Arief Budiman Kini Bisa Diam
Arief Budiman masuk ke ruang ceramah dengan santai. Ia mengenakan kemeja lengan pendek, berbahan tipis, sutra tiruan, yang bercorak lukisan abstrak, dengan warna dominan merah marun. Dua kancing atasnya terbuka.
Beberapa lembar uban mulai menyembul dari rambutnya yang lebat dan agak gondrong. Pagi itu, di tahun 1983, auditorium kampus UII Jogja diubah, disesuaikan dengan semangat kerakyatan sang penceramah. Semua kursi dikeluarkan. Semua peserta duduk bersila di atas tikar yang tak seragam. Arief Budiman dihadirkan oleh Dewan Mahasiswa UII.
Ia mulai bicara dengan lancar. Tanpa aksen, suaranya enak didengar. Ia fasih dan artikulasinya kuat. Selama tiga jam penuh, ia tak membuat pendengarnya bosan, meski ia tak pernah menyelipkan ceramahnya dengan lelucon --walau ia tahu ini adalah bumbu kegemaran para penceramah, yang kedangkalan atau konotasi pornografisnya selalu ampuh menyentuh selera humor hadirin.
Arief menjelaskan betapa kelirunya pilihan model pembangunan yang dianut pemerintah saat itu. Dia menawarkan alternatif; suatu ringkasan dan elaborasi dari apa yang telah berulang kali diungkapkannya, dan menjadi alasan ia diundang ke Jogja pagi itu.
Ia memaparkan pendekatan struktural, sebagai lawan dari pendekatan budaya yang dianut pemerintah; konflik di antara kedua pendekatan ini abadi sampai sekarang. Baginya, orang menjadi miskin bukan karena malas atau tak sanggup bekerja, tapi karena struktur sosial dan ekonomi yang melingkupinya tidak memungkinkan orang itu bekerja, atau bekerja dengan mendapat penghasilan yang cukup.
Model pembangunan yang dianut pemerintah tidak akan menyejahterakan seluruh rakyat seperti yang dijanjikan. Model itu hanya akan membuat lapisan kecil elit ekonomi dan politik menjadi makin kaya, dan mayoritas rakyat akan tetap miskin, jika bukan semakin miskin.
Para aktor, katanya, tidak pernah terbentuk dan berdiri sendiri. Mereka dibentuk oleh sistem, lingkungan, kondisi kontemporer yang melingkupinya. "Ronald Reagan bisa jadi presiden bukan karena dia sangat hebat," katanya, menyinggung presiden Amerika yang belum lama terpilih.
"Tapi karena rakyat Amerika ingin pemimpin yang terkesan tegas, sebab mereka kecewa terhadap Jimmy Carter, terutama ketika berhadapan dengan Iran, yang menyekap staf kedutaan Amerika di Teheran selama 444 hari, dan Carter seperti diam saja."
Rakyat Amerika mendapat jawaban keperkasaan dari Reagan, seorang bintang film koboi yang menampilkan citra jagoan -- dan pasti mampu membebaskan orang-orang Amerika di Teheran itu.
Berbicara dengan datar tapi tegas, Arief tak pernah memberi penekanan khusus terhadap aspek-aspek tertentu dalam uraiannya hanya untuk membuat pendengarnya menyimak lebih fokus. Ia memang tak memerlukan itu. Ia tahu substansi penjelasannya sudah cukup memukau ratusan pendengarnya.
Seusai acara berakhir, sejumlah aktifis mahasiswa masih menemaninya ngobrol kecil di kantor Dewan Mahasiswa yang sempit. Saya tak bicara apa-apa. Sambil terus memandanginya, mencermati setiap ucapannya, menikmati kata "Marx" yang diucapkannya dengan mengesankan, saya membatin, "Ini Arief Budiman. Saya sedang duduk begini dekat dengan Arief Budiman."
Lebih dari duapuluh tahun kemudian, kami di Freedom Institute memberinya Penghargaan Achmad Bakrie untuk Ilmu-ilmu Sosial. Meski kami lebih sering tak sepakat dengan ide-ide Arief Budiman dalam isu-isu kenegaraan dan ekonomi, kami menghargainya karena ia berhasil menghidupkan diskusi nasional dengan menawarkan pendekatan yang berbeda daripada garis pemerintah dan mayoritas ilmuwan sosial yang menekuni isu yang sama.
Arief kami pandang mampu membuat publik berpikir ulang atau setidak-tidaknya mengenal dengan relatif lengkap suatu paket gagasan yang layak dipertimbangkan di tengah bentuk pendekatan mainstream yang semakin dominan.
