Arus Baru Santri Baru
Entah mulai kapan arus baru ini terjadi di Yogyakarta. Kota provinsi yang berstatus sebagai Daerah Istimewa. Keistimewaan yang diperoleh karena jasa besar terhadap NKRI.
Arus baru yang saya maksud adalah semangat keberagamaan di masyarakat. Kesadaran untuk menjalankan syariat Islam dalam kehidupan nyata. Tidak hanya dalam peribadatan, tapi juga dalam kegiatan muamalah (perdagangan).
Saya pernah 14 tahun tinggal di kota ini. Saat keberagamaan warga belum begitu mencolok. Terkecuali di daerah-daerah pedesaan dan pinggiran. Bahkan, Islamophobia sering mencuat ke permukaan. Dari kelompok Kejawen maupun lainnya.
Itu terjadi di tahun 1980-an.
Kini, keadaan itu telah berubah. Saya baru sadar ada arus baru itu setelah tinggal di kota itu beberapa hari ini. Dalam satu hari, saya mendatangi tiga toko berbeda yang melakukan hal sama. Menutup layanan setiap kali waktu shalat tiba.
Mereka memasang pengumuman di pintu maupun tempat-tempat strategis tokonya. Tentang jam kerja mereka. Yang secara jelas menginformasikan bahwa tokonya ditutup setiap waktu salat wajib tiba. Menghentikan layanan secara total.
"Izin 15 menit untuk salat berjamaah setiap datangnya waktu shalat. Jamaah dulu ke Masjid yuk!," demikian tulis pengumuman yang dipajang di toko penyewaan alat-alat rekaman dan kamera.
"Mohon maaf. Tanpa mengurangi rasa hormat, mohon segera mempercepat transaksi menjelang waktu shalat. Kami akan menghentikan layanan," begitu tulisan di atas pojok kasir Toko Ikan Hias.
"Mohon Bapak segera antre untuk melakukan pembayaran. Sebab, kami akan menutup toko saat waktu shalat tiba," kata petugas toko tanaman Tambulanpot. Bahkan, mereka langsung menutup pintu depan jam 11.00 di hari Jumat.
Para pelanggan toko-toko itu pun patuh dengan sistem layanan mereka. Meski saya tahu banyak yang datang di toko itu bukan Muslim. Mereka pun rela menunggu di luar saat para karyawan toko jeda untuk beribadah.
Lima tahun lalu, di Yogyakarta juga sudah marak tradisi membagi sedekah nasi bungkus kepada jamaah shalat Jum'at. Tradisi yang kini juga mulai marak di Surabaya. Bersedekah makanan di masjid-masjid.
Apakah ini gerakan Islam pembaharuan dari yang dulu baru? Kota ini telah melahirkan Muhammadiyah. Organisasi Islam yang ketika berdiri menjadi gerakan Islam baru. Yang mengenalkan pendidikan modern di kalangan santri.
Lalu akankah lahir yang baru dari yang baru juga? Sosiolog UGM Dr Najib Azca melihatnya demikian. Dia menyebutnya sebagai fenomena munculnya Santri Baru.
Santri yang tidak berakar dari santri lama seperti NU dan Muhammadiyah.
Mereka adalah santri baru bukan hasil ngaji di pesantren. Juga bukan hasil didikan pendidikan Muhammadiyah. Juga bukan lulusan UIN atau dulu IAIN.
Lah, kalau bukan hasil didikan pesantren, sekolah Muhammadiyah, dan UIN, lantas mereka menjadi santri atas didikan siapa? "Mereka dapatkan ijazah santri dari Kiai YouTube atau Habib Google," kata Najib.
Mereka mendapatkan pengetahuan agama melalui guru-guru yang tidak pernah bertemu secara fisik. Bahkan ada yang mendapatkan ijazah langsung dari Nabi Muhammad atau para wali melalui mimpi sebagai justtifikasi otoritas keagamaannya.
Transmisi keilmuan agamanya tidak diperoleh melalui sanad alias silsilah keilmuan alias urut-urutan guru yang jelas. Bahkan sering mengklaim mendapatkan sumber ilmu langsung ke pangkalnya.
Santri baru yang berbeda dari santri lama ini ada yang disebut dengan kelompok hijrah. Kelompok santri baru yang menonjolkan identitas ke-Islaman yang transmisi keilmuannya diperoleh dari internet.
Mereka memahami Islam tidak melalui guru yang bertemu secara langsung. Sehingga seringkali pemahaman keagamaannya letterlijk alias tekstual dan harfiah. Tidak memahami konteks hukum Islam sehingga terkesan fundamentalistik.
Ini berbeda lagi dengan kelompok santri baru yang dulunya berasal dari Islam Abangan. Muslim yang tidak menjalankan syariat agama. Yang dulu disebut sebagai Islam KTP.
Bukan.
Mereka betul-betul kelompok santri baru yang muncul akibat kesadaran keagamaan yang lebih dipengaruhi gerakan transnasional. Juga akibat perkembangan teknologi seperti media sosial.
Sebagian dari mereka berasal dari kalangan kelas menengah. Yang mengekspresikan ubudiyah --melaksanakan perintah-perintah Allah-- sebagai indentitas ke-Islaman. Mereka berbeda dari santri lama yang mainstream.
Ada buku yang menjelaskan perubahan sosial menyangkut santri ini. Diterbitkan ISEA Singapura tahun 2020. Ditulis para pakar dari Indonesia. Termasuk Najib Azca yang dosen Sosiologi UGM.
Judul bukunya: The New Santri: Challenges to Traditional Religius Authority in Indonesia. Santri Baru: Tantangan Bagi Otoritas Keagamaan Tradisional di Indonesia.
Buku ini mengupas perubahan sosial di kalangan ummat Islam. Yang melahirkan jenis santri baru. Yang perilaku dan ekspresi keagamaannya berbeda dengan santri lama. Tentu juga ekspresi politik mereka.
Seperti perubahan layanan toko yang berhenti setiap waktu shalat di Yogyakarta itu. Sayang saya tidak sempat mendalami lebih detil siapa pemilik toko itu.
Yang pasti, dari ketiganya hanya satu yang nyata-nyata dari kelompok Salafi. Kelompok Islam yang secara fisik menunjukkan identitasnya dengan pakaian celana cingkrang dan berjenggot.
Toko lainnya tanpak seperti toko pada umumnya. Demikian juga dengan para penjaga tokonya. Malah menunjukkan penampilan kelas menengah yang tampil casual dan modern.
Yang juga pasti, fenomena layanan toko seperti itu merebak di beberapa tempat di Yogyakarta. Seperti merebaknya masjid yang menyediakan makan setelah shalat Jumat itu.
Lah kenapa fenomena santri baru ini tak menonjol di kota lain seperti Surabaya? Kalau mengikuti thesis Najib Azca, ini bisa dipahami. Karena Surabaya santri lama masih sangat dominan.
Bukan berarti santri di Surabaya kurang Islami. Hanya ekspresi keberagamaannya yang berbeda. Tidak seekspresif seperti para santri baru itu.
Atau ini hanya soal waktu. (arif afandi)