ArtJog Lagi, Kapan ArtBaya?
Saya bukan seniman. Karena itu, ketika menyaksikan ArtJog 2022, bukan impresi seni yang saya rasakan. Yang muncul rasa iri kenapa yang seperti ini tidak tumbuh di Surabaya.
Pameran kesenian kontemporer ini telah berjalan sejak 2010. Dua tahun terakhir digelar secara daring karena pandemi. Sebelum berdiri sendiri, dulunya bagian dari Festival Kesenian Yogyakarta (FKY).
Saya menonton ArtJog dua hari setelah pembukaan, 7 Juli 2022 lalu. Sebelum itu, beberapa kali setiap saat berada di Jogja, saya menyempatkan nonton event tersebut. Baik sendiri maupun bersama keluarga.
Ini bukan sekadar pameran lukisan. Tapi unjuk segala karya seni kontemporer. Ada seni rupa, ada seni instalasi, fotografi, video grafi dan ada seni audio visual. Tahun ini mengambil tema Expanding Awareness.
Saya perlu penerjemah karya seni untuk memahami semua karya yang ditampilkan. Kebetulan ada salah satu anak saya yang menjadi mahasiswa ISI. Nizar Mohamad Afandi, namanya. Ia yang awal tahun lalu berkarya lewat ArtWeding di Surabaya.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, ArtJog digelar di Jogja Nasional Museum. Di samping SMAN 1 atau SMA Teladan. Yang banyak melahirkan tokoh lokal dan nasional. Susi Pudjiastuti, salah satunya.
Ketika tahun ini kembali digelar secara luring, perhatian saya tertuju kepada pengunjungnya. Dengan harga tiket masuk Rp75 ribu, pengunjung ArtJog semakin memuda. Banyak generasi Z berdatangan. Generasi pengguna Instagram dan TikTok.
Ini berbeda dengan 2019 lalu. Yang masih lebih dominan generasi berusia. Banyak ibu-ibu yang menjadi pengunjungnya. Yang datang untuk menikmati karya seni atau sekadar selfie dan wefie. Diantara banyak karya yang dianggap instagramble.
Ternyata tak hanya penonton yang memuda. Seniman yang terlibat juga demikian. "Makin ke sini makin banyak seniman muda yang ikut dalam ArtJog. Dan karyanya pun hebat-hebat," kata Budi Irawanto, pengamat seni kontemporer dari UGM.
Menurutnya, memudanya pengunjung ArtJog menunjukkan even kesenian itu berhasil membangun brand yang kuat. Sehingga ia telah menjadi bagian dari gaya hidup baru dari anak-anak muda. Mereka merasa keren dengan mengunjungi ArtJog.
ArtJog tahun ini juga istimewa. Karena mulai melibatkan seniman anak dan remaja. Juga menggandeng seniman difabel. Ada 14 seniman anak dan remaja yang lolos kurasi dari 70 peserta yang mendaftar dari seluruh Indonesia.
Tahun ini, ArtJog juga memilih para seniman muda lewat Youth Artist Award (YAA) 2022. Mereka yang terpilih adalah Dzikra Afifah (Bandung), Rizka Azizah Hayati (Yogyakarta), dan Timoteus Anggawan Kusno (Yogyakarta). Dzikra menampilkan karya figur tanah liat, Rizka memamerkan karya Megical Crocodile, dan Anggawan dengan Video Art-nya.
Bahwa ArtJog bisa menarik kalangan muda untuk menikmati seni juga terbukti lewat ArtWedding yang viral di media sosial. Peristiwa yang terjadi Januari 2022 tersebut menjadi viral karena menyebut ArtWedding di sebuah hotel di Surabaya itu nuansanya seperti ArtJog.
Tema Expanding Awareness yang diangkat tahun ini merupakan rangkaian Artjog arts-in-common yang diselenggarakan sejak 2019. Di dalamnya mengandung triplet tematik: Ruang, Waktu, dan Kesadaran. Kita digugah untuk mengembangkan kesadaran tentang sejarah, alam, dan manusia.
