Amerika Lihat Indonesia Mitra Maritim Bendung Agresivitas Beijing
Selama 22 hari, dosen Fisip Universitas Brawijaya Dr M Faishal Aminudin melakukan perjalanan di Amerika Serikat sebagai peserta program International Visitor Leadership Program (IVLP) yang disponsori US Department of State. Apa saja yang menarik dari perjalanannya di berbagai kota dan bertemu dengan para pengambil kebijakan serta tokoh masyarakat di AS? Ia menuliskannya secara bersambung untuk Ngopibareng.id. (redaksi)
DARI kilas balik sejarah, hubungan Indonesia-Amerika Serikat (AS) mengalami pasang-surut. Terutama dalam bidang politik dan keamanan. Tensi yang paling tinggi terjadi ketika era perang dingin atau bertepatan dengan periode kekuasaan Soekarno. Semasa Orde Baru, hubungan keduanya bisa dibilang sangat mesra karena berbagai kebijakan nasional dari pemerintahan Soeharto mendapatkan dukungan penuh. Semisal invasi Indonesia ke Timor Leste pada tahun 1975.
Bagaimana kebijakan politik luar negeri AS mesti dipahami? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan stereotype sederhana bahwa mereka mendasarkan kebijakannya dari fatsun standar ganda. Atau dengan kata lain, mengusung sifat pragmatis karena mendukung pemerintahan nasional sebuah negara sepanjang bisa diajak bekerjasama dan menumbangkan mereka yang dianggap sebagai musuh.
Banyak fakta yang bisa diketengahkan untuk memperkuat pandangan tersebut. Sebutlah militan Taliban yang dilatih dan dipelihara dalam konfrontasi dengan Uni Soviet di Afghanistan. Ketika era konflik usai dan mereka tidak bisa lagi dikontrol karena muncul sebagai kekuatan yang merugikan, mereka menggunakan kekuatan senjata. Fenomena serupa terjadi di Iraq, Libya dan Syria. Yang paling mencolok adalah soal Palestina.
Landasan normatif dalam politik luar negeri bisa dikenali dari model dan pilihan strategi dari implementasi kebijakan tersebut. Dalam konteks ini, sebenarnya istilah standar ganda tidaklah sepenuhnya tepat mewakili dan hanya terlihat sebagai anomali dalam beberapa kasus dinegara-negara tertentu. Secara umum, doktrin politik luar negeri AS adalah “diplomacy in action” dalam membela kepentingan luar negeri AS. Penguraian doktrin tersebut sangat kondisional dan menyebabkan pada setiap presiden atau menteri luar negeri yang diberikan mandat untuk menjalankan diplomasi, mempunyai strategi spesifik yang berbeda-beda.
Di era 1980 an, Presiden Ronald Reagen, merumuskan kebijakan luar negeri AS di Asia Tenggara yang fokus untuk membendung gerakan komunis dan memposisikan diri untuk menangkal pengaruh Soviet. Dia mendukung ASEAN dalam menangani persoalan Vietnam dan Kamboja. Sedangkan di era Presiden George H.W Bush diakhir 80-an dan awal 90 an, tidak banyak perhatian yang diberikan dikawasan ini. Termasuk juga ketika Bill Clinton menjabat presiden dari 1993-2001. Isu komunisme meredup dan tetiba memberikan perhatian serius setelah 9/11, setelah investigasi menemukan bahwa jaringan Al-Qaeda juga menyebar pesat di kawasan ini. Asia Tenggara menjadi “second front” bagi kampanye perang terhadap terorisme yang digaungkan oleh AS.
Pada pemerintahan Obama, dalam pertemuan di Sunnylands Center California di bulan Februari 2016 dengan para pemimpin ASEAN, hubungan AS-ASEAN menapaki babak baru yang lebih luas meliputi tantangan transnasional: isu maritim, terorisme, trafficking, penyakit pendemik dan perubahan iklim. Secara khusus, isu penting yang bisa dilihat dari kunjungan wakil presiden Mike Pence di sekretariat ASEAN di Jakarta pada bulan April 2017 lalu menujukkan sinyalemen kuat bahwa kemitraan strategis dengan ASEAN akan memberi perhatian serius pada aspek hukum internasional. Aspek ini sangat vital karena AS bisa memanfaatkan peranan ASEAN untuk menekan China dalam pada penyelesaian urusan Laut China Selatan.
