Arif dan Dunia Ciptaannya
Oleh: Ishaq Zubaedi Raqib
KETIKA Imam Anshori Saleh masuk jajaran A'wan Syuriyah Nahdlatul Ulama (NU), saya membayangkan nama Arif Afandi menyusul. Mas Imam senior saya di SKH Kedaulatan Rakyat dan Mas Arif "senior" saya di lapangan. Dua-duanya wartawan dengan reputasi tinggi. Lalu dua sosok lain berkelebat di kepala saya. Mahbub Djunaidi dan Said Budairy. Dua-duanya wartawan berkelas. Pada masanya, mereka pendekar pilih tanding. Keempatnya anak kandung NU.
Untuk menjelaskan sosok Mas Arif --begitu sejak puluhan tahun silam saya menyapanya, saya hanya butuh seperangkat wasilah. Dan wasilah yang paling mungkin dapat bekerja dengan presisi, adalah NU. Lewat profesi dan akses di dunia pers, Mahbub Djunaidi dan Said Budairy dapat memberi "banyak" pada NU. Sebaliknya, NU memiliki kanal besar lewat kedua wartawan kawakan. Lewat tangan kedua eks punggawa PWI ini, sikap NU lebih mudah diketahui publik.
*****
Wasilah ini sangat memudahkan saya menyelesaikan bacaan buku Jalan Melingkar Profesional Santri, 2021, PT Generasi Baru Digital (ngopibareng.id), Surabaya. Mas Arif bisa dibaca dengan banyak perspektif, tapi menggunakan NU akan jauh lebih tremendum. Lebih berwarna. Lebih melingkar. Tidak paralel. Judul buku ini saja sudah NU "banget". Selain ada kata "santri", ada hal lain yang "sangat" NU, yakni melingkar. Itu khas NU. Spesifik.
Melingkar adalah terjemahan bebas dari kaidah fiqh yang berbunyi "maa laa yudroku kulluhu laa yutroku kulluhu -- Apa yang tidak bisa digapai semua, tidak (boleh) ditinggalkan semuanya." Saat menjadi nakhoda NU, Gus Dur sering menggunakan pendekatan ini. Semua orang tahu Pak Harto tak menyukainya, tapi Gus Dur enteng saja, lenggang kangkung menggandeng Mbak Tutup ke banyak pesantren sebebas ia runtang runtung dengan Jenderal Benny Moerdani.
Seperti Gus Dur, bagi Mas Arif, juga tidak ada jalan buntu. Tidak ada tali yang terputus. Ia hanya melingkar. Melingkar itu menerbitkan harapan. Bagi Mas Arif yang santri, hidup harus dimaknai sebagai pilihan-pilihan. Hidup juga "in between." Hidup bisa di posisi "manzilatun baynal manzilatayni." Hidup tidak hitam putih. Hidup juga menyisakan nuansa abu-abu. The grey area. Locus-locus di mana semua kemungkinan diproduksi.
Persis, pelajaran dasar Aqidatul Awam anak-anak NU kelas ibtidaiyah. Di mana ada sifat wajib dan "muhal", selalu menyediakan sifat "fi'lu mumkinin aw tarkuhu" alias semua kemungkinan bisa saja terjadi. Istilah itu yang digunakan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf saat memberi sambutan di acara pelantikan PBNU 2022-2027 di hadapan Presiden Jokowi di Balikpapan, Kalimantan Timur. Bedanya, Gus Yahya menggunakan diktum "out of the box". Alias figur beyond the textbook.
Dan, seperti kebanyakan orang semodel dengan dia, termasuk tentu saja Gus Yahya, Mas Arif adalah termasuk dari sedikit orang yang bergerak di luar kotak. Kampiun komunitas ini adalah Jokowi. Presiden yang sering dipersepsi lewat sekumpulan teori sementara dia sudah melompat ke sana ke mari. Baginya, sebelum sesuatu menjadi realitas, selalu terbuka ruang negosiasi. Teori tempat berpijak. Melompat adalah terjemahan dari pijakan demi pijakan.
Persis ketika Mas Arif menego ibunya, saat ia memilih pindah ke Yogyakarta dan meninggalkan Malang. Untuk saat itu, alasan tak ada potongan jadi guru, sungguh sebuah lompatan. Bahkan melompati sudut pandang seorang ibu. Ia sudah menghitung. Semua resiko menjadi konsekuensi dari pilihannya yang out of the box itu. Sebab, semua orang tahu, tetangganya tahu, guru-gurunya juga mendukung bahwa menjadi guru adalah pilihan logis.
