Arti Penting Bendungan Tugu Bagi Masyarakat Trenggalek
Kehadiran Bendungan Tugu sangat ditunggu-tunggu warga Trenggalek. Karena bendungan ini memiliki arti penting, terutama dalam kaitannya dengan produktivitas pertanian dan reduksi banjir.
Warga Trenggalek terutama warga Nglinggis dan warga Ngasinan berharap, kapan sawahnya bisa panen padi tiga kali dalam setahun. Selama ini lahan sawah di Ngasinan hanya mampu panen padi dua kali dalam setahun.
Bahkan di Nglinggis lahan yang mengandalkan hujan, hanya mampu panen padi satu kali dan palawija satu kali. Itu pun palawijanya seperti jagung kadang belum panen sudah keburu mati karena tidak ada air.
Seperti yang diungkapkan Tunggak, Ketua RT 07 Desa Nglinggis, Kecamatan Tugu bahwa selama satu tahun lahan pertanian di desanya hanya mampu panen dua kali yaitu padi dan palawija. Karena sistem irigasi lahan pertanian di Nglinggis yaitu tadah hujan.
"Lahan-lahan di desa kami kalau musim hujan baru tanam padi, kalau musim kemarau itu jarang ditanami. Karena tanaman akan mati. Makanya, sisa musim hujan itu kadang untuk tanam jagung. Itu pun kalau musim hujan tidak habis. Kalau sekarang musimnya hujannya gak bisa diprediksi, jadi ya petani hanya bisa panen sekali saja," katanya.
Lanjut Tunggak, karena hasil panen tidak cukup untuk makan selama musim kemarau, maka untuk menyambung hidup penduduk Desa Nglinggis terutama yang berada di tepi sungai Keser ini kebanyakan cari batu untuk dijual lagi.
"Namun semenjak ada pembangunan Bendungan Tugu ini, warga dilibatkan sebagai pekerja. Tapi ada juga yang berjualan makanan untuk kebutuhan para pekerja," katanya.
Bahkan, penghasilan warga saat ini juga meningkat drastis, karena dagangannya laris. Apalagi pemerintah juga membangun rest area di dekat bendungan yang dinamai Anjungan Cerdas.
"Warga juga ada yang tetap bertani tapi lokasinya pindah di bawah. Dan lumayan ada peningkatan, karena lahan yang dibeli sekarang bisa dua kali panen padi, karena pengairannya bagus. Tapi, yang bertahan seperti saya ini sekarang alih profesi jadi berdagang makanan," kata Suryatno, Ketua RT 8 Desa Nglinggis.
Keberadaan Bendungan Tugu sangat dibutuhkan masyarakat petani Trenggalek. Dari data BPS, ada 2.835 hektar sawah di Trenggalek panen dua kali dan 4.149 hektar panen sekali karena masih tadah hujan.
"Karena itu, diharapkan dengan adanya Bendungan Tugu produksi pertanian kita bisa bertambah tiga kali lipat dari sebelum ada bendungan. Biasanya tanah satu petak menghasilkan 16 karung tapi masih kotor. Kalau bersih paling banyak jadi 10 karung dan itu dimakan satu tahun," katanya.
Dengan adanya bendungan ini, kata Suryatno, panen menjadi tiga kali plus satu kali palawija. "Kalau panen tiga kali berarti kita sudah bisa nabung. Tidak usah cari buruhan lain atau kerjaan sambilan," katanya.
Ditambahkan Kepala SNVT Pembangunan Bendungan Balai Besar Wilayah Sungai Brantas(BBWS), Yogi Pandhu Satriyawan, manfaat Bendungan Tugu selain irigasi lahan pertanian juga pariwisata.
Selesainya Bendungan Tugu tentu akan menjadi destinasi wisata baru yang melengkapi destinasi wisata yang sudah ada. Masyarakat dapat menikmati suasana yang asri.
"Bahkan Bendungan Tugu dapat dikembangkan menjadi wisata mancing, ski air, dayung, serta kegiatan outbond. Perbukitan dan alam yang hijau nan indah yang mengitari bendungan dapat menunjang potensi wisata dan infrastruktur olahraga air," katanya.