Bagi Indonesia, jika ditilik kebelakang, kebijakan AS di Indonesia yang berkaitan dengan isu maritime kawasan, dirumuskan pada era Presiden Obama. Tepatnya setelah kunjungan Presiden Joko Widodo ke AS pada bulan Oktober 2015. Dalam kunjungan tersebut, dibicarakan isu penting yang menjadi respon Indonesia terhadap US freedom of navigation operation (FONOP) di Laut China Selatan dimana pihak Indonesia juga mencermati intrusi Beijing diperairan dan dampaknya pada stabilitas regional.
Penguatan Sektor maritim
Dari sisi militer, pasca penutupan pangkalan Angkatan Laut AS di Teluk Subic Filipina tahun 1992, mereka tidak mempunyai kontrol yang signifikan atas perairan Asia Tenggara. Beberapa pembicaraan untuk membuka pangkalan militer AS baru, sudah dilakukan bersama Thailand dan Vietnam. Faktanya, agresivitas China di perairan ini sudah mulai nyata dirasakan. Kehadiran militer China dalam sengketa Kepulauan Spratley memang bukan sekadar memberikan efek eksistensif belaka melainkan memastikan kepentingan ekonomi mereka yang menggunakan distribusi jalur laut bisa aman.
Pandangan strategis AS dalam pengembangan sektor maritim di Indonesia masih terfokus pada persoalan keamanan. Pencegahan mobilitas kelompok garis keras dan sel-sel terorisme melalui jalur laut, promosi kedaulatan laut dan segenap sumber dayanya dan memastikan kehadiran mereka untuk membantu kepentingan hukum laut internasional Indonesia. Sebagaimana diketahui, model Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) atau Archipelagic Sea Lanes, secara ekonomi dan politik merugikan Indonesia karena tidak lagi mempunyai kekuasaan penuh terhadap seluruh wilayah lautnya dan udaranya.
Namun bagi negara lain, misalnya ketika berurusan dengan patroli pesawat tempur AS di atas perairan Pulau Bawean atau dengan Australia, model ALKI tetap dibutuhkan agar bisa membuat mereka lebih leluasa bergerak bebas dalam perairan internasional di dalam kedaulatan maritim Indonesia. Kementerian Luar Negeri AS juga membuat dokumen resmi dari interpretasi mereka terhadap model ALKI ini.
Ada beberapa isu yang menjadi perhatian pemerintah AS dalam sektor maritim. Pertama, pemberian dukungan terhadap Indonesia dalam sektor keamanan dan kedaulatan atas garis partai dan perbatasannya. Penekanannya bersifat kerjasama sektor keamanan. Sebagaimana diketahui, Presiden Jokowi diawal pemerintahannya mengkampanyekan Indonesia sebagai poros maritim dunia (Global Maritime Fulcrum). Terdapat beberapa pilar penting dari model poros tersebut yakni: pembangunan kembali budaya maritime, pemeliharaan sumber daya maritime, pembangunan infrastruktur, diplomasi maritime dan pengembangan angkatan bersenjata berbasis laut.
Kedua, eksplorasi dan pengelolaan sumber daya laut secara masif. Hal tersebut bisa dilakukan ketika perbatasan laut bisa dijaga dengan baik dan potensi kerugian yang diakibatkan oleh pelayaran dan pencarian ikan ilegal, penyelundupan dan perusakan sumber daya hayati laut, bisa diminimalisir. Potensi kelautan bisa diproyeksikan sebagai bagian dari kedaulatan pangan nasional karena mempunyai potensi 24 miliar USD/tahun. Potensi ini menjadi salah satu pertimbangan penting dari program asistensi kelembagaan terhadap agensi pemerintahan Indonesia yang menangani sektor maritim dari pemerintah AS.
Dalam pelaksanaan pembangunan poros ini, terdapat penilaian menarik yang disampaikan oleh pakar studi internasional CSIS, Evan Laksmana memberikan penilaian bahwa rencana aksi yang dilakukan oleh kementerian terkait dengan implementasi Poros Maritim Dunia, masih belum maksimal. Dia mencatat setidaknya dari capaian kementerian transportasi, industri, kelautan dan perikanan terdapat 181 dari target sebanyak 425 program, dari sisi kebijakan masih mencapai 42 persen dari target dan kementerian luar negeri masih menjalankan 23 program. Secara umum, apa yang bisa dilihat hampir 3 tahun implementasi masih di tataran pembangunan norma dan diplomasi maritim multilateral umum.
