Arief Budiman, Pelopor Aksi Golput Meninggal Dunia
Innalillahi wa innalillahi rajiun. Berita duka bagi kalangan intelektual Indonesia, dengan meninggalnya Prof Dr. Arief Budiman. Sosiolog dan kritikus yang disegani di masa Orde Baru ini, mengembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Ken Saras, Salatiga, Jawa Tengah, pada Kamis, 23 April 2020 siang.
Arief Budiman yang sebelum masuk Islam dikenal sebagai Soe Hok Djin, adalah kakak kandung intelektual legendaris Indonesia, Soe Hok Gie.
"Ya, Dr Arief Budiman baru saja meninggal dunia di Salatiga. May he rest in perpetual Peace," tulis Daniel Dhakidae, Pemimpin Redaksi Majalah Prisma dalam pesan di grup WhatsApp.
"Rest in peace Mas Arief Budiman. Semoga memperoleh kedamaian disisiNya dalam Kerahiman Ilahi. Amin," kata AB Susanto, penulis masalah hukum dan kenegaraan, menambahkan.
Prof. Dr. Arief Budiman, termasuk sosiolog senior Indonesia, selama ini setia tinggal di Salatiga. Semasa Orde Baru, Arief Budiman adalah salah satu tokoh, yang bersama sejumlah tokoh terkemuka Indonesia lainnya, menjadi kritikus rezim Soeharto. Ia dikenal sebagai pelopor aksi golongan putih (golput) sejak Pemilu 1971.
Selama ini, Arief Budiman mengalami stroke, dan sebelumnya diduga terserang alzheimer. Kemunduran fisiologis saudara kandung aktivis 66 Soe Hok Gie itu sudah berlangsung lebih dari 10 tahun belakangan ini.
Sejak 2017, nyaris kita tak pernah mengetahui karya-karya terbaru Arief Budiman. Sejak itu, ia pun mulai jarang muncul lagi ke publik belakangan ini. “Waktu itu, tak ada yang mengaitkan kemunduran kualitas Arief dengan penyakit yang ia derita,” kata Denny, dalam keterangannya.
Pada 2006, misalnya, Arief Budiman didaulat menerima Bakrie Award tetapi menolak. Di malam penganugerahan, Arief Budiman menyampaikan langsung bahwa ia merasa penghargaan tersebut penghinaan bagi dirinya selaku orang “kiri” yang acapkali mengkritik pembangunan ala kaum liberal.
Arief Budiman dikenal sebagai pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, sebelum melanjutkan mengajar sebagai Guru Besar di Universitas Melbourne, Australia. Ia juga banyak terlibat dalam bidang budaya di Indonesia.
Ia pernah memperdalam ilmu di bidang pendidikan di College d'Europe, Brugge, Belgia pada tahun 1964. Ia menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi di Universitas Indonesia pada tahun 1968. Ia kuliah lagi di Paris pada tahun 1972, dan meraih Ph.D. dalam bidang sosiologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat pada tahun 1980.
Kembali dari Harvard, Arief mengajar di UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) di Salatiga sejak 1985 sampai 1995. Ketika UKSW dilanda kemelut yang berkepanjangan karena pemilihan rektor yang dianggap tidak adil, Arief melakukan mogok mengajar, dipecat, dan akhirnya hengkang ke Australia, serta menerima tawaran menjadi profesor di Universitas Melbourne.
Ia pernah menjadi redaktur majalah Horison (1966-1972). Sejak 1972 sampai 1922 ia menjadi anggota Dewan Penasehat majalah ini. Ia pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971). Sejak tahun 1968-1971 ia menjadi anggota Badan Sensor Film.
Ia dianggap sebagai tokoh Metode Ganzheit sejak Diskusi Sastra 31 Oktober 1968 di Jakarta dan terlibat polemik dengan M.S Hutagalung sebagai perwakilan Aliran Rawamangun. Ia juga dianggap sebagai tokoh dalam perdebatan Sastra Kontekstual sejak Sarasehan Kesenian di Solo (Oktober 1984).
Ia pernah menghadiri Konferensi PEN Club International di Seoul pada tahun 1970.
Keterlibatan Politik.
Sejak masa mahasiswa, Arief sudah aktif dalam kancah politik Indonesia, karena ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan pada tahun 1963 yang menentang aktivitas LEKRA yang dianggap memasung kreativitas kaum seniman.
Kendati ikut melahirkan Orde Baru, Arief bersikap sangat kritis terhadap politik pemerintahan di bawah Soeharto yang memberangus oposisi dan kemudian diperparah dengan praktik-praktik korupsinya. Pada pemilu 1973, Arief dan kawan-kawannya mencetuskan apa yang disebut Golput atau Golongan Putih, sebagai tandingan Golkar yang dianggap membelokkan cita-cita awal Orde Baru untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis.
Ia pernah ditahan karena terlibat dalam demonstrasi menentang pendirian Taman Miniatur Indonesia Indah (1972).
Kehidupan pribadi. Ayahnya seorang wartawan yang bernama Soe Lie Piet. Arief menikah dengan Leila Chairani Budiman, teman kuliahnya di Fakultas Psikologi UI, yang dikenal sebagai pengasuh rubrik psikologi pada harian Kompas.