Apa yang mengecewakan Anda dari Debat 1 Pilpres 2019 Tadi Malam?
Saat dianjurkan dan diberi waktu untuk saling mengapresiasi antar pasangan kandidat, tak ada satupun yang melakukannya. Sebagai penonton, calon pemilih, warga negara, terus terang saja, saya kecewa.
Jokowi bahkan kelebihan waktu banyak dan tidak gunakan sisa waktu yang masih tersedia untuk mengapresiasi Prabowo-Sandi. Prabowo menghabiskan waktu dengan closing statement yang tidak tajam, banyak mengulang-ulang, dan tidak memberi porsi sama sekali untuk mengapresiasi Jokowi-Amin.
Sebagai warga negara saya sangat kecewa. Di saat puluhan juta orang -- ini angka dugaan saya -- menonton mereka, mereka tak tunjukkan kebesaran hati untuk saling mengapresiasi. Seharusnya mereka tunjukkan bahwa Pilpres bukan perang tapi kompetisi demokratis yang sehat.
Tapi kan mereka saling berpelukan sesudah debat?
OK. Adegan saling peluk sesudahnya menjadi gimmicks yang tidak memberi kesan sejuk sama sekali buat saya. Bahasa tubuh mereka jadi tak genuine, terasa palsu, setelah mereka abaikan anjuran untuk saling apresiasi itu.
Itu yang paling mengecewakan saya sebagai penonton debat, calon pemilih, warga negara.
Apa lagi hal lain dari Debat semalam yang membuat Anda kecewa?
Kualitas debatnya. Saya berharap banyak pada Jokowi dan Prabowo. Sebab ini arena kedua perdebatan di antara mereka setelah 2014. Saya berharap ada banyak hal substantif yang dibicarakan secara mendalam.
Saya berharap ada lalu lintas argumen yang cerdas dan tajam menyangkut banyak isu. Saya berharap ada pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan menukik tentang isu-isu mutakhir. Nyatanya tidak.
Overall, Debat Putaran Kedua Pilkada Jakarta 2017 lalu jauh lebih berkualitas, menurut saya. Debat semalam terasa kurang presidensial. Sebuah panggung kebesaran untuk kualitas debat yang kekecilan.
Rupanya saya berharap terlalu banyak.
Penampilan siapa yang paling mengesankan Anda di antara keempat kandidat yang tampil semalam?
Sandiaga Uno. Sandi tampil segar. Bagi penonton TV dari rumah, yang tak hadir di dalam ruang debat itu, segarnya Sandi sangat terasa. Setiap kamera mencuri wajah dan bahasa tubuhnya, Sandi memberi kesan segar.
Sandi bukan hanya terlihat segar karena wajah dan bahasa tubuhnya. Ia juga terlihat segar karena gaya penyampaiannya dan beberapa pesan spesifik yang disampaikannya. Sandi mengulang siasat debat di Jakarta: mengulang dan memberi penegasan pada kata dan frasa kunci semacam kepastian hukum, keadilan, lapangan kerja, penegakan hukum untuk mendorong investasi dan Indonesia Makmur.
Secara visual, menurut dugaan saya, Sandi mencuri perhatian penonton debat semalam.
Selain terkesan oleh penampilan Sandi, Anda merasa terkesan oleh penampilan siapa?
Saya terkesan oleh dua pertanyaan yang dipilih Jokowi. Tentang langkanya perempuan dalam kepemimpinan Gerindra sehingga tak konsisten dengan Visi-Misi Prabowo-Sandi. Tentang permintaan pertanggungjawaban Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra untuk banyaknya mantan narapidana koruptor dalam Caleg Gerindra.
Saya menduga, Jokowi ingin mengulang kejadian 2014: Mengusik Prabowo hingga tenggelam dalam emosinya dan gagal menjawab dengan bernas. Jokowi mengulang strategi debat 2014 dan menambahkannya dengan 1 hal: Ia fokus ke Gerindra sehingga menjadi personal bagi Prabowo.
Bonusnya: Sandi yang bukan lagi orang Gerindra tak leluasa untuk ikut menjawab -- sekalipun sebetulnya, dengan gaya komunikasi tertentu, Sandi bisa saja melibatkan diri.
Untuk isu perempuan dalam kepemimpinan, Prabowo sebetulnya sempat masuk ke respons sunstantif yang berpotensi memukul balik: Ketika ia menyatakan tak akan bangga pada pejabat/pemimpin perempuan yang -- alih-alih memihak dan menguntungkan rakyat -- justru menjadi merugikan dan bikin susah rakyat. Sayangnya, pilihan kalimatnya kurang tajam dan bagian ini tak terelaborasi dengan layak. Saya menduga, pesan utama Prabowo tak terlalu sampai ke penonton awam, orang kebanyakan.
Saat diserang soal Caleg mantan napi koruptor, Prabowo terlihat emosional. Sedikit kehilangan kontrol. Jika saja terkendali, Prabowo sebetulnya dengan sangat santun bisa merespons dengan mengatakan:
"Pak Jokowi mengaku antikorupsi. Saya pun anti korupsi. Maka, sebagai sesama anti korupsi saya berdoa agar Pak Jokowi lebih aktif sebagai Pekerja Partai untuk memerangi korupsi dalam partainya sendiri. Saya doakan partai Pak Jokowi tidak lagi menjadi partai dengan pelaku korupsi paling banyak seperti sekarang ini. Saya betul-betul berdoa untuk itu."