Sehingga, katanya, masyarakat sekitar bendungan dapat memperoleh penghasilan baru dengan menyediakan berbagai hal seperti penginapan hingga wisata kuliner yang mengangkat khas Trenggalek yakni sayur lodho ayam kampung.
Lalu, manfaat lain dari Bendungan Tugu yang tidak kalah pentingnya adalah mereduksi banjir. Manfaat ini selalu diimpikan warga Trenggalek supaya bebas banjir yang datang setiap musim hujan.
Kata PPK Bendungan Tugu, Yudha Tantra Ahmadi, dari sisi perhitungan teknis Bendungan Tugu mampu mereduksi debit banjir sebesar 34,87 meter kubik/detik atau 13,80 persen untuk jangka 25 tahun. Sementara untuk jangka 100 tahun, Bendungan Tugu mampu mereduksi banjir 42,47 meter kubik/detik atau 11,57 persen.
"Terutama yang paling kena dampak dari Bendungan Tugu adalah daerah Ngasinan. Karena selama ini daerah Ngasinan selalu langganan banjir dari Sungai Keser," katanya.
Diakui Bupati Trenggalek, Mochammad Nur Arifin, sejak ada Bendungan Tugu ini, musim hujan tahun 2021 Trenggalek tidak terjadi banjir. Bahkan genangan pun tidak terjadi. "Biasanya, hujan deras sejam saja Kota Trenggalek satu lutut tinggi genangan air. Paling besar memang air datang dari Sungai Keser ini," katanya.
Potensi lain selain irigasi, mereduksi banjir, dan pariwisata dari Bendungan Tugu adalah air baku, tenaga listrik, dan konservasi DAS. Untuk air baku, Bendungan Tugu mempunyai tampungan sebesar 9,8 juta meter kubik air menyediakan pasokan air baku sebesar 13 liter per detik.
"Bendungan Tugu akan menjadi solusi terhadap peningkatan kebutuhan air baku baik domestik maupun industri. PDAM Trenggalek juga memiliki sumber air baku baru untuk bisa didistribusikan ke masyarakat," katanya.
Sementara, potensi tenaga listrik, kata Yudha, kehadiran Bendungan Tugu ini akan memperkuat pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro dengan 400 kw.
Kendala Teknis hingga Mistis Hambat Pembangunan Bendungan Tugu
Pembangunan bendungan yang terletak di Jalan Nasional Trenggalek-Ponorogo ini butuh waktu lima tahun lebih dan biaya Rp1,8 triliun. Bendungan ini memiliki karakteristik berbeda dibanding bendungan-bendungan lain di Indonesaia, sehingga proses pembangunannya banyak kendala yang dihadapi, baik kendala teknis maun non teknis.
Kepala SNVT Pembangunan Bendungan Balai Besar Wilayah Sungai Brantas(BBWS), Yogi Pandhu Satriyawan mengatakan, pengalaman membangun bendungan di atas lahan 187,81 hektar ini secara teknis sama dengan bendungan urugan lainnya, hanya saja yang berbeda adalah masalah sosial dan pendekatannya.
"Untuk masyarakat Jawa Tengah misalnya, karena saya pernah pengalaman menjadi PPK di BBWS Bengawan Solo, pendekatannya dapat melalui pengajian dan syukuran. Sedang di sini pendekatannya lebih personal seperti ngopi bareng," katanya, saat diwawancarai Ngopibareng.id di lokasi Bendungan Tugu, Rabu, 8 Desember 2021.
Hal yang sama juga diungkapkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bendungan III BBWS Brantas, Yudha Tantra Ahmadi bahwa tantangan yang paling besar dari proses pembangunan bendungan yang memiliki kapasitas sekitar 9,3 juta meter kubik ini pada pembebasan lahan. Bendungan yang dibangun di atas lahan 82,19 ha hutan lindung milik Perhutani, 9 ha hutan milik Pemkab Ponorogo, dan 9 ha milik Pemkab Trenggalek ini dimulai pada 2014 dan berakhir pada 2017.
