Apakah Hidup Itu? Begini Tausiyah Kiai Husein Muhammad
Orang Jawa mengenal istilah "urip mung mampir ngombe". Hidup hanyalah sekadar mampir minum. Ungkapan yang dinisbatkan pada Sunan Kalijaga ini, kerap menjadi ujaran sehari-hari masyarakat Islam di Jawa.
"Lalu apakah hidup itu menurut Nabi?." kata KH Husein Muhammad. Berikut tausiyah ulama yang bersahabat dengan KH Abdurrahman Wahid (almaghfurlah) ini:
Nabi memandang bahwa hidup ini bagaikan sebuah perjalanan dan setiap orang bagaikan pengembara di belantara raya kehidupan.
Ibnu Mas’ud Seorang sahabat Nabi menceritakan kepada kita :
قال ابن مسعود رضي الله عنه : اِضْطَجَعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى حَصِيْرٍ ، فَأَثَّرَ فِي جَنْبِهِ ، فَلَمَّا اِسْتَيْقَظَ ؛جَعَلْتُ أَمْسَحُ جَنْبَهُ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ الله ! أَلَا آذَنْتَنَا حَتَّى نَبْسُطَ لَكَ عَلَى الْحَصِيْرِ شَيْئاً ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : مَا لِي وَلِلدُّنْياَ ؟! مَا أَنَا وَالدُّنْياَ ؟! إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَرَاكَبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ، ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا .
“Nabi tidur di atas tikar. Ketika bangun, tampak di tubuhnya bekas cetakan tikar. Aku mengatakan: “Wahai Nabi, bolehkah kami ambilkan kasur untukmu?”. Nabi menjawab : “Apalah artinya aku dan kehidupan di dunia ini. Di sini aku hanyalah bagaikan pengembara yang bernaung untuk istirahat sementara di bawah pohon. Sesudah itu berangkat lagi dan meninggalkan tempat itu.
Sebuah syair mengatakan :
هَبِ الدُّنْيَا تُسَاقُ اِلَيْكَ عَفْواً
أَلَيْسَ مَصِيْرُ ذَاكَ اِلَى زَوَالِ
وَمَا دُنْيَاكَ إِلَّا مِثْلُ ظِلٍّ
أَظَلَّكَ ثُمَّ آذَنَ بِارْتِحَالِ
Silakan, kau katakan dunia memberimu anugerah.
Tetapi bukankah pada akhirnya ia akan sirna
Dunia bagai payung
Ia menanungimu sesaat saja
Lalu mengizinkanmu untuk berangkat
Pertanyaan penting kita adalah jalan manakah yang paling baik untuk kita tempuh menuju Allah?. Para ulama dan para bijakbestari (hukama) mengajarkan kepada kita bahwa sesungguhnya banyak jalan menuju kepada-Nya. Tetapi jalan yang terbaik, termudah dan tercepat yang dapat mengantarkan kepada tempat persinggahan terakhir kita, kembali kepada Tuhan, tempat kita berasal, dengan nyaman adalah memberikan pelayanan yang baik dan membagikan kegembiraan kepada manusia serta meniadakan penderitaan mereka. Sufi besar Abu Sa’id Ibn Abi al-Khair (w. 1049) ketika dia ditanya santrinya “Ma ‘Adad al-Thariq Min al-Khalq Ila al-Haqq” (berapa banyakkah jalan manusia menuju Tuhan?), dia menjawab:
فَقَالَ فِى رِوَايَةٍ أَكْثَرُ مِنْ أَلْفِ طَرِيْقٍ. وَقَالَ فِى رِوَايَةٍ أُخْرَى : الطَّرِيْقُ اِلَى الْحَقِّ بِعَدَدِ ذَرَّاتِ الْمَوْجُودَاتِ. وَلَكِنْ لَيْسَ هُنَاكَ طَرِيْقٌ أَقْرَبُ وَاَفْضَلُ وَأَسْرَعُ مِنَ اْلعَمَلِ عَلَى رَاحَةِ شَخْصٍ وَقَدْ سِرْتُ فِى هَذَاالطَّرِيْقِ. وَإِنَّنِى أُوصِى الْجَمِيْعَ بِهِ
”Ada lebih dari seribu jalan, di tempat lain ia mengatakan jalan itu sebanyak partikel yang ada di alam semesta ini, tetapi jalan yang terpendek, terbaik dan tercepat menuju Dia adalah memberi kenyamanan kepada orang lain. Aku menempuh jalan ini dan aku selalu memesankan ini kepada semua orang”. (Asrar al-Tauhid fi Maqaamaat Abi Sa’id, h. 327-327).
Jawaban Syeikh Abu Sa’id ini tampaknya diinspirasi oleh pernyataan Nabi ketika ditanya siapakah muslim itu?, beliau menjawab : “Al-Muslimu Man Salima al-Naas min Lisanihi wa Yadihi”(Seorang muslim adalah dia yang kehadirannya membuat orang lain merasa nyaman, tidak terganggu oleh kata-kata/ucapan yang melukai dan tindakannya yang menyakitkan).
14.11.19
HM