Poligami, Aswaja NU Center Jatim: Bukan untuk Dikomersialkan
Sinetron Zahra Indosiar viral dan membuat warganet geger. Sinetron Zahra dianggap mengkampanyekan pedofil dan praktik poligami. Sehingga banyak warganet yang mengecam sinetron yang tayang di Indosiar itu.
Sementara, saking viralnya, kabar ini terdengar ke telinga Ketua Pengurus Wilayah Aswaja NU Center Jawa Timur, KH. Ma’ruf Khozin. Berikut penjelasan tentang pandangannya tentang praktik poligami atau pernikahan lebih dari satu istri di Indonesia.
Tidak Semua Orang Mampu Poligami
Pria yang akrab disapa Gus Ma’ruf itu mengatakan sejak zaman nabi dulu banyak yang melakukan poligami. Antara lain Nabi Ibrahim yang menikah dengan Sarah dan Hajar. Dari pernikahan itu Nabi Ibrahim mendapat momongan Nabi Isma’il dan Ishaq.
Begitu pula Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Muhammad. Kendati demikian, berbeda dengan nabi kita, manusia biasa tidak semuanya mampu menjalaninya.
“Di Islam, dalam quran dan hadits memang sudah ada dalilnya. Tetapi tidak semua orang mampu menjalaninya. Salah satunya sesuai surat (An-Nisā') ayat 129 yang artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,” kata Gus Ma’ruf melalui sambungan telepon pada Rabu, 2 Juni 2021.
Gus Ma’ruf menyebut, dalam fikih Islam, berpoligami itu harus adil. Baik dalam finansial, nafkah, serta mendatangi giliran para istrinya. Tetapi kebanyakan orang terjebak dengan perasaannya sendiri. Mereka menganggap dengan kejayaan dan rezekinya yang lancar, mereka sudah mampu berpoligami.
“Kalau suami menikah dengan satu istri, istrinya memiliki kepercayaan penuh. Kalau ketahuan mau menikah lagi, kepercayaan istri hilang. Suami juga bisa berubah jadi kasar, bentak istri, marah, dan melakukan kekerasan. Makanya belum tentu cukup mampu berlaku adil,” imbuh Gus Ma’ruf.
Mazhab Syafi’i Anjurkan Monogami
Alumnus Pondok Pesantren Ploso Kediri itu menambahkan, para ulama mazhab Syafi’i menganjurkan monogami alias menikah hanya dengan satu istri saja. Poligami diibaratkan sebagai pintu emergency yang tidak dibuka selama pintu utama masih normal dan bisa berfungsi dengan baik. Seperti istrinya sehat dan mampu menghasilkan keturunan.
“Poligami ini layaknya pintu darurat. Misalnya ketika tidak ada keturunan, atau faktor istrinya sakit dan tidak bisa melayani. Selain itu, istri pertamanya sudah mengizinkan,” tutur Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim itu.
Hal ini sesuai dengan dalil berikut:
وَيُسَنُّ أَنْ لَا يَزِيدَ عَلَى امْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ ظَاهِرَةٍ
"Dianjurkan agar tidak menambah lebih dari 1 istri jika tidak ada keperluan".
Nabi Muhammad Pernah Monogami
Gus Ma’ruf menjelaskan, sebelum menikah secara poligami, Rasulullah pernah monogami. Saat itu ketika menikah dengan Siti Khadijah. Ketika Khadijah wafat, Rasulullah baru melaksanakan praktik poligami.
“Khadijah itu istri pertama nabi yang menemani sejak nol. Belum jadi apa-apa sampai sukses. Kalau dimadu, marahnya luar biasa. Sebab dari awal merintis bersama. Rasul menghargai perasaan wanita agar tidak terluka,” katanya.
Gus Ma’ruf pun menyebut ujian suami dan istri dalam pernikahan itu berbeda. Istri diuji saat suami tidak memiliki apa-apa. Sebaliknya, suami diuji saat berjaya. Seperti adanya kekayaan dan jabatan. Di sini kesabaran dan ketabahan keduanya diuji.
“Kedua suami-istri harus sabar, baik masa susah dan senang. Andaikan dulu waktu masih miskin, istrinya bisa memilih untuk meninggalkan pasangannya. Tapi sang istri masih bersabar dengan menemani dan bertahan. Sebaliknya, suami kadang nggak sabar saat sudah sukses. Pinginnya menikah lagi,” ucapnya.
Pernikahan Sakinah, Mawaddah, Warahmah
Tujuan nikah itu memperoleh sakinah mawaddah warahmah. Sakinah berarti tentram, mawaddah bermakna cinta kasih, dan warahmah adalah kasih sayang. Jika menikah dengan seorang istri, seseorang sudah memperoleh ketentraman dan ketenangan dari istri dan anaknya, maka menambah jumlah istri tidak diperbolehkan.
