ArtJog itu Keren, Mungkinkah Ada ArtBoyo?
Pameran seni sebulan penuh sedang berlangsung di Jogjakarta. ArtJog namanya. Inilan pameran seni instalasi yang sudah menjadi jujugan untuk dikunjungi setiap tahun.
Saya baru sekali menyaksikan. Itu pun setelah dirayu anak lanang ragil yang sedang ikut ke Jogja, mengantar kakaknya mulai kuliah di Institut Seni Indonesia.
Masak punya anak jadi mahasiswa "Kawah Condrodimuka-nya" para seniman kok nggak tertarik kesenian. Maka, malam itu pun saya siapkan waktu menikmati ArtJog 2019.
Bertempat di Jogja Nasional Museum, Yogyakarta, festival seni kontemporer ini berlangsung 25 Juli-25 Agustus 2019. Sebulan penuh. Bukan hanya seminggu dua minggu.
Ada 40 seniman ikut ambil bagian. Lima diantaranya menampilkan Special Project, karya instalasi yang digarap sangat serius dan ditampilkan secara serius pula. Lima karya ini menempati venue halaman dan lantai satu museum.
Saya yang sudah puluhan tahun tak pernah sobo alias berkunjung ke kawasan Komplek SMAN 1 Jogja ini dibuat kaget. Lokasi itu menjadi destinasi wisata kesenian yang ciamik. Semacam tempat pameran elit.
Begitu memasuki gerbang arena ArtJog 2019, kita sudah dibawa ke suasana seni kontemporer. Begitu masuk, kita dibawa ke jagad baru yang berbeda dengan sekitarnya. Berbagai karya dengan berbagai isu lingkungan.
Di Museum Nasional Jogja yang serba putih itu ada bangunan tambahan yang menjadi bagian dari instalasi. Di situ ditampilkan karya-karya special project. Dimulai dari karya Handiwirman Saputra.
Seniman ini membuat intalasi taman. Taman yang biasanya dibangun dengan nilai keindahan menjadi sesuatu yang menyeramkan. Berjudul Taman Organik oh Plastik. Dia tidak hanya menggunakan ruang atas tanah. Tapi juga menggalinya.
Disampingnya langsung bisa masuk ke bangunan instalasi bola dunia dari besi dengan ornamen dedaunan karya Teguh Ostenrik. Ia gabungkan dengan permainan gambar video yang menggambarkan kehidupan bawah laut yang terancam.
Instalasi bola dunia dengan ornamen dedaunan dari besi digabung dengan audio visual menjadi awal penjelajahan ArtJog yang mengesankan. Dari dua Special Project itu baru masuk ke gedung Museum Nasional Jogja berlantai tiga.
ArtJog 2019 mengambil tema lingkungan hidup. Empat puluh seniman mengeksplorasi imajinasinya dengan berbagai material dan teknologi yang beragam. Berada dalam area ArtJog saya tak merasa di Jogja. Seakan memasuki museum berkelas dunia.
ArtJog diprakarsai Heri Pemadi. Dia adalah seorang art dealer. "Dia mengawalinya dari jualan lukisan. Sempat dimodali kolektor Surabaya. Di awal ArtJog tidak ada peran pemerintah sama sekali," kata Bambang Paningron, penggiat seni Jogjakarta.
Seniman jebolan Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM ini bercerita hampir setiap tahun, penyelenggara ArtJog merugi. Rata-rata, agenda kesenian yang berlangsung selama sebulan penuh ini menghabiskan anggaran Rp 3 Miliar.
Dengan tiket masuk Rp 50 ribu, memang ArtJog bukan proyek kesenian yang ecek-ecek. Ia digarap serius dengan komitmen penuh penyelenggaranya. ArtJog yang banyak dikunjungi anak-anak muda ini menjadi ajang ekspresi seni tanpa batas.
Yang menarik adalah gambaran penontonnya. Masih banyak event kesenian yang hanya ditonton para seniman. ArtJog tidak. Selama 2 jam saya menyaksikan pengunjung berbagai ragam jenis berdatangan.
