Art, Love and Journey (Bagian 1)
Konon Februari telah dinobatkan menjadi Bulan Cinta. Lepas dari pro dan kontra. Karena di 14 Februari, jagad raya merayakan Valentine Day, Bulan Kasih Sayang atau Bulan Cinta. Barangkali setiap bulan memang diperlukan moment yang membuat gairah di setiap lini. Terutama di lini bisnis. Hampir semua pelaku bisnis akan memanfaatkan moment sebaik-semaksimal mungkin untuk menangguk fulus. Sentuh saja hati dan jiwa rapuh dengan Bunga Mawar (Meski imitasi) atau sekotak Coklat. Persembahan sederhana yang mampu membuat senyum surprise merekah. Ada yang tidak suka diberi coklat? Dia termasuk orang-orang merugi. Siapa tahu si dia membungkus berlian dengan coklat...amboy manisnya.
Bunga Mawar
Coklat
Berlian
Ah itu sudah sangat mainstream. Satu atau dua kali dalam hidup, perlu sangat bertindak di luar arus besar. Tidak wajib kok mengikuti trend. Saya kasih tips yaa.
Pergilah ke bagian Utara Kota Surabaya. Ada sebuah Museum kepunyaan Keluarga Taipan pemilik pabrik kretek kenamaan. Museum House of Sampoerna (HOS) yang menempati bangunan peninggalan kolonial yang terawat apik dan sejuk pastinya. Ikutilah ART TOUR yang sedang digelar di sana: pameran Art, Love and Journey. Pameran dihelat hingga ujung bulan ini. Jadi masih ada waktu. Sempatkanlah. Jadilah bagian di luar arus. Itu menyenangkan kok.
Bila mengikuti tour dengan seksama, akan terbitlah rasa iri yang sebenarnya.
Iri?
Bagaimana bisa?
Pohon Layang-Layang
Memasuki pintu kayu kembar berkaca patri, pengunjung pameran akan dipersilahkan menikmati keteduhan di bagian Foyer, ruang antar pintu masuk dan ruang berikutnya. Tidak perlu terburu-buru melangkah. Amatlah sebuah tulisan di secarik kain eco print.
Kain eco print itu hasil karya Sang Istri. Dan Tulisan di atas nya dikerjakan Sang Suami.
Lalu Duduklah di kursi yang disediakan. Foyer ini cukup instragamable. Apalagi bila datang berdua kekasih.
Lalu lambungkanlah segala tanda tanya, untuk apa pula puluhan layang-layang dipajang hampir memenuhi plafon. Pada dinding sebelah kiri dekat jendela, terbetiklah Maklumat penuh bahasa Sastra tentang pameran itu. Duduk lah dengan tenang. Hela nafas dalam-dalam. Nikmati kesejukan. Karena Museum ini cukup bergensi. Ruang-ruangnya berpendingin udara. Jadi luoa bahwa ini di Surabaya yang panas. Dan alunan musik, ada KICAUAN burung yang mendukung tema pameran. Sambil melayangkan pandang. Di samping kanan jendela, ada lukisan yang nampak sederhana. Itu seperti hiasan dinding. Terlalu sederhana untuk sebuah pameran seni. Sebentar jangan buru-buru berasumsi. Nikmati saja dulu.
Lalu di dinding sebelah kiri arah tempat duduk, tepat di dekat pintu masuk tadi, ada deretan lukisan degan instalasi kayu. Ada tulisan yang tampak tidak jelas. Jadi itu lukisan atau instalasi? Tidak jelas!. "Hidup akan jadi kaku sekali bila semua harus diperjelas. Biarlah ada juga yang tidak jelas alias misterius. Karena di situlah letak keindahan".
Kesan pertama muncul. Di tangan Seniman, bahkan kayu yang sudah dimakan rayap pun bisa jadi karya seni. Itulah bedanya, Seniman dan Mahluk Awam seperti kita. Bagi kita, kayu seperti itu akan berakhir di tempat sampah. Tidak ada gunanya lagi.
Kesan kedua barulah disadari. Sang Seniman memanfaatkan barang-barang "sampah" menjadi naik kelas terpajang di Museum bergengsi sekelas HOS. Karena tidak sembarangan yang bisa pameran di sana. Memanfaatkan segala sesuatu bahkan sampah sekalipun menjadi berharga dan bernilai Seni. Mewujudkan imajinasi dengan cara yang sustainable.
Duduklah dengan khusyuk. Kita akan merasai keajaiban. Ternyata, puluhan layang-layang itu mewakili dedaunan. Tengoklah ke tembok di samping kain eco print. Ada batang kayu selayaknya batang pohon sebenarnya. Ternyata kita tengah dibawa duduk berteduh di kerimbunan pepohonan. Pohon Layang-Layang namanya. Dengan kicau burung dan alunan musik lembut yang sengaja dipasang. Menghantarkan peserta tour Menikmati suguhan penuh kejutan. Hey, coretan di layang-layang itu adalah buah tangan si empu pameran, Bu De Wina Bojonegoro. Novelist kenamaan JAWA Timur, penerima Anugerah Sastra itu, dipaksa menggambar juga, "dia suka sekali menggambar Pengantin".
Tiba-tiba perutku menghangat. Ketika si empu bercerita tentang lukisan sederhana yang tadi kuceritakan di awal tulisan yang hanya seperti hiasan dinding belaka, "ini lukisan saya pertama, sewaktu Pak Dhe mengajari melukis. Waktu itu sebenarnya, pak Dhe sedang pe de ka te, a.k.a pendekatan, lagi naksir saya...."...Oh
Oh jadi ini tentang Cinta?
Cinta
Love
Atau apapun itu
Ambil nafas
Ambil tissue
Entah mengapa ada gerimis di mataku bahkan ketika berusaha menuliskannya.
Anda masih ingat kenangan saat pertama ditaksir kekasih?
Lukisan daun sederhana itu ternyata awal dari sebuah Perjalanan penuh Cinta
So sweet bukan.
Bu De Wina yang melukis. diajari oleh Pak De Yoes Wibowo. Bayangkanlah moment itu. Rasakanlah ketika energi cinta demikian besar sehingga mampu meruntuhkan sekat rasa takut atau malu. Menumbuhkan kecerdasan memanfaatkan kepiawaian diri, dengan mengajari melukis si Cinta. Kemudian Membingkai berjuta kenangan itu. Agar dunia tahu, bukti cinta itu. Tak semewah Taj Mahal. Hanya Bingkai dan gambar sederhana. Tetapi ...Tidak ada yang mampu melukiskan Cinta pemberian Tuhan yang sangat tidak sederhana itu. Manusia bisa bahagia, tertawa, gembira karena Cinta. Pun bisa terjangkit luka, sedih, duka tak terkira karena Cinta. Tetapi, pasangan Seniman Sastra dan Perupa ini, rupanya dianugerahi keberuntungan lain, mampu mewujudkan CINTA mereka dalam moment langka ini. Mewujudkan gagasan terpendam dalam visualisasi yang tak saja indah tapi mengharukan.
Bingkai Cinta itu kemudian mengajak melangkah ke ruang penuh cinta berikutnya
Mataku bahkan masih gerimis. Tak kalah deras dengan hujan hari ini. Hati ini pun penuh rasa IRI.
Tulisan pertama dari 3 tulisan.
Kutisari, 12 Februari 2020
Penulis: Tjahjani Retno Wilis/Wilis Arif Afandi