Tentu saja ia bukan orang pertama yang menyajikan gagasan itu kepada publik. Sejarah Indonesia penuh dengan tawaran itu sejak negeri ini berdiri, sebagian bahkan menyusunnya dengan lengkap sebagai program resmi partai.
Tapi Arief kami pandang merupakan pakar yang mampu merumuskan ide-ide itu dengan jernih dan dalam formulasi akademis yang dapat dipertanggungjawabkan kurang-lebih secara ilmiah.
Yang tak kalah pentingnya: Arief Budiman berani dengan tenang dan artikulatif mengajukan ide yang berbeda itu, justeru di tengah suasana umum yang seolah meyakini begitu saja bahwa apa yang sedang berlangsung selama ini di seluruh negeri adalah yang terbaik, dan tak perlu dipertanyakan lagi, baik karena hal itu memang diyakini unggul sebagai pendekatan pembangunan maupun karena alasan keamanan, berhubung hal itu sudah digariskan pemerintah dengan tegas dan tak boleh ditantang.
Arief tak pernah lelah mengajukan versinya dengan berbagai cara. Ia berceramah ke kampus-kampus, ia menulis kolom-kolom yang mengajukan provokasi cerdas yang mengusik kemapanan berpikir. Ia pernah memantik polemik panjang di koran Jawa Pos, yang kemudian melibatkan makin banyak penulis untuk mencebur. Seingat saya polemik itu berlangsung beberapa bulan. Ia juga menulis atau mengedit buku-buku.
Ia memang tak pernah jauh dari kegiatan-kegiatan semacam itu. Sambil tetap mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, ia memenuhi kriteria "intelektual publik" atau inteligensia Gramscian. Cukup jelas bahwa ia memegang teguh anjuran Karl Marx bahwa tugas cendekiawan bukanlah sekadar memahami keadaan, tapi terutama mengubahnya. Arief tak henti berupaya menjangkau jauh ke balik tembok kampus.
Dan akhirnya ia harus membayar harganya. Ia terpaksa mengasingkan diri ke Universitas Melbourne. Penguasa selalu punya cara halus yang efektif untuk mengusirnya. Bukan Arief sendiri yang ditekan, tapi otoritas kampus tempatnya mengajar. Jadi kepergiannya ke Australia pastilah "atas kemauan sendiri"; ketika ia tak lagi melihat celah yang wajar untuk mendapatkan nafkah.
Menulis dengan sangat baik sejak belia, Arief meminati kesastraan dengan serius. Ia menulis skripsi di Fakultas Psikologi UI tentang penyair Chairil Anwar. Ia ikut menandatangani Manifes Kebudayaan di tahun 1963 untuk melawan suasana pengap penciptaan karya sastra, bersama antara lain Wiratmo Sukito, Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail. Ia turut mendirikan majalah Horison bersama rekan-rekan senior seperti Mochtar Lubis, dan sering menulis editorial yang bagus di majalah bulanan itu, Catatan Kebudayaan.
Hingga 1973, ketika ia melanjutkan kuliah ke Prancis, dan kemudian Harvard Amerika Serikat. Konon pelanjutan sekolah ke luar negeri itu bagian dari pengusiran halus terhadap dirinya, seperti terjadi juga pada beberapa kawannya. Penguasa berpikir alangkah tenteramnya mereka jika orang-orang seperti Arief Budiman tak lagi tinggal di Jakarta. Arief cs benar-benar bikin pusing dengan macam-macam tingkahnya.
Ia menganjurkan publik untuk mencoblos bidang putih di kertas suara pemilu 1971, dan menasbihkan nama gerakan protes ini dengan nama yang seksi, Golongan Putih alias Golput, suatu singkatan yang terus populer hingga setengah abad kemudian.
Membesar atau tetap kecil, bagaimanapun hantu Golput sedikit-banyak mengusik kebulatan legitimasi kekuasaan yang didapat penguasa melalui prosedur formal demokrasi yang telah dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas dan rahasia (luber), dengan landasan yang jujur dan adil (jurdil). Penguasa heran: kenapa Arief masih saja teriak-teriak; kurang apa lagi?
Arief Budiman juga membentuk KAK, Kesatuan Anti Korupsi, yang antara lain membidik proyek besar yang digagas Ibu Negara, Taman Mini Indonesia Indah. Menurut Arief proyek mahal itu, selain memubazirkan uang negara, juga sarat korupsi.