*****
Dan benar. Hidup di Yogya lebih berwarna. Sangat berbeda dengan Malang, tetangga kampung Mas Arif. Semakin berwarna, semakin banyak pilihan. Kian beragam, kian tersedia pilihan dan jalan. Baginya ini sebuah challange. Tantangan. Bahkan, untuk hal-hal tertentu ia sengaja mendisain tantangan agar marasa dirinya tertantang. Pada tahap itu, ia merasa telah menemukan dunianya. Dunia yang, secara artifisial, ia buat sendiri untuk memenuhi hasrat diri.
Lewat hasratnya itu, ia masuk ke banyak komunitas, khususnya komunitas image, imagine dan imagination. Image bermakna gambar. Imagine artinya membayangkan gambar. Dan Imagination : adalah daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambar (lukisan, karangan dan sebagainya) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman. Semua itu dia simpulkan dalam satu locus : dunia jurnalistik. Dari dunia ini, Mas Arif menggambar masa depannya. Jadilah dia wartawan.
Dari sini dia berangkat. Berangkat ke banyak tempat. Berangkat ke banyak dunia. Sudah banyak belahan dunia dia singgahi. Sudah banyak forum dia hadiri. Dari dalam hingga ke luar negeri. Lewat profesinya sebagai jurnalis, ia mengenal dan dikenal banyak orang. Lewat profesi ini dia dekat Umar Kayam, Gus Mus, Emha Ainun Nadjib, Erros Djarot, Gus Dur. Dan, tentu saja tokoh-tokoh berkelas lain. Posisi istimewa itu memberi dia ruang menego nasibnya.
Hingga akhirnya, dipercaya Dahlan Iskan untuk memimpin Jawa Pos. Sebuah imperium koran di Surabaya. Menguasai Indonesia timur. Dan dalam sekejab, mulai merambah ibukota. Mas Arif senang luar biasa, koran daerah, tapi bisa mengimfiltrasi Jakarta, kekuasaan HU Kompas. Namanya mulai dikenal di fora nasional. Ia menginisiasi sejumlah agenda dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang sudah dia "ciptakan" sejak masih jadi penguasa Yogyakarta.
Ia dekat dengan banyak tokoh berpengaruh dan banyak dari mereka yang senang hati bisa dekat dengannya. Sekali lagi, ia melakulan image, imagine dan imagination. Ia harus melompat. Keluar dari zona nyaman sebagai wartawan. Keluar dari kotak. Dan, dengan jaringan yang sudah dia bangun, hubungannya dengan Megawati Soekarnoptri, SB Yudhoyono, dan tokoh berkaliber lainnya, Mas Arif sukses menjadi Wakil Walikota Surabaya.
Saat dunia pendidikan dan dunia kerja mendewakan ijazah dan SK (Surat Keputusan), dia melakukan ini semua tanpa itu. Dia bahkan memulainya sejak dua dekade silam. Saat dua puluh tahun kemudian dunia mulai mengenal cashless, Mas Arif sudah membiasakan dengan ijazah-less dan SK-less. Tanyakan padanya soal ijazah saat lulus UGM, dia akan tersenyum. ''Ojo ditiru!,'' bisiknya. Dia bukan type mahasiswa yang tekun hingga butuh bertahun-tahun untuk menyelesaikan satu strata.
Dia juga tidak akan tahu di mana SK pengangkatan dan pemberhentiannya sebagai Wakil Walikota dan Pemimpin Redaksi Jawa Pos. Atau beleid untuk kebutuhan "freies ermessen" dalam jabatan-jabatan strategis lain di sejumlah BUMD dan BUMN. Konon, dia satu-satunya pemred surat kabar tanpa mengantongi kartu pers PWI. Gila!
*****
Kalau berani membayangkan dia duduk di struktur NU, itu tak lebih dari nostalgia saya dengan buku-buku terkait sosok-sosok besar yang menyertai perjalanan NU sebagai jam'iyah dan jamaah. Terlebih di era Gus Yahya dengan visi besarnya ; membangun peradaban dunia. Dan, jalan paling mungkin untuk menduniakan visi tersebut, salah satunya lewat anak kandung NU yang sarat pengalamam di dunia jurnalistik. Semoga. (*)
Judul Buku : Jalan Melingkar Profesional Santri
Penulis : Arif Afandi
Halaman : 276
Penerbit : PT Generasi Baru Digital (ngopibareng.id), Surabaya
Cetakan Pertama : 2021
*) Ishaq Zubaedi Raqib adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta. Tulisan ini juga telah di rubrik Resensi Buku Detik.com.
Advertisement