Aroma Pilpres 2024 Dalam Pilpres 2019
Oleh: Erros Djarot
Ditunjuknya nama KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres oleh Jokowi, merupakan salah satu kejutan besar yang terjadi pada Pilpres 2019. Karena beberapa hari sebelumnya, Jokowi selalu menghindar ketika didesak para wartawan; siapakah pilihan cawapresnya?
Minggu terakhir jelang pengumuman, muncul tiga nama yang menguat; Moeldoko, Muhaimin dan Mahfud MD. Dan pada detik-detik sebelum pengumuman dilakukan nama Mahfud MD begitu santer muncul ke permukaan. Bahkan, konon Mahfud sudah menerima pengarahan termasuk baju apa yang harus dikenakannya. Dipesankan kepada Mahfud agar tetap berada di sekitar tempat lokasi dimana pengumuman cawapres akan berlangsung. Mahfud pun sudah bersiap dan setia menanti sebagaimana instruksi yang diterimanya.
Kejutan pun terjadi. Nama Mahfud MD lenyap seketika dalam sekejap. Meluncur dari mulut Jokowi nama KH Ma’ruf Amin yang bakal mendampingnya sebagai cawapres. Bagi awam peristiwa ini mengundang multi tafsir. Tapi dari berbagai bahasan para pemerhati politik, yang paling menonjol adalah terciumnya tebaran aroma Pilpres 2024 dalam pemilihan Cawapres 2019.
Kalau dalam Pilpres 2019, heboh pemilihan presiden bergeser menjadi pemilihan cawapres; maka dalam pemilihan Cawapres 2019 aroma Pilpres 2024 sangat terasa dan agaknya cukup mempengaruhi keputusan akan pilihannya. Korban dari kubu Jokowi adalah Mahfud MD. Sementara dari sisi Prabowo, sederet kader PKS dan PAN.
Mengapa Mahfud jadi terpental? Jawabannya sangat mudah, karena Mahfud merupakan ancaman bagi para kandidat calon presiden yang akan ditampilkan oleh masing-masing partai pengusung pada 2024 kelak. Karena bila Mahfud yang dipilih, menuju RI-1 dalam Pemilu Pilpres 2024, peluang baginya menjadi begitu besar.
Hal inilah yang tidak diinginkan terjadi oleh para pimpinan partai pengusung Jokowi. Dengan asumsi, mempersiapkan diri sebagai RI-1 dari bangku RI-2 relatif lebih mudah dan lebih efektif dilakukan karena kedudukannya yang sangat strategis. Maka kursi RI-2 lebih baik diisi oleh seorang Ma’ruf Amin yang pada Pilpres 2024 sudah terlalu tua dikarenakan fisiknya yang tidak segagah dan se-fit seorang Mahathir.
Sementara alasan meredam konflik horizontal antar warga bangsa karena isu agama, menjadi alasan yang sangat manis dan memenuhi konsumsi jiwa masyarakat umum.
Hal serupa terjadi juga dalam kubu Prabowo. Kursi no-2 di kubu ini, tidak akan begitu saja dilepas dengan mudah, dengan pertimbangan yang sama seperti yang terjadi pada Mahfud. Mengapa AHY tidak dibiarkan tampil mendominasi arena politik di bawah dirigen politik SBY? Karena bila AHY yang maju, merupakan ancaman bagi jago-jago PKS dan PAN bagi calon-calon mereka pada Pilpres 2024. Pertimbangan pasangan Militer-Militer bisa menjadi salah satu alasan penolakan yang diterima logika politik masyarakat umum. Dipilihnya Sandi tentunya dengan pertimbangan Sandi belum merupakan ancaman yang berarti. Disamping tentunya punya pundi-pundi dana yang memadai. Yang menarik adalah alasan Prabowo menunjuk Sandi karena tidak mau melihat barisan umat terpecah menjadi dua, bila Prabowo menunjuk wakil presidennya yang juga seorang ulama besar. Bagi awam, tersingkirnya nama Mahfud MD sering dikaitkan dengan upaya meredam politisasi agama. Pemikiran sederhananya, menutup kemungkinan barisan 212 melontarkan isu-isu yang mendeskriditkan Jokowi sebagai anti Islam. Sehingga kehadiran Ma’ruf Amin dianggap sebagai figur penyejuk suasana. Namun bagi yang memaknai peristiwa ini lebih jauh, justru politisasi agama telah terjadi. Hal ini ditengarai oleh seorang Kiai yang sangat kritis, yakni, KH Mustofa Bisri. Segera ia meminta agar KH Ma’ruf Amin meletakkan jabatannya sebagai Ketua Dewan Syuriah NU. Bahkan berlanjut dengan peletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. Tindakan KH Mustofa Bisri bertujuan agar NU sebagai organisasi keagamaan, jangan terseret dalam kancah politik praktis. Agar NU sebagai organisasi penyuluh dan penerang bagi umat dalam beragama, tidak dialih fungsikan sebagai lembaga politik yang terlibat dalam hal pemilihan capres dan cawapres yang berkaitan dengan deal-deal politik di wilayah politik praktis. Dengan langkah dan sikap yang diambil oleh KH Mustofa Bisri dan realita politik yang menimpa diri Mahfud MD, semakin memperjelas bahwa masalah kenegarawanan dari para politisi kita masih dalam taraf yang masih di bawah standar. Kebanyakan yang ada dan tersedia hanya sebatas politisi yang berorientasi pendek: apa yang aku dan kelompok-partaiku dapat! Masih jauh dari pemikiran memikirkan kejayaan Indonesia sebagai bangsa dan negara. Tapi, itulah kita hari ini. Jalan panjang masih jauh membentang. Revolusi belum selesai!
*Dikutip sepenuhnya dari watyutink.com.