Mereka ada yang suka mengabadikan berbagai ragam karya seni sebagai latar belakang selfi dan wefi. Ada yang sepenuhnya menikmati. Apalagi banyak karya yang bersifat interaktif. Kesenian yang melibatkan penikmatnya untuk menjadi bagian karyanya. Banyak anak muda berseliweran.
Dengan biaya penyelenggaraan yang tak sedikit, memang dibutuhkan "kegilaan" penggagasnya. Hanya mereka yang berkomitmen terhadap karya seni yang tahan. Meski setelah sekian tahun, ArtJog bisa menarik sejumlah sponsor berkelas internasional.
"Ambien Jogja punya peran besar terhadap ArtJog. Dengan seniman-seniman pendukungnya. Apalagi Jogja kini dianggap sebagai Ibukota senirupa Asia," kata Bambang.
Ia menyadari bahwa event serupa agak susah dikembangkan di luar Jogja. ArtBali tak berjalan dengan baik. Apalagi di kota-kota lain yang tidak mempunyai ambien kesenian. Seperti Surabaya.
ArtJog memungkinkan seperti sekarang juga karena sarana gedung yang memadai. Museum Nasional Jogja layak menjadi ajang festival sekelas ArtJog. Ia bisa "dicipta" menjadi sebuah lingkungan baru sesuai dengan tema festival.
Dua jam menikmati karya-karya di ArtJog, imajinasi saya langsung le Surabaya. Mungkinkah kota Pahlawan menggelar even seni sekelas ini? Lantas siapa yang mungkin menggagas sekaligus mau mewujudkannya?
Dulu ada Cak Kadar yang punya komitmen tinggi tentang kesenian. Ia yang melahirkan Festival Seni Surabaya (FSS). Saya pernah berduet bersama M Anis menjadi penyelenggara. Menggali dana dan mewujudkan even itu. Saat saya masih bekerja di media terbesar di kota ini.
Cak Anis --demikian saya memanggilnya-- mengisi konten sekaligus menggalang para kuratornya. Saya yang menggalang dananya. Dua tahun berturut-turut FSS bisa berjalan dengan menghadirkan multi seni di Surabaya. Sempat menjadi oase di tengah hiruk pikuk industri dan perdagangan kota ini.
Sayang pada akhirnya FSS mati juga. Tak bisa berlanjut bersamaan dengan berakhirnya usia Cak Kadar. Tak ada yang melanjutkan. Kecuali Cak Anis yang berjibaku menggelar Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI) yang tahun ini mestinya berlangsung ke 12.
Sayang Cak Anis pun kini juga menghadapi ganjalan di sarana prasarana. Gedung yang biasa digunakan menggelar even itu melihat peristiwa kesenian seperti pameran bisnis biasa. Yang harus membayar dan diperlakukan nomor ke berapa.
Tahun ini, PSLI yang sudah menjadi agenda rutin terancam batal. Karena tak mendapat dukungan cukup dari pemerintah. Karena tidak ada komitmen menjadikan kesenian sebagai bagian penting dari pembangunan daerah. Kalah dengan pameran properti dan dagang.
ArtJog memang bisa terus berjalan karena keteguhan Heri Pemadi yang memang berjiwa seni dan bisnis. Ia telah berhasil menggalang dukungan para seniman setempat dan sarana venue kesenian yang memadai. Sekaligus mewujudkan even seni berkelas.
Rasanya butuh komitmen pemimpin daerah dalam menyiapkan gedung kesenian yang memadai, perlu "orang gila" yang tak lelah menggagas dan mewujudkan peristiwa seni dan kebudayaan, sekaligus ambien kesenian yang cukup di kota ini.
Juga perlu seniman yang terus-menerus tak lelah untuk berkreasi. Bukan hanya sibuk dengan proyek even yang sebetulnya cukup dilakukan oleh event organizer. Iklim kreatif di Surabaya memang masih perlu ditumbuhsuburkan sebelum kita punya event sekelas ArtJog.
Ayo Rek!