnya memerlukan kesabaran, tapi dijamin dengan teknologi sederhana ini kopi terjaga dari mutu dan aromanya. Dengan menggunakan mesin, maka tidak tertutup kemungkinan kopi olahan sudah ‘terkontaminasi’ atau ‘terkena polusi’ yang akan mengubah rasa dan aroma. Ini merusak mutu.
Saya membeli dua kilogram kopi olahan sederhana dari toko, tetapi tidak tahu pasti apakah teknologi pemrosesannya tradisional dengan menggunakan lesung atau cara lain. Yang jelas, menurut pedagang yang tidak banyak memiliki stok langganannya dari Malaysia menyukai kopi ini. Saya mencoba mengolahnya ketika kembali ke Jakarta. Memang, rasa dan aromanya berbeda dengan apa yang selama ini saya kenal sebagai ‘Kopi Sidikalang’. Lebih mantap.
Saya berjanji pada diri sendiri jika akan berkunjung kembali ke Sidikalang, maka kopi ini menjadi agenda utama. Saya harus menemukan proses ‘Kopi Lesung’ untuk memastikan bahwa kopi yang akan saya bawa kembali ke Jakarta memang jenis ini. Kunjungan ke Museum Kopi pastilah akan menambah khazanah saya.
Dan, tentu teman-teman penggemar kopi bila mampir ke rumah akan saya suguhi Kopi Sidikalang dengan cita rasa dan aroma yang lebih hebat dari apa yang mereka kenal selama ini. Dan, ini penting bagi saya sendiri. Ngopi yok!