API Jatim: Harga Gabah Terjun, Impor Beras Tak Adil Bagi Petani
Datangnya musim panen padi di sebagian wilayah Jawa Timur, bersamaan digerojoknya beras luar negeri di pasaran, berdampak pada harga gabah terjun bebas.
Ketua Aliansi Petani Indonesia (API) Provinsi Jawa Timur sekaligus pengurus Koperasi Amarta Padi Blitar, Naning Suprawati, berharap kepada pemerintah agar kebijakan impor tidak dijadikan solusi memenuhi kebutuhan beras masyarakat.
"Kebijakan impor beras oleh Pemerintah merupakan kebijakan yang tidak adil bagi petani," jelasnya saat ditemui Ngopibareng.id di rumahnya, Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Minggu 30 Maret 2024.
Keluhan Naning tersebut bukan tanpa alasan. Fakta di lapangan, harga gabah saat ini cenderung terus menurun. Di tengah gempuran peredaran beras impor dari Vietnam, Naning menyebut, saat ini harga gabah di tingkat petani Blitar Rp 5.300 sehari sebelumnya Rp 5.400.
“Terkait situasi harga gabah di tingkat petani kemarin 54 (Rp 5.400), hari ini 53 (Rp 5.300) harga gabah kering panen (GKP),” jelasnya.
Naning mengungkapkan, walaupun harga cenderung menurun, Koperasi Amarta Padi mengapresiasi petani yang telah menerapkan SOP (standar operasional prosedur) budidaya padi dengan sistem SRP (Sustainable Rice Platform) dengan memasukkan bahan organik di lahan petani 70 persen dan 30 persen bahan dan organik dengan mengapresiasi membeli harga gabah petani melebihi Rp50 dari harga gabah dipasaran.
Naning menambahkan, pihaknya bisa saja melakukan poles ulang terhadap beras luar negeri tetapi pihaknya tidak melakukan hal tersebut untuk menjaga kualitas.
"Beras yang dijualnya selalu beras baru. Kami di koperasi sudah berjalan, artinya serapan gabah dari petani sampai ke konsumen secara rutin selalu menjaga kwalitas, kami tidak mau merusak kualitas, kami selalu menyediakan beras baru," terang dia.
Serapan beras Koperasi Amarta Padi sudah sampai Kabupaten Malang dan Kota Surabaya. "Saat pasokan dari petani berkurang saya sampaikan kepada konsumen bahwa pasokan dari petani berkurang," sambung Naning.
Saat ini, Koperasi Amarta Padi menjual beras ke konsumen seharga Rp 14.000 kemasan 5 kilogram atau setara harga Rp 70.000, dan kemasan 3 kilogram seharga Rp 42.000.
Naning berharap pemerintah dengan tidak menjadikan impor sebagai solusi akan terjadi stabilitas harga agar petani tidak merugi.
Naning menghitung kelayakan HPP (Harga Pokok Penjualan) di tingkat petani harga Rp 6.000 GKP.
Saat ini, musim musim tanamnya mundur, dan di tingkat petani sebagian masih mulai musim tanam pertama (MT1), terutama di wilayah Blitar Utara, sehingga hanya bisa memasok beras ke konsumen 1,5 ton per bulannya. Padahal sebelumnya mampu memasok beras ke konsumen 5 ton per bulan.
Panen ditingkat anggota koperasi karena tidak bersamaan sehingga pasokan berkurang.
"Seharusnya, tahun seperti ini diharapkan petani mendapatkan keuntungan. Harapannya kondisi semacam ini, tidak terus menerus terjadi. Seharusnya pemerintah berpihak kepada petani dengan tidak mengkampanyekan impor beras sebagai solusi," pungkas Naning.