Memasuki arena ArtJog, kita disuguhi karya Christine Ay Tjoe, seniman asal Bandung. Ia mengangkat karya instalasi berjudul Personal Denominator. Ia ingin menggambarkan daya hidup manusia yang selalu ada. Ini karya hasil refleksi terhadap yang dia serap selama pandemi.
ArtJog menggunakan 3 lantai ruang pameran JNM. Tidak ada gradasi dari masing-masing karya yang dipajang di setiap ruang dan lantai. Semuanya di-blanded menjadi kesatuan dalam tema besar. Tidak ada kasta dari masing-masing ruang dan lantai.
Yang menarik, sebagian seniman yang memajang karyanya hampir semuanya berasal dari Jogja dan Bandung. Hanya ada satu seniman yang belajar seni di Surabaya tapi tinggal di Jogja ikut dalam even ini. Ia adalah Nunung WS. Ia menyajikan karya seni lukis acrylic di atas kanvas ukuran 235 x 330 centimeter: Dimensi Tenun.
Ini membuktikan bahwa kiblat seni kontemporer sekarang berada di dua kota tersebut. Beberapa tahun lalu Bandung adalah pusatnya. Tapi kini Jogja telah merangkak mengikutinya. Bahkan, bisa disebut telah menyalipnya lewat ArtJog. Ia telah berkembang dari yang dulu hanya kota seni klasik menjadi juga seni kontemporer.
Ada dua hal yang membuat ArtJog mampu menandai perkembangan dunia kreatif di Jogja. Pertama, konsistensi penyelenggaranya. Kedua ekosistem dan sarana pendukung lahirnya karya kreatif di Jogja.
Harus diakui, kemampuan bertahan ArtJog untuk terus berjalan lebih dari 10 tahun membuktikan konsistensi penyelenggaranya. Melalui Heri Pemad Art Management, pameran karya seni ini bisa bertahan dalam situasi apa pun. Disertai dengan kuratorial yang terjaga dari tahun ke tahun.
Ekosistem dunia kreatif di Jogja juga berhasil menelurkan para seniman yang terus bersaing dalam kreativitas. Mereka tidak pernah berhenti berkarya. Bahkan, belakangan para maestro berusaha mengatrol para seniman muda dalam berbagai bidang seni.
Sarana pendukung kesenian juga bertebaran. Jogja National Museum (JNM) misalnya juga berkembang menjadi lebih inklusif. Kini, di halaman belakang berdiri M Bloc JNM, tempat nongkrong hits bagi anak-anak muda di Jogja.
Tempat nongkrong dengan tema Art, Culture, and Entertaiment In a Historical Site, ini merupakan proyek Cipta Ruang (Place Making). Memanfaatkan bekas kampus ASRI, hasil kolaborasi antara M Bloc Group dan Jogja National Museum.
Belum lagi banyak galeri, gedung kesenian, dan tempat pameran yang memadai. Baik milik pemerintah maupun milik swasta alias seniman yang banyak bertebaran di Jogja. Mereka tak hanya bersaing membangun. Tapi juga mengisi dan menghidupkannya.
Para insan kreatif Jogja telah berhasil merespons segala bangunan dan venue yang ada di kota ini dengan ciamik. Geliat para seniman dan insan kreatif ini telah "memaksa" pemerintahnya untuk mendukungnya.
Dunia kreatif Jogja telah berhasil banyak hal yang menarik. Menjadikan kota ini makin menarik untuk dikunjungi. Bahkan menelurkan banyak tren yang dulu dikuasai Jakarta, Bandung, dan kota besar lain seperti Surabaya.
Kalau ArtJog bisa menggeser kiblat seni kontemporer ke Jogja, apa kira-kira yang bisa dimunculkan Surabaya? Kapan ArtBaya alias ArtSurabaya bisa lahir untuk mewadahi dunia kreatifnya? Ini perlu menjadi renungan bersama. (Arif Afandi)