Asas Tunggal, Gus Yahya, dan NU
Oleh: Himawan Bayu Patriadi*
Kekuatan sebuah ide atau gagasan (the power of idea) sudah diakui secara luas. Filsuf Jerman—Friedrich Hegel—menandaskan bahwa artikulasi sebuah ide akan berdampak signifikan pada kehidupan sosial dan politik. Tapi, pada konteks apa dan situasi bagaimana suatu ide mendapatkan urgensinya; hampir selalu mengundang diskusi. Sekali digagas, ide tak akan pernah tewas. Selama dipakai, ia akan terus bersemi. Jika tak laku, akan menjadi latensi. Seperti benih tanaman, ide selalu siap untuk hidup jika ada lahan subur.
Azas Tunggal Pancasila merupakan salah satu ide yang mengubah lanskap sosial-politik Indonesia. Artikulasinya telah membawa dampak yang hebat pada partai politik (parpol), organisasi sosial (ormas), dan tingkat ‘akar rumput’ (grassroots). Tapi, mungkin tidak semua mengetahui; bahwa ide tersebut muncul jauh sebelum pidato Pak Harto yang menggagas Asas Tunggal Pancasila di Pekanbaru 1983. Tak pelak, sejak pidato tersebut isu azas tunggal menjadi trending topic nasional. Isu politik panas ini kemudian mendorong perbincangan dan diskusi di kalangan mahasiswa—termasuk di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), UGM. Dalam salah satu perbincangan, dengan nada sedikit kagum, seorang kawan mahasiswa yang sama-sama aktif di HMI menginfokan: “Konsep Azas Tunggal Pancasila ternyata berasal dari Bulaksumur sini [FISIPOL], karena pada akhir 1960-an Pak Moeljarto [Prof.Dr. Moeljarto Tjokrowinoto, MPA]—dosen jurusan ilmu Administrasi Negara—sudah menulisnya!”.
Asas Tunggal
Klaim di atas membuat saya penasaran. Esok harinya, saya bergegas ke perpustakaan FISIPOL di Gedung BPA-Sekip, Yogyakarta; untuk metani (membuka-buka) koleksi lama. Ternyata benar, di situ saya menemukan artikel Pak Moeljarto Tjokrowinoto tentang Asas Tunggal Pancasila yang dimuat dalam Jurnal Sosial Politik terbitan FISIPOL -UGM, terbitan tahun 1968 (sayangnya, saya lupa edisi-nya). Membaca risalah itu, saya sempat termenung sambil bergumam: “Dahsyat! Gagasan ilmiah yang lahir satu setengah dasawarsa yang lalu, bisa menjadi realitas politik 15 tahun sesudahnya”. Memang, saya sempat berfikir: “Apakah ada keterkaitan antara pidato Pak Harto tahun 1983 dengan ide Pak Moeljarto tahun 1968?”. Sebuah “missing link” yang memerlukan riset tersendiri. Namun, saya setidaknya bisa berargumen bahwa gagasan Pak Harto tentang asas tunggal dalam pidato-nya tahun 1983 itu bukanlah ide yang sama sekali baru.
Keinginan rejim Orde Baru menerapkan Asas Tunggal Pancasila membuat ‘kegaduhan internal’ di hampir semua partai politik dan organisasi sosial-kemasyarakatan (ormas), khususnya mereka yang berasaskan Islam. Dalam jajaran ormas, Nahdlatul Ulama (NU) termasuk organisasi yang paling sigap dalam mengantisipasi. Meskipun UU yang mengatur penerapan Azas Tunggal Pancasila untuk Ormas baru disyahkan 17 Juni 1985 (UU No. 8/1985), NU melalui Muktamarnya yang ke 27 di Situbondo tahun 1984 telah menyetujui mengadopsi Azas Tunggal Pancasila. Salah satu pendorong utamanya—menurut Greg Burton (2003)—karena Gus Dur sejak awal telah mendapatkan info intelijen dari ring satu, bahwa apapun organisasi yang menolak Pancasila sebagai ‘Asas Tunggal’ akan menghadapi “desakan yang tak dapat ditahan lagi untuk menyerah”. Otoritarianisme, dimana-pun, selalu tidak menyediakan banyak pilihan. Itupun sering disertai dengan paksaan.
