Aspek Kehidupan Terpurik, Isu Perubahan Iklim di Mata Agamawan
Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup (MLH) PP Muhammadiyah Mohammad Nurcholis mengatkaan, masalah climate change (perubahan iklim) harusnya bukan pada tahapan wacana atau pemikiran semata, akan tetapi sudah harus bergerak.
Menurut Nurcholis, persoalan perubahan iklim harus sudah menggerakkan semua kelompok masyarakat tidak terkecuali, kelompok agamawan. Sebab dampaknya tidak hanya dirasakan oleh sebagian, tapi menyeluruh. Bahkan tidak hanya manusia, tapi juga semua makhluk di muka bumi ini.
Memang, tentang kontribusi kelompok agama dalam isu perubahan iklim dibahas dalam Conference of the Parties ke-26 (COP26) Glasgow. Masalah perubahan iklim dan kontribusi kelompok agama dalam isu ini pula dibahas dalam Webinar yang diselenggarakan MLH PP Muhammadiyah, 4 November 2021 secara daring.
Hadir sebagai pembicara dalam forum ini di antaranya adalah Ketua PP Muhammadiyah Prof. Syafiq Mughni, dan Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim NU M. Ali Yusuf. Sementara dari Majelis Ulama Indonesia diwakili oleh Amirsyah Tambunan, dan pembicara terakhir dari Praktisi Mitigasi Iklim dan Bencana hanafi Guciano.
Dampak Keterpurukan Kehidupan
Nurcholis menegaskan, MLH PP Muhammadiyah konsen terhadap perubahan iklim serta dampak keterpurukan dari aspek kehidupan makhluk hidup.
Sementara itu, menyinggung tentang COP26 Glasgow yang diikuti kurang lebih 197 negara terlibat, harus bisa mengeluarkan gagasan untuk bisa direalisasikan dalam bentuk gerakan nyata.
Sedangkan, terkait dengan peran Muhammadiyah sebagai organisasi pergerakan menurutnya, gerakan yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam isu ini tidak sebatas gerak saja, melainkan juga dilandasi dengan gerakan pemikiran yang diimplementasikan dalam gerakan aksi.
“Sehingga kita ini sebagai salah satu parties di COP26 memang kita harus punya concern di dalam rangka kita menghadapi climate change ini. Karena dari climate change itu kita harus punya target menurunkan emisi karbon,” ungkapnya.
Padahal di sisi lain, saat ini manusia Indonesia hidup selalu melepaskan karbon dalam aktivitas keseharian. Karena dalam aktivitas hariannya, manusia masih memerlukan energi, dan energi yang dipergunakan mayoritas adalah energi fosil.
Keadaan berbalik terjadi di Eropa, di sana kata Nurcholis, sedang melakukan perubahan penggunaan energi ke non fosil, akan tetapi akibat keinginan perubahan yang terlalu cepat mengakibatkan ketidakpastian dan akhirnya mengalami gangguan yang cukup serius.
Dalam pandangannya terkait dengan pengurangan emisi karbon, Indonesia memiliki peluang lebih besar ketimbang negara lain dalam mengurangi atau menyerap kembali emisi karbon. Karena Indonesia sebagai negara tropis dan memiliki banyak aneka ragam hayati yang bisa dimanfaatkan untuk menyerap kembali emisi karbon yang telah terlepas.
“Emisi karbon itu bisa serap kembali dengan keanekaragaman hayati yang itu tidak dipunyai oleh iklim-iklim yang lain. Kita berada di iklim tropika basah mempunyai kondisi yang jauh lebih besar dan secara umum itu yang paling ideal di planet bumi ini,” ungkap Nurcholis.
Advertisement