Apa Jadinya Jika Dubes Menghadap Presiden China Hanya Pakai Sarung?
Sarung pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-14 dibawa para saudagar Arab dan Gujarat yang beragama Islam. Namun dalam perkembangannya, sarung tidak lagi identik dengan budaya Islam, khususnya di Tanah Jawa, karena umat Hindu di Bali juga mengenakan sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa pada saat melaksanakan ritual keagamaan dan kebudayaan.
Sarung dengan berbagai modifikasinya juga telah merambah gemerlapnya panggung-panggung peragaan busana berskala global. Sarung juga tidak semata-mata sebagai pakaian bawahan, melainkan juga bisa dipadupadankan dengan aneka busana lainnya.
Seperti yang dilakukan oleh Duta Besar RI untuk China merangkap Mongolia, Djauhari Oratmangun, saat memenuhi panggilan untuk menghadap Presiden Xi Jinping di Balai Agung Rakyat, Beijing, Rabu 20 Juni lalu.
Tanpa rasa canggung sedikit pun, diplomat karier kelahiran Beo, Sulawesi Utara, pada 22 Juli 1957, itu mengenakan sarung dalam acara kehormatan di gedung megah dan bersejarah di sebelah Lapangan Tian'anmen tersebut. Sarung tenun khas Tanimbar, Maluku, itu tidak hanya menjadi pemanis di antara beskap warna hitam berkancing miring senada dengan celana dan songkok.
Perpaduan merah, hitam, dan sedikit kuning emas pada motif tenun yang dililitkan menutup bagian atas celana mirip pakaian khas Betawi sudah cukup menunjukkan cita rasa Nusantara di mata pemimpin negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu. Tidak berlebihan jika Presiden Xi menyunggingkan senyum saat menyambut Djauhari dalam seremonial kredensial pada musim panas di bawah suhu udara 37 derajat Celcius itu.
Sebelum menyampaikan surat kepercayaan (kredensial) dari Presiden Joko Widodo kepada Presiden Xi, Djauhari sempat berbicara sekitar dua menit. Tapi tanggapan Presiden Xi lebih lama, sekitar empat menit, termasuk penuturannya mengenai Presiden Jokowi yang merupakan teman lamanya.
"Sampaikan salam hangat kepada Beliau. Kapan pun Beliau akan datang ke sini, saya siap menerimanya. Beliaulah yang bisa menentukan sendiri waktu yang tepat," ujar Xi kepada Djauhari mengenai rencana kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi ke China.
Keduanya pun berfoto bersama sebelum mengakhiri prosesi kredensial bersama 12 duta besar negara lain yang berkedudukan di Beijing.
Diplomat yang mulai berkarier di Kementerian Luar Negeri RI pada 1984 itu menemui salah satu tokoh berpengaruh di dunia tersebut dengan didampingi Wakil Dubes Listyowati, Koordinator Fungsi Protokol dan Kekonsuleran KBRI Beijing Ichsan Firdaus, dan Atase Pertahanan KBRI Beijing Kolonel (Inf) Mochamad Sjasul Arief.
Kenapa Tanimbar? Bukankah Djauhari kelahiran Beo, sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut?
"Tanimbar tempat saya dibesarkan, sedangkan Beo tempat saya lahir pada saat Bapak saya ditugaskan ke sana," jawab Dubes Rusia merangkap Belarusia pada 2012-2016 itu.
Tanimbar merupakan nama kepulauan yang secara keseluruhan tercakup dalam wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat dengan ibu kotanya di Saumlaki. Tanimbar juga merupakan nama suku yang berasal dari campuran Austronesia-Papua mendiami kepulauan tersebut.
"Sampai saat ini masyarakat Tanimbar masih menenun, termasuk tenun yang saya dan Bapak kenakan saat ini semua bikinan keluarga paman Bapak di sana," kata Sih Elsiwi Handayani, istri Djauhari, yang juga mengenakan bawahan tenun Tanimbar dipadu kebaya warna putih di Wisma Indonesia KBRI Beijing saat menantikan kedatangan sang suami pulang dari Balai Agung Rakyat yang berjarak sekitar 9,5 kilometer itu.(ant)
Advertisement