Namun, keberhasilan NU menyikapi desakan asas tunggal sekali lagi membuktikan kelenturan NU terhadap setiap konteks jaman yang melingkupinya. Walaupun penerimaan NU terhadap Azas Tunggal Pancasila merupakan hasil renungan dan kajian yang mendalam, Gus Dur—dengan gaya bicaranya yang khas tapi cerdas— menggambarkannya dengan enteng (ringan). Melalui sebuah metafora—yang sempat beredar di kalangan mahasiswa—beliau berkata: “Karena NU didesak untuk naik bus ya ikut. Jika nanti di tengah perjalanan tidak sepakat dengan sopirnya 'kan bisa turun. Kalau tidak ikut resikonya bisa ketinggalan dan nantinya malah susah untuk mengejarnya!”.
Sementara itu, di tingkat organisasi mahasiswa ‘kegaduhan internal’ lebih kentara. Di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), misalnya, perdebatan untuk menyikapi Asas Tunggal Pancasila cenderung memanas. Silang pendapat bukan hanya terjadi pada jajaran tingkat nasional tapi juga menembus level komisariat. Berbeda dengan NU yang berhasil memutuskan sikap organisasi lebih awal, di HMI perdebatan panjang justru tidak berhasil menghasilkan keputusan bersama tentang sikap organisasi. Bahkan sampai UU No.8 efektif berlaku tahun 1985, sikap pro-kontra terhadap asas tunggal masih berlanjut sampai digelarnya Kongres HMI ke 16 di Padang.
Syahdan, di awal 1986, Gus Yahya (Yahya Cholil Staquf) terpilih menjadi Ketua HMI Komisariat FISIPOL-UGM. Dapat dipastikan, dengan memanasnya pro-kontra mengenai asas tunggal, beliau mengemban amanah yang tidak mudah. Setidaknya terdapat dua perspektif yang mendominasi perdebatan pro-kontra Azas Tunggal kala itu. Pertama, adalah perspektif politik. Perspektif ini menganggap Azas Tunggal Pancasila merupakan bentuk represi politik rejim Orde Baru yang akan mematikan demokrasi. Pandangan yang cenderung oposan ini antara lain juga dikondisikan oleh ‘trauma politik’ mahasiswa. Maklum, bagi anggota Komisariat FISIPOL pada paruh pertama 1980-an sebagian senior mereka adalah aktivis angkatan 1978. Generasi 1978 inilah yang mengalami langsung tindakan represif aparat keamanan di lapangan. Kisah tentang serbuan aparat ke dalam Gelanggang Mahasiswa-UGM, panser yang merangsek masuk ke halaman FISIPOL dalam rangka mengejar para aktivis demonstran, hingga tubuh bonyok (lebam) akibat hantaman popor bedil; selalu menjadi menu cerita bagi adik-adik mahasiswanya.
Perspektif Akademis
Yang kedua, adalah perspektif akademis. Perspektif ini lebih menyoroti isu apakah Pancasila sebagai ideologi terbuka atau tertutup. Mereka yang berangkat dari perspektif ini melihat bahwa pemaksaan Asas Tunggal Pancasila menunjukan sikap inkonsistensi rejim Orde Baru terhadap Pancasila sebagai ideologi terbuka. Alasannya, Asas Tunggal merupakan tafsiran Pancasila yang dimonopoli pemerintah demi kepentingan politik, tanpa landasan kajian akademik. Idealnya, visi tentang Pancasila—meminjam istilah Gus Dur—“bisa dikembangkan di luar [ranah] politik”.
Namun, ambisi kuasa senantiasa menargetkan paripurna. Tiada peduli pada gema aspirasi politik yang merana. Azas Tunggal toh akhirnya legal. UU No. 3 tentang Partai Politik dan Golongan Karya akhirnya disyahkan tanggal 19 Februari dan UU No. 8 untuk Organisasi Kemasyarakatan pada 17 Juni 1985. Dengan UU rejim Orde Baru ini menekan semua organisasi, tak terkecuali HMI. Akibatnya, dalam konggresnya ke 16 tanggal 24-31 Maret 1986 di Padang; HMI terbelah menjadi dua kubu. HMI Dipo (Diponegoro) yang menerima Asas Tunggal Pancasila dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang ingin mempertahankan azas Islam. Perpecahan di tingkat nasional ini memicu proxy conflict di tingkat Cabang dan Komisariat HMI. Kondisi yang tidak kondusif ini, akhirnya mendorong Gus Yahya—tentu dengan dukungan pengurus—memutuskan ‘pembekuan’ Komisariat FISIPOL-UGM, dengan pernyataan sikap ‘tidak memihak’ pada salah satu kubu HMI yang berseteru.
