Asya’irah Sesat karena Melakukan Takwil?
LABEL sesat begitu mudahnya diberikan lantaran ketidaksetujuan pada sebuah pendapat. Bahkan, hal itu diberikan seseorang kepada ajaran yang telah mapan berabad-abad. Sebagaimana dilakukan Firanda, yang menuduh ajaran Asy’ariyah sesat.
Ustad Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I, dengan tenang memberikan sanggahan dan penjelasan terhadap hal itu. Ustad yang aktif di Masjid Agung Kota Malang ini, menulis pembelaannya pada ajaran Imam Abul Hasan al-Asy’ari, pada 16 Syawwal 1438 H / 10 Juli 2017, lantaran tuduhan Firanda itu beredar luas di media sosial, khususnya youtube.
“Antum (sampean) mengatakan Asya’irah sesat karena menakwil sifat-sifat Allah. Padahal takwil dilakukan oleh para ulama salaf, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya,” kata Ustad Faris Khoirul Anam, yang diarahkan kepada Firanda.
Berikut penjelasan selanjutnya dari Ustad Faris, Tim Aswaja NU Center Jawa Timur:
Telah maklum bahwa Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, al-Dhahhak, Qatadah, Sa’id bin Jubair telah mentakwil kata “al-saq” dengan “perkara berat” atau “syiddat al-amr” (lihat: al-Thabari, Vol 29, 38 dan al-Qurthubi, Vol. 18, 249). Mujahid mentakwil “wajh Allah” dengan “qiblat Allah” (lihat: al-Thabari, Vol. 1, 402). Sebagaimana Mujahid, Abu Ubaidah, dan al-Dhahhak mentakwil “Illa Wajhah” dengan “Illa Huwa” atau “Kecuali Dia” (lihat: al-Qurthubi, Vol. 13, 322, al-Thabari, Vol. 20, 82).
Ulama generasi berikutnya, Ibnu Jarir al-Thabari mentakwil “istiwa” dengan “ketinggian dan kekuasaan” atau “al-‘uluww wa al-sulthan” (lihat: Tafsir al-Thabari, Vol. 1, 192). Takwil senada diriwayatkan dari al-Hasan dan al-Tsauri (lihat: Mirqah al-Mafatih, Vol. 10, 137 dan Tafsir al-Iz bin Abdissalam, Vol. 1, 485-486). Imam Ahmad juga mentakwil “wa jaa-a Rabbuka” dengan “jaa-a tsawaabuhu” atau “telah datang pahala dari-Nya” (disebutkan oleh Ibnu Katsir, dari riwayat al-Baihaqi yang menyatakan, sanad ini ‘tidak ada debunya’, alias jelas. Lihat: al-Bidayah wa al-Nihayah, Vol. 10, 327). Takwil tersebut juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas (lihat: Tafsir al-Nasafi, Vol. 4, 378).
Rujukan hadits umat Islam, Imam Bukhari pun mentakwil kata “al-dhahk” – yang makna zhahirnya adalah tertawa – dengan “rahmat” (lihat: al-Baihaqi, al-Asma wa al-Shifat, hal. 470). Beliau juga mentakwil “illa Wajhah” dengan “Illa Mulkah” atau “kecuali Kerajaan-Nya” (lihat: Fath al-Bari, Vol. 8, 364).
Dus, seandainya takwil dikatakan sesat, maka tuduhan ini juga akan menyasar para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama kesohor umat ini.
“Bukankah ini perkara yang sangat berat, Ya Ustadz Firanda?,” Tanya Ustad Faris Khoirul Anam, mengakhiri penjelasannya. “Semoga Allah menjaga umat ini dari kesesatan dan kegegabahan untuk memvonis yang lain berada dalam kesesatan.”
Allah berfirman, “Wa laa taj’al fii qalbinaa ghila lilladziina aamanu rabbana innaka ra’uufurahiim.”
”... dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang." (QS. al-Hasyr [59]: 10)
Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Thariq. (habis/adi)