Pembangunan Politik
Promosi HAM dan demokrasi memang menjadi elemen kunci bagi perumusan kebijakan luar negeri AS. Dalam laporan yang dirilis oleh Biro Demokrasi, HAM dan Buruh di Kementerian Luar Negeri AS tahun 2016, disebutkan dengan jelas bahwa tekanan pada isu demokrasi dan HAM bukan saja bersifat imperatif melainkan bagian dari misi utama dalam menciptakan tatanan global yang stabil dan aman. Dalam laporan tersebut, isu domestik yang masih menghiasi laporan termasuk konflik di Papua dan Papua Barat yang melibatkan kekerasan bersenjata antara aparat keamanan dengan OPM.
Seperti kejadian pada bulan Desember 2015 antara personel kepolisian Yapen Waropen dengan anggota OPM di desa Wanapompi, Serui. Juga pengusutan pembunuhan aktivis HAM, Munir yang masih menyisakan persoalan terkait keterlibatan aparat negara di dalamnya. Pembatasan kebebasan berbicara juga menjadi perhatian seperti kasus penagkapan dua aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) oleh polisi Maluku Utara.
Secara umum, laporan tersebut menyimpulkan bahwa terdapat kemajuan dalam penyelenggaraan pemilu 2014, otoritas sipil bisa memelihara kontrolnya terhadap apparat keamanan. Sisi negatifnya, berbagai kasus penangkapan terduga teroris dan tuduhan penistaan agama mengalami peningkatan. Hal yang sama dijumpai dalam persoalan korupsi yang semakin merajalela, pelanggaran HAM masih ada dan pemerintah gagal menegakkan trasnparansi dalam berbagai kasus pembunuhan, kekerasan dan pelanggaran kewenangan dari aparat keamanan. Jaminan terhadap kebebasan berbicara juga masih rendah.
Penyusunan laporan Kementerian Luar Negeri AS didasarkan pada hasil agregat laporan yang dirilis oleh lembaga-lembaga internasional yang kredibel seperti Human Rights Watch (HRW). Kendatipun beberapa isu kebebasan beragama yang dirilis HRW tidak muncul secara spesifik seperti kekerasan yang dialami oleh ribuan pengikut Gafatar dan konflik Ahmadiyah serta persoalan konflik agama yang sensitif lainnya. Selain itu, laporan lain tentang demokratisasi yang sangat diperhatikan adalah Freedom House. Dalam country report 2016, Indonesia melorot dari negara yang termasuk kategori “free” menjadi “partly free”. Isu dominan adalah pengesahan UU Ormas yang dianggap membatasi ruang kebebasan sipil dan kasus penistaan agama yang menimpa Basuki Purnama.
Selain memanfaatkan sumber dari laporan lembaga-lembaga diatas, verifikasi faktual juga dilakukan dari kontak dan informan Kementerian Luar Negeri melalui Kedutaan dan Konsul Jenderal yang dimiliki. Dari keterangan yang disampaikan oleh pejabat junior di Biro tersebut, keberadaan kontak dan informan tangan pertama sangat penting untuk menghasilkan analisis yang lebih tajam dan mengasilkan rekomendasi kebijakan yang tepat sasaran.
Tahun 2017, pemerintahan Trump melakukan pemotongan anggaran bagi kementerian Luar Negeri AS dan USAID dari 54 miliar USD pada tahun fiskal 2017 menjadi 37 miliar USD pada tahun 2018. Terdapat pengurangan yang sangat signifikan yakni 31 persen. Persentase tersebut termasuk dana kontijensi yang disebut sebagai Overseas Contigency Operation. Dari kondisi tersebut, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintah AS untuk mewujudkan kerjasama penuh yang saling menguntungkan sesuai misi kebijakan luar negerinya. Belum lagi faktor lain yang sangat penting yakni kebijakan Trump yang menaikkan tarif impor China sebesar 45 persen, akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi diprediksi bisa melemah 0.5 persen/tahun.
Proyeksi kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia dibawah pemerintahan Trump sepertinya tidak sekuat pemerintahan sebelumnya. Namun yang paling realistis bagi AS adalah memposisikan Indonesia sebagai mitra penting kawasan di Asia Tenggara dalam isu yang mengerucut untuk pelibatan sebagai kekuatan maritim terbesar, untuk membendung agresivitas Beijing. Untuk itu, kerjasama sektor maritim, baik dalam segi perdagangan dan militer, diproyeksikan akan menjadi prioritas dimasa yang akan datang. (bersambung)