Di tingkat akar rumput (grassroot) penerapan Asas Tunggal Pancasila menunjukkan dampak yang berbeda, setidaknya berkaitan dengan pendapat pro dan kontra. Yang menarik, NU justru memperoleh ‘berkah terselubung’ (blessing in disguise) dari keputusannya dalam Muktamar Situbondo tahun 1984 untuk kembali ke Khittah 1926 dan menerima Asas Tunggal Pancasila. Ketika fieldwork di Malang tahun 2005, seorang tokoh sepuh NU cerita pada saya: “Khittah NU telah menghilangkan sekat antara warga NU dengan masyarakat lainnya. Segera setelah kebijakan itu dideklarasikan, saya menemukan kecenderungan baru. Ketika saya melaksanakan shalat Jumat di masjid Jami’ Malang—yang sebelumnya selalu diasosiasikan dengan NU—saya melihat banyak warga non-NU juga ikut shalat di sana, termasuk mereka yang menggunakan ‘kendaraan plat merah’ [PNS dan ABRI]. Kala itu, muncul antusiasme dan optimisme di kalangan internal warga NU tentang masa depan NU, karena fenomena tersebut menandakan akseptabilitas NU di kalangan masyarakat semakin tinggi”. Hal ini menunjukan bagaimana khittah NU telah menyingkap tabir yang memisahkan antara warga NU dan warga non-NU.
Meski dalam konteks yang berbeda, apa yang terjadi di Muktamar ke-34 NU di Lampung bulan Desember 2021 menunjukkan fenomema yang serupa. Adalah sebuah fakta bahwa dalam kontestasi calon Ketua Umum PBNU isu persaingan HMI dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sempat mengemuka. Namun, berkat kedewasaan dan kematangannya, telah memungkinkan NU mempunyai resolusi konflik yang terinstitusionalisasi. Sangat mungkin terpilihnya Gus Yahya—yang kebetulan alumni HMI—sebagai Ketua Umum PBNU sempat memicu kekhawatiran. Apalagi, jika hal itu dilihat dari sudut pandang kekuasaan. Namun, beliau secara elegan telah menegaskan bahwa: “Dalam realitanya [di tubuh NU] persaingan antara HMI dan PMII tidak relevan lagi karena [kedua identitas] itu telah melebur dalam latar belakang ke-NU-an!”. Penegasan yang logis dan wajar, karena konteks sosial yang melingkupinya setiap warga NU bisa jadi berbeda satu sama lainnya.
Dalam tataran grassroots, terpilihnya Gus Yahya juga telah menyingkap tabir semu yang memilah sesama warga NU. Seorang sahabat alumni HMI berkata: “Terpilihnya Gus Yahya membuat saya lega dan bahagia, karena merupakan simbol diterimanya kembali identitas saya sebagai NU yang sebelumnya sempat ter-alienasi”.
Curhat sahabat ini seakan mendapat sambutan simpatik dari seorang alumni PMII, yang melalui unggahannya di sosial media berujar: “Poin penting dari terpilihnya Gus Yahya, para kader HMI-NU tidak lagi canggung dalam berkhitmat di NU”. Dalam hal ini, sinergi adalah kunci bagi masa depan NU nan asri. Jadi teringat ungkapan almarhum Pak Ud (KH. Jusuf Hasyim – PP Tebuireng) pada silaturahim nasional para tokoh NU pada awal masa Reformasi, di Hotel Indonesia-Jakarta. Saat ditanya wartawan tentang kesannya tentang banyaknya tokoh NU—dari lintas partai, organisasi, maupun profesi—yang hadir; beliau menjawab singkat: “NU [memang] ruaaarrr biaasaaa..!”.
Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen Ilmu Hubungan Internasional dan Ketua C-RiSSH, Universitas Jember.