Apa Misterinya Ngopi Jumat Pahing?
Sepagi ini mendung. Jumat Pahing ini mendung. Matahari malas bersinar. Harusnya, jam segini, kalau di Surabaya, matahari di Timur sudah tampak lebih dari sepenggalah. Sudah mampu bikin sumuk di badan.
Jumat Pahing 12 Januari 2018 kali ini tidak. Suasananya malah temaram, seperti wayah surup. Ada apa ya Jumat Pahing ya. Apa ada fenomena yang istimewa atau hanya warna alam yang biasa saja.
Titik-titik gerimis juga mulai jatuh. Sepertinya, meski belum mendapat data dari BMKG, ini tidak hanya terjadi di atas Surabaya. Kemungkinan wilayah lain matahari juga malas serupa. Benar ternyata, seorang kawan mengabarkan via media sosial, alam Jogjakarta juga tak jauh beda dengan Surabaya.
Merata dong kalau begitu. Maka, siap-siaplah sedia payung sebelum hujan ya.
Paling huasik, membunuh suasana malas seperti ini adalah dengan ngopi. Kafein dalam jumlah cukup dan terukur mampu membuat darah berdenyut stabil. Okelah mari ngopi.
Secangkir kopi datang. Barista tradisonal menghidangkan. Belum ada teman mengobrol, selfie-lah sebentar. Posting foto kemudian, lalu berselancar sembari srupat-sruput kopi panas dari Gunung Arjuna.
Seorang kawan penulis di Jogjakarta - dulu jurnalis setahu saya, Nur namanya - memposting sebuah tulisan yang apik. Kawan judulnya.
Kata dia, kawan itu datang dan pergi. Tapi tidak pernah berkurang, selalu bertambah. Itu hebatnya perkawanan. Biasanya tak ada peristiwa yang membuat kawan menjauh, kecuali hutang uang lalu menghilang tanpa bekas.
Sebagian kerap bertemu. Tapi ada pula yang baru bersua setelah 21 tahun terpisah. Banyak yang berubah, tentu. Tetapi sebenarnya mereka orang-orang yang sama.
Karena itu, mengherankan jika orang bertemu kawan lamanya untuk bercerita tentang hidupnya saat ini. Tentang negeri-negeri asing tempatnya berlibur. Tentang jumlah mobilnya. Tentang pekerjaannya.
Cerita-cerita itu tak pernah akan mampu merekatkan ikatan persahabatan. Cerita itu adalah menara yang dibangun untuk mengasingkan diri dari kerumunan.
Pertemuan selalu lebih menarik jika berisi obrolan tentang masa-masa berkumpul tiap hari, entah di sekolah entah di kampus. Tentang kelezatan mie ayam di garasi belakang. Tentang bau gorengan dari warung seberang tembok. Tentang melompat jendela untuk lari dari pelajaran yang paling dibenci. Tentang coretan di tangga, meja kayu, dan catatan kecil yang dilempar dari bangku ke bangku.
Dan pertemuan selalu berisi kejutan-kejutan. Berita dan cerita datang silih berganti. Membuat tertawa, lalu kadang diam sejenak dan merenung.
Seorang kawan membawakan oleh-oleh minuman kemasan. Dalam bungkus kecil, dan aneka penjelasan di dalamnya. Begitu sulit dibaca dari jarak dekat, dan justru jelas ketika agak menjauh. Saya baru sadar, rabun dekat sudah tiba begitu usia 40 menginjak.
Tetapi pertemuan itu serasa terjadi sama persis ketika masih berumur belasan tahun.
Dan di tengah umur 40 ini, seseorang masih menunggu jodoh, seseorang telah hidup bersama istri yang kedua setelah yang pertama pergi, seseorang pernah beristri dua, dan seseorang menunggu waktu untuk menjalani pernikahan yang kedua.
Sementara di kejauhan, ada pula kawan yang memutuskan "hijrah", tetapi ada juga yang sebaliknya alias "harjih". Ada yang sedang mencari menantu, ada pula yang masih sibuk mencari mertua.
Itulah hidup. Itulah persahabatan. Itulah kisah-kisah yang menyertainya.... Tak ada yang lebih baik, daripada berbahagia atas pilihan-pilihan yang diambilnya....
Tulisan apik, mengharukan, membangun hati. Slappp, srettt, tangan menggeser layar. Ketemu tulisan lain, memesona juga, dan berada dalam dimensi lain.
Dia kawan juga - saya memanggilnya Masbis - dan entah mendapat tulisan darimana, yang jelas cukup menggelitik kalau dibaca.
Dilayar itu tertulis begini; sedang viral broadcast di media sosial. Hitungan weton Pilkada Jatim. Ini mungkin tulisan saya yang ditunggu-tunggu. Tapi percayalah, hitungan weton ini masih sangat lemah jika untuk memprediksi, tetapi sebagai upaya untuk memahami, sebuah reasoning, bisa sedikit membantu.
