Aplikasi ‘Zapya’ Terlarang Bagi Muslim Uighur di China
Pada November 2018, Anayit Abliz, seorang Muslim Uighur dari wilayah Xinjiang, China, dijatuhi hukuman tiga tahun penjara karena pada tahun 2017 kedapatan menggunakan aplikasi berbagi file bernama Zapya dan jaringan pribadi virtual (VPN) untuk berkomunikasi secara online.
Selama bulan-bulan penahanan yang mengarah pada keislamannya, keluarga remaja tersebut selalu dalam pengawasan yang mengganggu. Segala kegiatan sehari-hari keluarga Anayit Abliz dicatat dalam laporan laporan panjang diberi judul ‘Situation regarding persons who are detained or going through re-education.’ Atau 'Situasi mengenai orang-orang yang ditahan atau menjalani pendidikan ulang'.
Zapya adalah aplikasi berbagi file peer-to-peer yang memungkinkan pengguna untuk mentransfer file dari berbagai ukuran dan format apa pun, tanpa memerlukan koneksi internet. Dewmobile, Inc. awalnya menggagas Kuai Ya di Silicon Valley, California, AS untuk menargetkan pasar China pada 2012, tetapi yang berkembang adalah Zapya. Penggunaan Zapya lebih mudah dan cepat, bahkan kecepatan transfer berkasnya kira-kira 100 kali lebih cepat dari Bluetooth.
Diperkirakan bahwa di Xinjiang, penggunaan aplikasi Zapya menjadikan terjadinya jutaan penyelidikan di tingkat masyarakat terasa sangat mengganggu, seperti yang dihadapi keluarga Anayit Abliz. Demikian menurut sebuah laporan baru yang diterbitkan oleh Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI) yang berbasis di Canberra.
Antara Juli 2016 dan Juni 2017, pemantau pemerintah yang ditugaskan oleh Beijing mendata setidaknya 1.869.310 warga Uighur dan warga lainnya di Provinsi Xinjiang, karena menggunakan Zapya. Laporan terbaru ASPI ini didasarkan pada ribuan dokumen yang bocor ke LSM, seperti dikutip Al Jazeera.
Sejak awal 2017, sejumlah besar pria dan wanita Uighur, serta etnis minoritas Muslim lainnya, telah ditahan atau dipenjara secara sewenang-wenang, menurut PBB dan kelompok hak asasi manusia.
Mereka termasuk ratusan ribu yang telah dikirim ke penjara, di samping satu juta orang lainnya yang diperkirakan PBB telah dikirim ke kamp-kamp interniran.
Penahanan dan dugaan pelanggaran di dalam fasilitas pemerintah tertutup telah digambarkan oleh Amerika Serikat dan kelompok hak asasi manusia internasional sebagai bentuk genosida yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Bulan lalu, Amnesty International menuduh China menciptakan "pemandangan neraka dystopian" di Xinjiang.
China telah membantah tuduhan itu, dengan mengatakan kebijakannya terhadap Uighur dan minoritas Muslim lainnya yang tinggal di Xinjiang diperlukan untuk memerangi ekstremisme dan mempromosikan mobilitas ekonomi ke atas untuk kelompok etnis yang miskin. (*)