Apa Pentingnya Pilkada Buat Rakyat?
Pilkada ala demokrasi liberal yang sudah lebih dari satu dekade digelar, sampai hari ini belum terbukti manfaatnya bagi rakyat. Setiap kali pilkada digelar, lebih cenderung menjadi arena para elite negeri untuk saling memperebutkan jabatan dengan menggunakan rakyat hanya sebagai alat perangkat demokrasi (liberal) semata. Rakyat diposisikan hanya sebagai legitimator (satu hari) demi keabsahan dari adu banyak suara yang diiringi adu banyak uang dan fasilitas para calon pemimpin daerah.
Sudah lebih dari cukup bukti empirik, bahwa Demokrasi (100 persen Liberal) yang diadopsi dalam sistem politik di negeri ini, Rakyat lebih menjadi obyek ketimbang subyek Pemilu. Para calon pemimpin tidak menitik beratkan seluruh gerak pemenangan dirinya dengan menawarkan sejumlah program yang dapat dibaca, dipahami dan dimengerti rakyat pemilih. Seluruh aktivitas lebih cenderung didasarkan pada pola pikir bagaimana mengais suara sebanyak mungkin dengan menawarkan sejumlah materi; seperti uang, kaos, pakaian, sumbangan pembangunan tempat ibadah dan sejenisnya. Berikut janji-janji surga-janji pemilu.
Perilaku para calon pemimpin sangat jauh dari upaya mendidik dan mematangkan masyarakat dalam melakukan pilihan yang bertujuan meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dari pemilu ke pemilu. Yang terpelihara justru pembodohan yang berkelanjutan. Hal ini dilakukan baik oleh para kandidat calon pemimpin maupun para petinggi pemimpin negeri yang justru ikut bermain dan memperkuat gerak pembodohan rakyat secara sistemik dan struktural. Pengerahan dukungan dari pusat kekuasaan via aparat pemerintahan setempat, merupakan praktek yang bukan menjadi rahasia lagi.
Dengan kondisi yang seperti ini, permainan money politic oleh calon dan tekan menekan yang dilakukan oleh aparat, tak mungkin dapat diberantas karena memang dipelihara. Lomba adu banyak suara berbasis one man one vote terbukti telah menjadikan ajang pilkada lebih dimaknai massa rakyat di lapisan bawah (mayoritas pemilih) sebagai ajang mengais rejeki sesaat lewat pendekatan ekonomi (pragmatis), alias Wani piro?
Belum lagi dalam setiap pilkada digelar, para calon pemimpin yang berniat maju, harus menyatakan kesiapan dana sebagai persyaratan yang bersifat wajib. Sehebat dan sepopuler apa pun seseorang, tanpa memiliki dana yang telah ditetapkan oleh calon partai pengusung, jangan berharap mendapat tiket maju berlaga di pilkada. Praktik inilah merupakan ibu dan sumber dari segala praktik korupsi yang dilakukan oleh para bupati, walikota dan gubernur yang terjaring operasi tangkap tangan maupun penangkapan berdasarkan bukti cukup yang dilakukan KPK. Sampai hari ini tercatat ratusan kepala daerah-DPRD yang telah maupun akan dan sedang menjalani hukuman. Tidak bisa lagi fenomena ini dianggap hanya sebagai kasus yang tidak bisa digeneralisir. Dengan jumlah koruptor yang fantastis, sangat besar, hanya ada satu kesimpulan; there is something wrong with the system!
Sampai kapan rakyat dijadikan sepenuhnya obyek semata?! Kalau toh ada pemanis kata..’Suara rakyat suara Tuhan’, jargon ini pun hanya merupakan pelipur lara sehingga mayoritas rakyat yang berada dalam kepura-puraan sebagai subyek perhelatan pemilu, tidak merasakannya. Mereka digiring untuk ‘rela mati’ membela tokoh yang mereka dukung, didorong pemahaman bahwa memperjuangkan kemenangan tokoh yang didukung merupakan misi sangat mulia. Sang tokoh adalah sumber rejeki yang perlu dikawal dan harus menang. Kepada rakyat diberikan pemahaman bahwa pemilu adalah pestanya rakyat, pesta demokrasi. Rakyat diposisikan seolah sebagai raja sang penentu kemenangan. Maka Raja pun layak diberi upeti.
Mereka dibutakan dan dijauhkan dari pemahaman; apa itu Demokrasi liberal, One man One vote, peran dan fungsi partai, dan masih banyak lagi. Dengan kekacauan budaya yang memprihatinkan ini, saya semakin meyakini bahwa sila keempat yang dirancang oleh para pendiri Negara Republik Indonesia, agar masyarakat senantiasa bermusyawarah untuk mufakat, merupakan pemikiran yang lahir dari perenungan di ruang-ruang puncak kebudayaan Indonesia. Sialnya para elite dan pemimpin negeri ini, telah tersihir oleh para penyihir dari dunia barat yang mengatakan “Liberal Democracy is the best!” Dan semua mengamininya. Maka jadilah negeri ini menjadi negara antah berantah dengan sistem politik yang amburadul terserabut dari realita dan akar budayanya!
Oleh karenanya, kembali ke semangat Undang-Undang Dasar ’45 dan rohnya Pancasila sudah saatnya dijadikan pilihan satu-satunya. Sebelum bangsa ini menjadi bangsa barbar yang merasa modern padahal tengah berjalan mundur jauh ke belakang!
*Erros Djarot - Dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com