Mengapa? Karena dalam hitungan weton jawa sebenarnya ada 10 hari (waktu) yang digunakan basis analisisnya, dari Eka Wara sampai Dasawara. Hari seperti Senin, Selasa itu masuk Saptawara (7 hari satu siklus), sedangkan pasaran Legi, Pahing, Pon itu masuk Pancawara (5 hari satu siklus).
Dus hanya 2 variabel dari 10 variabel. Jika bisa sampai pada Ekawara (1 waktu), misalnya detik, menit, jam, hari procotnya jabang bayi, akan sangat membantunya. Tapi yo siapa bisa dapat data seperti itu? menit yang ada pada jam seseorang bisa lain pada jam orang lainnya.
Saya melihat penggunaan weton yang sangat kental itu pada pilpres lalu. Sangat unik dan luar biasa, apalagi penentuan pasangan Prabowo menggandeng Hatta Rajasa dilakukan saat akhir waktu pendaftaran.
Jokowi dan Prabowo sama-sama berweton Rebo Pon, sedangkan Jusuf Kalla Jumah Legi, nah Hatta Rajasa berweton Jumah Legi pula. Klop. Dari hitungan weton ini, maka sebenarnya potensi menang dan kalah sama persis, 50-50.
Nah, pasca mundurnya Anas, tentu diusahakan mencari pasangan yang neptunya kalau bisa sama dengan Anas, karena sudah biar kekuatannya sama. Khofifah wetonnya
Rebo Legi (7+5=12), sedangkan Emil Dardak Minggu Pahing (5+9=14), jika ditotal berjumlah 26. Gus Ipul wetonnya Jumah Pahing (6+9=15), sedangkan Anas wetonnya Kemis Pahing (8+9=17). Nah siapa pemilik neptu 17?
Puti Guntur Sukarno lahir di Jakarta 26 Juni 1971, wetonnya Sabtu Kliwon (8+9-17), sama persis kan besaran hari,pasaran dan neptunya dengan Anas?Jadi masuk akallah kalau ini jadi pertimbangan.
Bagaimana peluangnya, lagi-lagi ini dasarnya pal rabi, hitungan perjodohan saja. Jika jumlah GI-PG adalah 32, sedangkan KI-ED jumlahnya 26. Pilihannya jatuh pada 27 Juni 2018, hari Rebo Pon, neptunya 14. Jika pasangan GI-PG ditambah hari coblosan maka jumlahnya 46, sedangkan KI-ED jumlahnya menjadi 40.
Jika memakai bagi 5, maka GI-PG sisanya 1 (46-45), jatuhnya Sandang (1), sedangkan KI-ED sisanya 0 (45/5=0, atau 5 yg jatuh Pati). Namun, jika memakai bagi 7, maka pasangan GI-PG sisa 4 (46-42) adalah Sumur Sinaba, sedangkan KI-ED ketemu 5 (40-35) adalah Satrio Wirang. Silakan dimaknai sendiri.
Sekali lagi ini baru dua variabel dari 10 variabel, dan ini bukan alat prediksi, tapi hanya untuk memahami. Kemungkinan untuk menang banyak faktornya, tinggal memanfaatkan sifat Padewan (hastawara), paningron (sadwara), Padangon (sangwara) dan lainnya.
Jika memaksimalkan 8 variabel lainnya, meski hitungan neptunya kalah, bisa jadi dialah pemenangnya dan sebaliknya yang mempunyai neptunya bagus, jika tidak bisa memanfaatkan variabel lainnya, atau dengan kata lain memperhatikan kelemahannya sendiri, yang terjadi juga sebaliknya dia akan kalah.
"Jadi, paham kan mengapa Puti? Jadi, mari ngopi....eh ya, malam jumat kan?"
Rupanya postingan itu oleh si penulis ditulis malam Jumat. Emm, bahasa bersayap. Siapa pun tahu malam Jumat adalah Sunah Rosul (hihihihi). Bagaimana membuktikannya? Simaklah aktivitas paginya, rambut basah atau kering. Husss!
Tapi postingan Masbis ini benar-benar menarik. Perspektif berbeda atas dasar primbon. Asik juga dibacanya. Dan, bagaimana pun, mengikuti perjalanan Gus Ipul memang menarik.
Sebelnya, pasangan potensialnya, yang Bupati Banyuwangi itu, mendadak di detik-detik terakhir mundur. Gus Ipul dikuyo-kuyo oleh waktu. Berkejar dengan detikan, menitan, dan jam.
Ndilalah Puti yang cantik mak jegler mau jadi pasangannya. Pasangan yang beberapa hari terakhir ini mampu mengobarkan semangat massa merah.
Heiiii matahari menyibak juga. Jiangkrik wis awan! Membaca fenomena teman sembari ngopi membuat lali waktu lali matahari. Wushhh tutup layar, mbayar, ndang cap cus. Telat bisa dipendeliki pak bos, gawatttt. (*)