ARV Langka, IAC Desak Kejagung Tuntaskan Dugaan Korupsi Obat AIDS
Indonesia AIDS Coalition (IAC) mendesak Kejaksaan Agung RI untuk menuntaskan dugaan korupsi obat AIDS. Kasus yang berjalan lebih dari setahun dengan puluhan saksi itu belum juga menetapkan satu pun tersangka.
Aditya Wardhana, Direktur IAC, mengatakan jika kasus dugaan korupsi itu tidak sulit dibuktikan. Menurutnya potensi kerugian negara bisa dilihat dari selisih harga obat AIDS di pasaran internasional, dengan harga yang dikeluarkan pemerintah Indonesia.
“Harga obat AIDS di pasaran International sekitar USD 8 per botol, tapi kemudian pemerintah kita membelinya dengan harga 400 ribu pada tahun 2016. Artinya kan ada potensi kerugian negara di situ” kata Aditya Wardhana, Direktur LSM IAC, dalam siaran pers kepada Ngopibareng.id, Senin 2 Maret 2020.
IAC sendiri membuat perhitungan cost structure analysis yang menunjukkan bahwa ada potensi kerugian negara sebesar lebih dari Rp150 miliar akibat inefisiensi dalam pengadaan obat-obatan HIV dan AIDS di tahun 2016.
Selain itu, dampak lain dari terkuaknya kasus ini adalah adanya fakta stok obat ARV bagi pengidap HIV saat ini mengalami kekosongan di banyak tempat. Berdasarkan pantauan IAC, setidaknya ada lebih dari 40 kabupaten kota yang mengalami kesulitan stok obat ARV.
Hal ini dikarenakan proses pengadaan obat ARV untuk pengidap HIV bersumber dari dana APBN mengalami penundaan, yang salah satunya diakibatkan kasus pengadaan obat di tahun 2016.
Obat ARV sendiri adalah obat bagi terapi yang harus dikonsumsi pengidap HIV secara rutin guna mencegah perburukan infeksi HIV menjadi AIDS. Saat ini, ada sekitar 130 ribu orang dengan HIV (ODHA) yang sedang menjalani pengobatan ARV ini di seluruh Indonesia.
Selama ini, pemerintah Indonesia membeli obat ARV dengan harga yang sangat mahal. Bisa 400% lebih tinggi dari harga obat yang sama di pasaran Internasional. Biaya pengadaan obat anti AIDS sendiri sekarang setiap tahunnya membumbung tinggi mencapai angka Rp800 milliar rupiah setiap tahunnya.
“Kami menghitung, setidaknya ada 40% dari alokasi dana ini yang bisa dihemat jika pemerintah mengikuti saran dari kami untuk menggunakan international prices sebagai salah satu acuan dalam penetapan Harga Perkiraan Sendiri yang digunakan dalam tender pembelian obat ARV” Aditya menambahkan.
Ketidaklancaran stok obat anti AIDS ini akan membuat pasien pengidap HIV kehilangan motivasi untuk berobat dan pada akhirnya memutuskan untuk menghentikan pengobatannya.
Sementara, jika pasien berhenti minum obat, ada potensi HIV di dalam tubuhnya akan resisten dan membuat obat ARV ini tidak efektif sehingga penularan HIV tidak akan terkendalikan.
iAC sangat berharap bahwa kasus dugaan tindak pidana korupsi ini bisa segera dituntaskan sehingga tidak berlarut-larut dan membuat situasi pengadaan obat ARV berikutnya tidak mengalami penundaan dan akses obat bagi pengidap HIV bisa lancar kembali.