Aparat Didesak Jemput Paksa Anak Kiai di Jombang Pelaku Pelecehan
Kuasa Hukum korban pelecehan seksual dari tersangka Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) yang merupakan anak kiai Muchtar Mu’thi pengasuh pondok pesantren Thoriqoh Shiddiqiyah, Jombang, menuntut kepada aparat Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur pun Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, untuk melakukan penjemputan paksa.
Selaku kuasa hukum, Abdul Wachid Habibulloh merasa kasus ini sudah berjalan sangat panjang, selama dua tahun sejak awal kejadian namun tidak segera disidangkan. Apalagi, JPU sudah menyatakan P-21 atau lengkap berkas penyidikan yang dilakukan aparat Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jatim.
"Seharusnya sudah dilakukan penjemputan paksa karena alasan subjektif dan objektif penahanan itu sudah terpenuhi. Kemudian ada statemen kepolisian terhambat karena dihadang oleh simpatisan tapi itu tidak menjadi alasan," ungkap Wachid.
Tak hanya kepolisian saja, menurut Wachid Kejati Jatim dapat membuat pemanggilan dan penahanan terhadap tersangka. "JPU punya kewenangan untuk melakukan penjemputan paksa yang menurut kami harus dilakukan. Sebab kasus ini menurut kami proses hukumnya dapat melebar dan menimbulkan kasus yang lain," imbuh anggota LBH Surabaya itu.
Ia menyebut perjalanan kasus ini sudah sangat panjang dan melelahkan bagi korban yang menuntut keadilan. Pasalnya, dari proses yang berjalan, seakan ada tekanan dari pihak tersangka kepada aparat hukum.
Hal ini terbukti dengan begitu panjangnya proses penyidikan yang dilakukan oleh aparat. Bahkan, sampai kini belum ada pemeriksaan terhadap tersangka.
Dalam perjalanannya, bahkan aparat beberapa kali melakukan pemeriksaan terhadap korban. Mulai pemeriksaan biasa, ditambah pemeriksaan visum, bahkan akan melakukan lie detector atau tes kebohongan yang ditolak oleh korban.
"Kami nyatakan pada penyidik, kok korban saja yang diperiksa dipanggil terus memberikan keterangan tambahan, bahkan P-19 untuk visum ulang lagi. Kami juga menolak permintaan tes kebohongan itu sangat menyakitkan bagi korban. korban dianggap berbohong padahal bukti sudah terpenuhi semua," ungkap Wachid.
Selain itu, penyidik juga selalu meminta harus ada saksi yang secara langsung mengetahui dan melihat terjadinya kekerasan seksual terhadap korban. "Tidak pernah ada saksi yang melihat langsung karena tindakan kekerasan seksual terjadi di ruang tertutup yang sangat privat. Itu catatan kami mengapa kasus ini jalan di tempat karena tekanan lebih banyak di sisi korban," pungkasnya.