“Kalau satu istri saja sudah tenang hidupnya, bahagia, dan tentram, maka tidak boleh menikah lagi. Takutnya cita-cita tujuan nikah tidak tercapai, suami malah tidak mampu. Saya pribadi lebih setuju monogami,” katanya.
Poligami Tidak untuk Digrosirkan
Gus Ma’ruf mengatakan, poligami tidak untuk digrosirkan atau dipertunjukkan. Jika zaman sekarang ada orang berniat untuk poligami justru lebih banyak membawa mudharat atau kerugian. Akan ada banyak rumah tangga yang hancur, dan masa depan anaknya hilang.
“Kalau ada orang ingin poligami ukurannya sekarang banyak rumah tangga yang rusak. Sekali lagi tidak semua orang bisa dan mampu,” tegasnya.
Poligami Tidak untuk Dikomersialkan
Gus Ma’ruf mengatakan, terdapat sebuah contoh kasus nyata poligami sebelum maraknya sinetron. Saat itu ada satu anggota DPR saat dilantik berfoto bersama ketiga istrinya. Mereka terlihat bahagia meskipun ada perasaan sakit hati.
Secara tegas Gus Ma’ruf mengimbau agar poligami tidak dibuat bisnis. Terlebih diajarkan ke semua orang, yaitu masyarakat umum. Sebab, hal tersebut lebih menimbulkan banyak mudharat.
“Bagi yang mampu kita tidak melarang, tapi jangan dikomersilkan. Terlebih ngajak yang nggak mampu ikut pelatihan satu bulan poligami sukses. Dari mana bisa seperti itu? Orang lain belum tentu bisa dan punya keterbatasan masing-masing,” tuturnya.
Gus Ma’ruf pun melanjutkan pendapatnya, “Kalau bisa cerita sinetron berpoligami itu diganti saja. Itu tidak untuk semua orang. Dampaknya lebih buruk. Ada satu dua orang sukses poligami, tapi yang gagal jauh lebih banyak”.
Banyak Mudharat atau Kerugian
Berpoligami lebih banyak kerugian alias mudharatnya. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Prof Quraish Shihab. Ketika sudah memiliki anak dan istri maka tidak perlu melakukan poligami. Waktu itu Nabi Ibrahim melakukan poligami karena hanya memiliki satu putra saja, yakni Nabi Ismail. Sehingga ada kebutuhan untuk bereproduksi.
Kalau saat ini dengan satu istri sudah diperoleh tiga atau empat anak, maka poligami nggak perlu. Intinya, poligami lebih banyak mudharatnya atau kerugiannya daripada keuntungannya. Baik dari segi psikologi, kebatinan, ketenangan, hidup, dan hartanya.
“Misal sepeninggal suami ada perebutan harta gono-gini, anaknya sampai rebutan di pengadilan. Istri tua ingin jatah lebih banyak, istri keduanya pun sama. Terus, mungkin awalnya istri kedua menerima dimadu, tapi lambat laun menuntut keadilan secara resmi. Akhirnya banyak pertengkaran,” katanya.
Mensyukuri Pasangan
Jika melihat fenomena poligami yang ada saat ini, berdasarkan hasil penelitian yang ada, Gus Ma’ruf mengatakan sebab orang berpoligami itu kurangnya mensyukuri pasangan. Orang yang berpoligami beralasan melakukan poligami setelah melihat kekurangan dari istri pertama.
Gus Ma’ruf pun membuat permisalan, “Misal istri pertama kurang perhatian karena terlalu sibuk bekerja kantoran, akhirnya mencari istri kedua sebagai ibu rumah tangga yang bisa merawat dirinya. Padahal harus adil secara finansial dan keadilan. Poligami itu fitnahnya lebih besar, apalagi jika tokoh yang melakukan,” katanya.
Karenanya, agar terhindar dari poligami, Gus Ma’ruf memberikan wejangannya. Manusia diharuskan lebih banyak bersyukur. Khususnya dengan mensyukuri pasangan yang telah dimiliki.
“Manusia itu cenderung bosan dengan yang dia kumpuli. Makanya harus bersyukur dan yakin pasangan yang diberikan Allah itu yang terbaik. Terlebih, dengan bersyukur manusia tidak akan sempat mencari celah kelemahan dan kekurangan istrinya,” katanya.
Poligami Tidak Cocok Diterapkan di Indonesia
Kendati secara fikih dalam Islam memperboleh poligami, namun ada yang tersakiti. Perasaan sakit hati yang dialami perempuan yang terkenal peka bisa jadi seumur hidup akan dikenang terus. Sehingga jika diterapkan di Indonesia lebih banyak kerugiannya. Berbeda dengan negara Arab Saudi.
“Kalau di Arab suasana orang poligami lebih banyak, jadi tidak terlalu berat. Berbeda dengan di Indonesia, alangkah baiknya monogami saja,” tutupnya.
Advertisement