Asa Masyarakat Pesisir Tumpang Pitu
Oleh: Oki Lukito
Setidaknya terdapat tiga dusun pesisir di kaki gunung Tumpang Pintu, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Warga dusun Pancer, Ringinsari dan Rajegwesi Sarongan mayoritas dihuni oleh nelayan, pengolah ikan tradisional, pedagang dan pembudidaya ikan sebagian lainnya petani dan berkebun. Diberi anugrah hasil laut selatan yang melimpah, akan tetapi warga di ketiga daerah tersebut belum mampu memaksimalkan produksi perikanannya, maupun memanfaatkan potensi sumber daya alam lainnya karena keterbatasan sarana dan teknologi.
Nelayan di tiga desa tersebut tidak dapat berbuat banyak ketika paceklik ikan tiba bersamaan dengan datangnya musim angin barat yang berlangsung selama 5-6 bulan (Oktober-Maret). Mereka harus bekerja serabutan di darat. Sebagai catatan, waktu efektif nelayan melaut hanya 181 hari dalam setahun. Gelombang tinggi, angin besar dibungkus dalam cuaca tak bersahabat memaksa mereka meninggalkan ranahnya sebagai insan bahari.
Apa saja dikerjakan untuk dapat menghidupi keluarga mereka, termasuk alih profesi menjadi pekerja bangunan di Kota Banyuwangi. Jumlah nelayan yang tercatat di Pelabuhan Perikanan Pancer tahun 2022 sebanyak 2.597 orang. Jenis kapal dari berbagai ukuran 4-30 GT memadati kolam labuh, antara lain pakisan, payang, jukung, cantrang, purse seine untuk menangkap ikan pelagis kecil seperti tongkol, cakalang, baby tuna, selar, lemuru, kakap, lemadang dan gurita menggunakan jaring gillnet, jaring insang hanyut, bagan perahu dan lainnya. Jumlah kapal berukuran 10-30 GT tercatat 48 unit, kapal di bawah 10 GT kurang lebih 700 unit.
Produksi perikanan Pancer tahun 2020 sebesar 1.449.929 Kg dan tahun 2021 sebesar 1.869.442 Kg. Hasil tersebut tergolong minim tidak sebanding dengan potensi perikanan laut selatan. Terdapat pula kapal sekoci untuk memancing (handline) ikan tuna selama 3-4 hari melaut sejauh 30-40 mil. Pancer sebagaimana halnya Pelabuhan Perikanan Pondokdadap (Malang selatan), Tamperan (Pacitan) adalah penghasil ikan bernilai ekonomi, tuna, cakalang, tongkol (TCT). Di Pelabuhan Pancer tercatat pula sekitar 700 perahu jukung yang digunakan nelayan setempat untuk menangkap benur atau yang biasa disebut benih bening lobster (BBL).
Hambatan utama yang dihadapi nelayan Pancer adalah tidak tersedianya Stasiun Pompa Bahan Bakar Nelayan (SPBN) sehingga armada kapal nelayan tidak mendapat jatah solar subsidi dan membeli di SPBU, jaraknya 17 Km dari Pancer. Kebutuhan solar per hari di Pancer sekitar 8 ton. Faktanya walaupun harga lebih mahal, nelayan memilih membeli bensin atau solar eceran di kios kios, sementara Perta Shop atau Perta Mini juga belum ada. Harga BBM di sekitar pelabuhan, Rp 9 ribu (solar) dan Pertalite Rp 13 ribu per liter. Sementara di SPBU harga solar Rp 6.800 per liter, pertalite Rp 10.000 per liter.
Nelayan Pancer berharap Pemprov Jatim yang selama ini rajin membangun infrastruktur pelabuhan perikanan dan rutin mengalokasikan APBD lebih dari Rp 75 miliar per tahun, dapat menggandeng swasta khususnya penambang emas di Gunung Tumpang Pitu. Misalnya, hand in hand memfasilitasi pembuatan SPBN di Pelabuhan Pancer implementasi dari sense of crisis. Pengelolanya diserahkan ke Koperasi Nelayan, BUMDES atau kelompok usaha nelayan (KUB) yang sudah berbadan hukum. Keberadaan SPDN ini diyakini akan menguntungkan dan menekan biaya operasional kapal sebab pemakaian BBM menghabiskan 60 persen dari total biaya melaut.
