Apa Perlunya Ngaji Tasawuf Falsafi
Intelektual Muslim yang besar dari pesantren, Ulil Abshar Abdalla, mempunyai citra tersendiri setelah malang melintang di jagat pemikiran Islam. Kini, ia dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (kebetulan setelah mendapat amanah Ketua Lakpesdam PBNU, kini sebagai Ketua PBNU), yang mendedahkan pemikiran-pemikiran cendekiawan Muslim, Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.
Ulil Abshar Abdalla lahir di Pati, Jawa Tengah pada tanggal 11 Januari 1967. Ayahnya, Abdullah Rifa'i adalah pengelola pesantren Mansajul Ulum di Pati. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga Nahdatul Ulama.
Ulil Abshar Abdalla menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz. Dia mendapat gelar Sarjananya di Fakultas Syari'ah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, dan pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan memperoleh gelar Doktoral di Boston University, Massachussetts, AS.
Tentang figur Ulil Abshar Abdallah, terkait ulang tahunnya ke-67, seorang santri, Muh Saharuddin Mangngasa, memberi catatan khusus. Berikut di antara petikannya:
Meski datangnya terlambat saat ngaji bulanan kemarin, tapi 'masih' alhamdulillah diuntungkan dengan sesi tanya jawab, yang tentu saja ulasan beliau di sesi tanya jawab seakan merangkum pembahasan dari awal, meski tak seutuh sebelumnya.
Ada yang nanya, kalau memang Tuhan pada martabat pertama (level Ahadiyah) itu tak mungkin dan tak akan terjangkau oleh akal manusia, karena akal manusia memang tak sampai dan tak mampu menjangkaunya, lalu untuk apa kita mengetahui, atau mempelajari dan mengenali level itu? Wong kita nggak akan bisa memahaminya. Pertanyaannya keren, yah.
Jawaban beliau sungguh menakjubkan dan bagi saya seakan menjawab kegelisahan yang selama ini saya masih agak bingung dan bertanya-tanya mengenai mengapa tasawuf falsafi dianggap penting padahal sekilas ilmu itu hanya akan membuat pemiliknya fokus pada dirinya sendiri dan Tuhannya, tanpa memikirkan nasib orang lain. Berbeda dengan orang yang terjun membina masyarakat dengan bimbingan fiqihnya atau tasawuf 'amalinya.
Yang saya pahami dari penjelasan beliau, begini: Sekilas memang tasawuf 'amali itu lebih terlihat efeknya dan manfaatnya dalam kehidupan atau dalam ibadah-ibadah, sekaligus simple memahaminya. Ini bisa kita lihat dalam pembahasan kitab-kitab Imam al-Ghazali terutama Ihya' yang kebanyakan isi dan kandungannya adalah tasawuf 'amali.
Tapi perlu kita sadar, bahwa tasawuf amali itu akan terasa nikmatnya ketika dilengkapi atau "dibumbuhi" dengan tasawuf falsafi. Akan terasa sangat jauh bedanya orang yang beribadah ('amali) yang dilengkapi dengan kesadaran tasawuf yang mendalam (falsafi) dengan yang tidak.
Beliau memberikan contoh atau ilustrasi, orang yang ngopi dengan sekedar ingin merasakan pahit dan manisnya kopi to', dengan orang yang ngopi dan dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup mendalam tentang kopi yang diminumnya itu, karena dengan pengetahuan dan pengenalannya terhadap kopi itu membuat ia akan meresapi serupan demi serupan dan ditambah dengan penghayatan yang mendalam sehingga tentu saja jauh lebih menikmati, dibanding orang yang hanya sekedar ngopi saja, atau sekedar menghilangkan haus, apalagi yang hanya seru-seruan aja. Ini yang pertama.
Yang kedua. Mempelajari dan mengkaji tasawuf falsafi, itu seperti berjalan (tentu yang berjalan adalah kesadaran/pikiran, bukan badan lahiriah) menyusuri alam demi alam, mulai dari alam yang kasar nampak ini, hingga ke alam yang halus, terus ke yang lebih halus lagi, hingga ke dalam yang paling rahasia.
Perjalanan ruhani (spiritual) ini tak jauh beda dengan pejalanan mi'raj yang pernah ditempuh oleh Nabi kita Muhammad saw pada peristiwa isra mi'raj, dimana beliau berjalan menembus alam demi alam hingga ke puncak di Sidratil Muntaha.
Nah, tentu saja akan jauh berbeda penghayatan amalannya antara orang yang pernah naik ke puncak menembus alam-alam batin dengan orang yang tidak pernah. Apalagi jika "perjalanannya" sampai ke puncak. Bukan puncak Bogor yah😀🤭
Rasulullah saw yang pernah ke alam level puncak lalu turun kembali ke alam syahadah berbaur dengan masyarakat biasa, ini tidak mudah, dan tidak sembarang orang bisa. Karena kemampuan inilah (yang tentu karunia Ilahi) yang bisa naik-turun lintas alam dan lintas batas, sehingga beliau dianggap sebagai Insan Kamil.
Pesan penting dari sini ialah, orang yang kamil, bukan yang mampu naik hingga ke puncak pencapaian spiritual saja, tetapi yang mampu naik ke puncak sekaligus mampu dan mau turun ke dasar, untuk berbaur dengan orang awam dan membimbing mereka.
Guru yang kamil ialah yang tidak hanya selalu berinteraksi dengan para pelajar dan intelektual, tetapi juga mampu berbaur dan dengan masyarakat awam yang tak berpendidikan. Demikian pula kiai yang kamil ialah yang tidak hanya lihai membaca kitab kuning dan menguraikan ushul fiqih yang njelimet di hadapan para santri, tapi yang juga mampu mengayomi dan memahamkan masyarakat awam yang tak mengenal aksara.
Jadi untuk bisa kamil, harus lintas alam segala level. Untuk bisa antarlevel harus mampu menembus batas. Jalan menembus batas ialah tasawuf falsafi. Begitu kira-kira 🤦🙏
Mohon diluruskan kalau salah, Gurunda Yai Ulil Abshar Abdalla
Dan kepada beliau saya dan keluarga mengucapkan Selamat Ulang Tahun ke-57, Yai
وَسَلَـٰمٌ عَلَیۡكَ یَوۡمَ وُلِدْتَ وَیَوۡمَ تَمُوتُ وَیَوۡمَ تُبۡعَثُ حَیࣰّا
Sumber: akun facebook: Muh Saharuddin Mangngasa.