Dengan absennya Arief Budiman di Jakarta selama lima atau enam tahun, penguasa Orde Baru -- yang ikut ia dukung pembentukannya; inilah yang menjelaskan perlakuan terhadapnya tetap "beradab" --menilai cukup untuk membebaskan mereka sementara dari rongrongan konstannya yang menjengkelkan. Siapa tahu Arief berubah setelah sekolah di luar negeri. Dan ia memang berubah -- menjadi mimpi yang makin buruk bagi penguasa.
Sepulang dari Harvard, Arief tak lagi menujukan kritik dan protesnya tentang aspek-aspek "pinggiran", melainkan fokus pada jantung masalah, yaitu paradigma bagi seluruh upaya pembangunan negara. Dan kali ini ia punya bekal yang jauh lebih kokoh, dengan topangan berbagai teori dari sebuah universitas paling ternama di dunia. Bobot kritiknya mengalami lompatan kualitas signifikan, dari Arief sang demonstran menjadi Arief sang ilmuwan.
Sasaran daya imbaunya tetaplah publik luas, bukan kalangan akademis. Gayanya menulis tak berubah: menghindari jargon sejauh-jauhnya, menyajikan aneka ide dan teori rumit dengan sederhana dan mudah dipahami siapa saja, tanpa tergelincir menjadi simplifikasi yang mereduksi gagasan-gagasan pokoknya.
Begitulah, misalnya, ia menulis kata pengantar yang gamblang untuk buku klasik karya sosiolog mashur Jerman, Karl Mannheim, "Ideologi dan Utopia", yang diterjemahkan dengan baik tapi tak mengurangi kesulitannya untuk dipahami, oleh F. Budi Hardiman. Membaca pengantar Arief, kita seperti sedang membaca buku lain ketika beralih ke halaman Mannheim sendiri.
Ia juga menulis buku kecil, "Pengalaman Belajar di Amerika Serikat". Ia selalu kekurangan selama masa belajar itu; dan ia berangkat bersama isterinya, Leila Chairani; dan juga bersama kedua anak mereka. Ia menjadi penjaga malam di kampus Harvard, dan dengan itu suatu kali ia sukses membeli hamburger. Kedua anaknya girang bukan kepalang mendapat makanan semewah itu.
Di Amerika ia bertetangga dengan pasangan Nono Anwar Makarim- Atika Algadri. Menurut Arief, makanan di apartemen sahabat lamanya itu selalu enak, dan tak mungkin ditandingi oleh dapur miskin keluarganya sendiri.
"Maka kalau saya mau makan enak, saya ke apartemen Nono, pura-pura mengajaknya ngobrol tentang nasib bangsa," tulis Arief.
Nasib kesehatannya sendiri terus menurun sejak beberapa belas tahun terakhir. Parkinson yang diidapnya memburuk pelan-pelan. Di tahun-tahun terakhir masa hidupnya di Melbourne, gejala itu mulai terlihat. Ia makin banyak lupa.
Ia tak bisa saya ajak berbincang panjang menjelang pemberian Penghargaan Achmad Bakrie, sekian belas tahun silam. Ia tak mudah mengingat, dan saya tak mungkin mendesaknya lebih jauh. Saya hanya bisa gembira melihat Arief tampak sangat senang mendapat penghargaan itu. Sepanjang kami duduk bersama di teras kantor Freedom, senyumnya selalu mekar mengiringi matanya yang berbinar.
Sesudah sekian puluh tahun berlalu, sesudah generasi-generasi baru aktifis dan intelektual tak ada lagi yang tahu tentang dirinya, karena absen begitu lama dari Tanah Air dan dari halaman media, ia tampak terharu mengetahui ada orang-orang yang tak melupakan jasa-jasanya bagi dunia pemikiran Indonesia -- meski ia tak pernah menjadikan balas jasa itu tujuannya.
Seminggu yang lalu ia dirawat di rumah sakit kecil di Ungaran, dekat Salatiga. Tapi komplikasi penyakitnya mereda, sehingga ia sudah bisa dipindahkan ke ruang biasa. Tanda-tanda segar itu kembali mengelabui. Pukul 11.30 ia memejamkan mata. Soe Hok Djien yang lahir di Jakarta 79 tahun lalu berakhir sebagai Arief Budiman di sebuah kota kecil di Jawa Tengah.
Protester abadi itu akan terus kita kenang sebagai pemantik percakapan bangsa tentang hal-hal besar yang mempengaruhi perjalanan Indonesia, negeri yang terlalu dicintainya, yang, diakuinya suatu hari, "membuat saya tidak bisa diam jika melihat ketidakberesan" di dalamnya.***
Advertisement