Emas Hidup
Banyak hal yang bisa dikerjakan Pemprov Jatim, maupun penambang emas Gunung Tumpang Pitu memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat pesisir di Kecamatan Pesanggaran. Apapun bentuknya bantuan yang disalurkan melalui program kepedulian sosial perusahaan (CSR) sebaiknya tidak memanjakan penerima. Pengadaan jaring misalnya, dapat dikerjasamakan dengan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan yang rata rata beranggotakan 10-20 nelayan termasuk pengurusnya. KUB diberi modal untuk membeli jaring atau alat bantu tangkap lainnya yang kemudian dijual kepada anggota KUB dengan cara diangsur. Dengan cara ini serta dlakukan pendampingan dan monitoring, modal yang diberikan diharapkan akan terus berputar.
Benih lobster di sekitar Teluk Pancer melimpah, minimal 2000-3000 ekor ditangkap nelayan per hari. Jika dibudidayakan benih lobster tersebut akan menjadi komoditas emas hidup. Saat ini harga pasaran benur Rp 10-13 ribu per ekor untuk jenis pasir dan batik, sedangkan jenis mutiara harganya bisa dua kali lipat dibeli oleh pengepul yang konon diselundupkan ke Vietnam. Jika benur benur ini dibudidayakan selama setahun untuk memenuhi ukuran atau bobot konsumsi sekitar 250 gram per ekor, harganya bisa mencapai Rp 500-600 ribu per kilogram di tempat. Sedangkan harga pasaran lobster Rp 800 ribu (pasir, batik) dan jenis mutiara Rp 1,2 juta per kilogram.
Di Desa Sarongan, Kecamatan Pasanggaran contohnya saat ini warganya sekitar 20 orang membentuk kelompok pembudidaya lobster. Mereka mencoba usaha buidaya laut dengan modal swadaya, teknisnya dibantu oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Perikanan. Permodalan serta teknologi menjadi kendala para pejuang budidaya lobster ini untuk berkembang. Dibutuhkan dana sekitar Rp 190-200 juta untuk bisa membuat Keramba Jaring Apung (KJA) serta kolam penangkaran maupun biaya operasionalnya. Hasil budidaya lobster di Sarongan cukup berhasil walaupun tanpa atensi dari pemerintah provinsi maupun kabupaten.
Selain di Sarongan, titik strategis lainnya untuk spot KJA memungkinkan diimplementasikan di Teluk Pancer, tepatnya di Desa Sumberagung yang termasuk areal wilayah konsesi lingkar pertambangan dengan komoditas lobster atau kerapu dan kekerangan. Kerang mutiara juga memungkinkan dibudidayakan di lokasi ini seperti di Muncar. Budidaya di sekitar lokasi yang disinyalir menjadi tempat pembuangan limbah tambang di Teluk Pancer itu jika berhasil, akan menepis anggapan negatif selama ini soal limbah yang dibuang ke laut.
Kawasan Konservasi
Banyuwangi memilik panjang garis pantai 175,8 Km tersebar di 11 kecamatan dari Wongsorejo di utara hingga Pesanggaran di selatan. Jumlah nelayan yang mengais rejeki di Selat Bali dan Samudra Hindia tercatat 27 ribu nelayan. Di sepanjang pesisir Selat Bali berkembang lokasi konservasi pesisir dan laut yang dirintis dan dijaga kelestariannya oleh 28 Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas).
Di Desa Sumberagung yang merupakan areal wilayah konsesi lingkar pertambangan sedikitnya tercatat dua spot konservasi mangrove yang dikelola oleh masyarakat setempat yang bergabung dalam Pokmaswas.
Salah satu Pokmaswas mengelola kawasan konservasi mangrove luasnya kurang dari 10 hektar. Lokasinya tepat di kaki gunung Tumpang Pitu yang menjadi obyek penambangan. Bagaimanapun juga, apapun jenis penambangan yang mengekploitasi SDA pasti menyebabkan degradasi lingkungan. Untuk menyeimbangkannya perlu memperbanyak kawasan kawasan konservasi. Sebagai tumbuhan yang mampu menahan arus air laut, mengikis daratan pantai dan menjaga kadar oksigen air laut, mangrove juga memiliki fungsi sebagai penyerap gas karbondioksida. Perlu dibuatkan proyek percontohan yang dapat menginisiasi nelayan untuk menjaga kualitas lingkungannya. Konservasi pesisir dan laut yang sudah ada layak diperluas untuk menjaga kelestarian lingkungan pesisir dan perairan dari dampak eksploitasi Tumpang Pitu.
*Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan, Dewan Pakar PWI Jawa Timur
Advertisement