Aries Margono yang Kian Sabar dan Sadar
Oleh Hamid Basyaib
Di tengah masa aktifnya sebagai redaktur Muhibbah, majalah mahasiswa UII yang berperilaku sama dengan majalah berita umum, Aries Margono merangkap menjadi koresponden majalah Tempo untuk Jogja. Karena itu pada awal periode kedua masa aktifnya — satu periode adalah 18 bulan— ia mengundurkan diri. Kesibukan di Tempo, katanya, semakin tinggi. Ia tak mungkin merangkapnya dengan kerja di majalah kampus. Dan ia harus segera menamatkan kuliahnya di fakultas hukum.
Tapi saya beruntung sempat tiga bulan bekerja dengannya; menjadi redaktur junior di desk nasional yang dipegangnya. Sebelum ia keluar dari lingkungan aktifitas pers mahasiswa, ia memberi saya fotokopian buku “Misalkan Anda Wartawan Tempo”, sebuah karya saduran untuk kalangan sendiri, yang sangat baik.
Penyajian gamblang buku panduan itu, disertai contoh-contoh yang kaya, membuat saya benar-benar mengerti apa itu feature news dan bagaimana membuatnya. Aries mungkin tak pernah tahu bahwa buku pemberiannya membuat saya percaya-diri dalam menulis; membuat saya rajin berlatih karena mendapat panduan yang sangat efektif.
Sebagai remaja yang baru beberapa bulan menjadi mahasiswa, saya cukup gugup harus memegang satu desk bersama mahasiswa tahun terakhir dan wartawan profesional di sebuah majalah berita terbesar dan paling bergengsi saat itu. Tapi saya tak pernah merasa terintimidasi karena sikapnya sebagai senior benar-benar membuat saya nyaman.
Ia sama sekali tidak menujukkan kompleks senioritas. Ia tak merasa lebih pintar dan lebih berpengalaman dibanding kolega juniornya. Saya rasa saya selalu gagal meniru sikapnya ini, sebagaimana saya gagal mencapai tingkat kebaikan hati setinggi dia, yang justeru semakin menonjol seiring pertambahan usianya.
Ia kemudian menjadi wartawan penuh Tempo di Jakarta. Ketika majalah itu dibredel (1994), ia dan beberapa kawan memilih mendirikan Gatra, yang dimodali taipan Bob Hasan. Ia lalu pindah ke TVOne, bergabung dengan seniornya semasa di Tempo, Karni Ilyas. Menjelang pensiun, ia membantu kerja-kerja profesional Moh. Mahfud MD, juniornya di UII dan kolega sekantor ketika Mahfud menjadi pemimpin umum Muhibbah. Terakhir ia menjadi staf khusus di Kementerian Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan.
Meski jarang berjumpa setelah kami sama-sama tinggal di Jakarta, rasanya kami selalu tahu apa yang sedang dikerjakan oleh masing-masing dalam berbagai kapasitas. Setidaknya saya selalu tahu apa kesibukan yang sedang dikerjakannya, meski belum tentu sebaliknya. Dalam kapasitas apapun, ia selalu peduli dan menunjukkan minat pada aneka kegiatan ikatan alumni, tak canggung bergaul dengan para junior yang jauh lebih muda.
Dan dalam semua kegiatan itu, dalam semua posisi profesional yang didudukinya, ia justeru terlihat semakin rendah-hati. Ia makin sabar, dan tampak makin sadar tentang kompleksitas aneka masalah besar-kecil, dan karenanya kian berhati-hati dalam menilai sesuatu — kebijakan negara, pilihan sikap kawan-kawan, perubahan-perubahan di tingkat global.
Ia selalu mengutamakan pertemanan. Apapun jabatan dan pilihan sikap seorang teman, ia selalu pertama-tama melihat orang itu sebagai kawan pribadi, sebagai senior atau junior di kampus. Ia ikut gembira, bukan iri, pada kawan yang karirnya meningkat tinggi di berbagai bidang. Dan ia tak “silau” pada sukses-sukses semacam itu, sebagaimana ia tak memicingkan mata kepada kawan-kawan yang nasibnya berbeda.
Teman adalah teman. Semua sama: wajib dihargai. Proporsi penghargaan tidak perlu dikaitkan dengan karir, kekayaan ataupun posisi mereka di pemerintahan.
Saya merasa terlalu sedikit belajar hidup dari Mas Aries ketika siang ini mendengar kabar kepergiannya, setelah sejak seminggu lalu ia tak sadarkan diri. Ia lahir di Kebumen pada 1956, berakhir di Serpong, 10 Juli 2021.
Aries Margono hampir tak pernah menunjukkan wajah murung, cemas atau kesal. Saat ini pun saya masih melihat senyumnya. Juga sinar matanya yang sabar dan penuh perhatian setiap menghadapi lawan bicara.***