Begitu juga dengan lahan milik masyarakat yang luasnya 70 ha dan 9 ha milik kas desa pembebasannya yang butuh waktu lama. Bahkan hingga saat ini masih ada lima bidang tanah yang tersisa. Namun proses pembangunan yang memiliki tinggi 81 meter ini tetap dilaksanakan, karena lima lahan itu berada di luar konstruksi.
"Meski di luar konstruksi, lahan tersebut harus tetap dibebaskan karena berada di tebing yang curam dan akan diperuntukan sebagai area hijau bendungan guna mengurangi risiko tanah longsor dan erosi di bendungan itu," katanya.
Kata Yudha, pada awal pembangunan bendungan masyarakat sekitar banyak yang menolak. Mereka beralasan, dengan dibangunnya bendungan di aliran sungai Keser ini akan menghilangkan mata pencaharian yang sebagian besar mencari batu sungai untuk koral.
"Pernah terjadi jalur material sirtu yang melewati jalan Desa Nglinggis diblokir warga. Namun, melalui proses pendekatan masyarakat dengan strategi pelibatan dalam proses pembangunan berhasil meredakan massa. Bahkan, pada perjalanan pembangunan bendungan ini masyarakat banyak diuntungkan. Mereka yang semula mencari batu, sekarang menjadi pedagang. Banyak warga yang berjualan makanan untuk para pekerja bendungan," katanya.
Selain itu, kata Yudha, hal yang istimewa dari pembangunan bendungan yang memiliki kedalaman pondasi 27,85 m dan tinggi dari dasar sungai 81 m justru berada di secondpile dalam pondasi tubuh bendungan. Secondpile bendungan yang memiliki tinggi genangan mencapai 89,85 meter dan panjang 475 meter ini menggunakan dua jalur, padahal umumnya bendungan menggunakan satu jalur.
Dalam perencanaan bendungan yang dibuat tahun 1984, pondasi tubuh bendungan menggunakan diafragma wall yang pada akhirnya diterjemahkan oleh konsultan supervise pada awal desain menggunakan diafragma dengan dua jalur, grouting dan beton plastis.
"Penggunaan beton plastis yang merupakan beton dengan campuran betonite sehingga beton lentur dan tidak mengeras. Hal ini karena lapisan tanah di bawah pondasi bendungan merupakan lapisan kolovial (tanah rawan terhadap rembesan air) yang justru sangat dihindari dalam pembangunan bendungan," katanya.
Lanjut Yudha, ada lagi hal non teknis pengalaman selama pembangunan bendungan yang mampu memenuhi kebutuhan irigasi lahan seluas 1.200 hektar ini, yakni hal-hal berbau mistis. Hal mistis ini dialami para pekerja mulai konsep pembangunan struktur hingga pengambilan sirtu untuk urug bangunan utama bendungan.
"Di awal pembangunan maindam (konstruksi utama penahan laju air sungai) ternyata di tengah-tengah ada makam yang dikeramatkan warga sekitar atau punden," kata Yudha.
Banyak hal-hal mistis yang dialami para pekerja. Mulai peristiwa sungai tiba-tiba banjir besar hingga harus menenggelamkan banyak alat berat. Lalu, bom yang dipakai untuk ngebom tebing tiba-tiba juga tidak meledak, dan lain sebagainya.
"Mau tak mau kita harus merelokasi makam kuno dengan panjang 4 meter itu. Kita telusuri ahli warisnya yang ternyata ahli warisnya berada di Ponorogo," kata Yudha.
Kemudian pada proses relokasi, lanjut Yudha pihaknya mendatangkan ulama terkenal dari Tulungagung, Ponorogo dan Trenggalek. "Ada syarat-syarat yang harus untuk memindahkan punden tersebut, antara lain tumpeng kepala kambing dengan jumlah 9 kepala. Setelah persyaratan dipenuhi, akhirnya makam kuno itu dipindahkan tidak jauh dari bendungan," katanya.
Baru setelah direlokasi, semua pekerjaan berjalan lancar hingga saat ini. "Sampai sekarang tidak pernah ada masalah. Bahkan warga sekitar pun sudah mulai sadar dan mau menerima kami," katanya.