Dengan cara itu, dalam bentuk doa, menurut saya, penonton, calon pemilih tak akan menilai Prabowo arogan dan balik menyerang terlalu keras.
Sekali lagi, dua pertanyaan Jokowi itu mengesankan. Tapi ada juga catatannya: Secara pribadi saya jadi merasa Jokowi seperti "Petahana dengan citarasa Penantang". Agresif.
Pemosisian kedua pasang kandidat pun jadi terasa terbalik. Jika tidak dikelola dengan baik, dengan 4 debat yang masih tersisa, itu memukul balik Jokowi-Amin.
Jangan lupa, dalam Pilpres 2014 lalu, salah satu kebutuhan penting untuk personal branding Jokowi adalah "seorang pemimpin yang kuat." Menjadi agresif saat itu adalah kebutuhan. Sekarang, dalam Pilpres 2019, Jokowi dikesankan oleh para pengeritiknya sebagai pemimpin yang suka main kayu. Ada kebutuhan untuk melunakkan kesan ini. Menjadi agresif sama sekali tidak menjawab kebutuhan itu.
Selain itu, pilihan menyerang Gerindra bukan tanpa masalah. Sebagian potensi pemilih Prabowo bukan pemilih Gerindra. Saat Gerindra diserang, sebagian potensi pemilih Prabowo ini tak merasa punya ikatan emosional yang kuat dengan persoalan partai Gerindra.
Artinya, dari sisi "pertunjukan", dua peluru tajam dari Jokowi terlihat seperti mematikan. Tapi dari sisi elektoral, bisa jadi itu peluru karet yang terlalu lunak dan tak sampai ke sasaran. Sudah lunak, tak sampai pula.
Sebaliknya, dua pertanyaan dari kubu Prabowo-Sandi terlalu umum, tidak tajam dan kehilangan kemutakhiran. Saya sempat membayangkan, sesuai tema, Prabowo-Sandi menanyakan amat sangat lambannya pengungkapan kasus Novel Baswedan, misalnya. Jika dikemas dengan bahasa dan diksi yang tepat, pertanyaan soal Novel Baswedan bisa jadi peluru tajam yang mengarah ke Jokowi dan membuat Jokowi sulit mengalihkannya dengan mengatakan, "Saya tak mau mengintervensi kepolisian terlalu jauh."
Anda sudah mengevaluasi Jokowi, Prabowo, Sandiaga Uno, tapi belum mengevaluasi KH Ma'ruf Amin. Bagaimana penampilan Pak Kyai menurut Anda?
Nah, ini dia. Debat semalam menunjukkan bahwa Pak Kyai Ma'ruf Amin berpotensi -- sekali lagi, berpotensi -- menjadi beban dan bukan pendongkrak. Pak Kyai terlihat demam panggung.
Blunder terbesar Pak Kyai adalah di Segmen 2 Debat. Selepas Jokowi bicara umum tentang penegakan hukum yang tidak boleh dipertentangkan dengan penegakan HAM, Pak Kyai dipersilakan bicara. Waktu masih cukup banyak. Lebih dari 30 detik seingat saya. Pak Kyai malah menjawab "Cukup."
Lalu saat dengan bahasa tubuhnya Jokowi tetap mempersilakan Pak Kyai bicara, moderator debat juga mempersilakan, Pak Kyai tetap tak bicara materi debat dan kurang lebih hanya menyatakan, "Cukup. Saya tak menambahkan. Saya mendukung pernyataan Pak Jokowi."
Pak Kyai memang satu-satunya dari keempat kandidat yang terlihat belum terbiasa dengan panggung debat. Belum sigap memanfaatkan waktu pendek yang tersedia.
Masih di Segmen 2, saat Jokowi-Amin bicara soal sikap antidiskriminasi terhadap penyandang disabilitas, Pak Kyai mau ikut bicara tapi waktu tak memungkinkan. Akhirnya, ia hanya sempat bicara menggantung, "Kami sendiri pernah ditegur oleh Allah..." Lalu bunyi bel membuat Pak Kyai harus berhenti.
Kenapa saya menyebut Pak Kyai "belum terbiasa dengan panggung debat"? Lihat saja perbandingannya dengan Sandi di Segmen 3 saat Prabowo-Sandi bicara soal strategi membebaskan birokrasi dari korupsi. Saat waktu bicara tinggal beberapa detik dan Sandi dipersilakan Prabowo bicara, Sandi masih sempat bicara tuntas: "Benahi pencatatan aset negara. Ini penting!"
Mereka yang terbisa berceramah panjang memang belum tentu akan piawai di panggung debat dengan waktu bicara yang sempit-sempit. Sebaliknya, mereka yang biasa berdebat di tengah kesempitan durasi waktu, sangat boleh jadi tak bakal sanggup berceramah panjang.
Sementara cukup. Oh ya, satu lagi: Bagaimana penilaian Anda soal moderator, Ira Kusno dan Imam Priyono?
Saya sebetulnya cuma mau ngomentari debatnya. Tapi tak apalah. Ini bonus. Menurut saya, Imam lebih rileks dan natural. Ira berkali-kali bicara dengan volume yang tidak natural, beberapa kali terlihat tidak rileks. Ira lebih scripted, beberapa kali terlihat seperti membaca. Tapi, secara umum keduanya menjalankan tugas dengan cukup baik.
Satu peryanyaan lagi....
Nanti saja ya. Kita ngobrol lagi di Bagian Kedua. Sudah terlalu panjang obrolan kita sekarang.
*) Oleh Eep Saefulloh Fatah